Tuesday, June 21, 2005

Al-i'tiraf (Doa Abu Nawas)

Al-i'tiraf (Doa abu Nawas)

Ilahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa 'ala naaril jahiimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi....

Duh Gusti... tidak layak aku masuk ke dalam sorga-Mu
tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa....

Dzunubi mitslu a'daadir- rimali, fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi, wa dzanbi zaaidun kaifa -htimali

Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
maka anegerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku

Ilahi 'abdukal 'aashi ataak, muqirran bi dzunubi wa qad di'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, wain tadrud faman narju siwaaka

Duh Gusti... hamba-Mu penuh maksyiat, datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap?

---

Wednesday, June 15, 2005

Tentang Membuka Jilbab (Bagian 1)

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb.

maaf masih tentang buka jilbab, kalau di depan sepupu (anak dari paman atau uwak) bolehkah buka jilbab? jadi yang masuk muhrim itu garis lurus saudara dari ayah/ibu? apakah ada batas sampai keturunan garis lurus keberapa? kalau saudara dari nenek/kakek apakah muhrim juga (keturunan dari kakak/adik dari nenek/kakek). Dan kalau suami dari sepupu ataupun suami dari bibi apakah muhrim juga?

Maaf saya masih bingung menentukan mana yang muhrim atau bukan. Agak sulit memahami apa yang terdapat dalam surat An-Nisa tentang muhrim. Ada teman saya akhirnya yang mikir daripada pusing, akhirnya siapapun saudara yang datang ke rumah dianggap muhrim & bisa buka jilbab. Benarkah hal itu?

Wass. wr. wb.
Audie
Jakarta


Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu Was-Salamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d,

Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.

Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda.

"Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa : 23)

Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita.

Mereka adalah:

1. Ibu kandung

Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya.

2. Anak-anakmu yang perempuan

Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya.

3. Saudara-saudaramu yang perempuan

Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya.

4. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan.

5. Saudara-saudara ibumu yang perempuan

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan.

6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah.

7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu.

8. Ibu-ibumu yang menyusui kamu

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan.

9. Saudara perempuan sepersusuan

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan.

10. Ibu-ibu isterimu

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki.

11. Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya.

12. Isteri-isteri anak kandungmu

Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.

bersambung

Saturday, June 11, 2005

Menuju Kesempurnaan Ibadah

Oleh: Aus Hidayat Nur
(Sumber: Majalah Sabili)

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,” (QS al-Fatihah: 5)

Seorang hamba yang kecil, lemah dan hina kini tengah beraudiensi di hadapan Rabbnya. Tanpa perantara, tanpa satu pun garis batas. Ia berdiri menghadap ke arah kiblat dengan badan tegak. Matanya hanya menatap tempat sujud. Pikirannya terkonsentrasi pada keagungan Allah yang tengah ia hadapi. Jiwanya merasakan kehadiran Pencipta alam semesta. Raja Yang Maha Berkuasa tengah memperhatikan tiap gerak hati dan pikirannya.

Hati dan kedua lisannya melantunkan kata-kata sanjungan dan pujian kepada Rabb-Nya. Sang hamba membesarkan Asma Allah dengan bertakbir, mengakui dosa dan kelemahannya melalui bacaan iftitah shalatnya. Selanjutnya, ia menyanjung, mengagungkan dan memuliakan Allah dengan membaca ayat-ayat-Nya yang tertuang dalam surah Al-Fatihah.

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji milik Allah Rabb seru sekalian alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Raja di hari pembalasan....” (QS al-Fatihah: 1-3).

Itulah keadaan setiap hamba Muslim ketika membaca Surat al-Fatihah dalam shalatnya. Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa al-Fatihah merupakan “rahasia al-Qur’an”. Dan “rahasia al-Fatihah” terdapat pada ayat

“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” (Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).

Penggalan pertama, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” adalah bentuk penyucian dari kemusyrikan. Sedang penggalan kedua, “Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” merupakan penyucian dari upaya, usaha dan kekuatan, selanjutnya menyerahkan segalanya kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas ra menjelaskan ayat ini. Katanya, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah”, berarti hanya kepada Engkaulah kami mengesakan, takut dan berharap, bukan kepada selain Engkau. Dan “Hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan untuk menaati-Mu dan menyelesaikan seluruh persoalan kami.”

“Iyyaka na’budu” didahulukan daripada “Iyyaka nasta’iin” karena ibadah merupakan tujuan. Sedang memohon pertolongan merupakan sarana untuk mencapai ibadah. Ibadah adalah dasar keyakinan yang merupakan ushuluddin yaitu “Tauhidullah”. Sedang “istiianah” (memohon pertolongan) merupakan realisasi dari ibadah yang menyangkut masalah cabang dalam syariat yang tentu saja tak kurang pentingnya sehingga memerlukan pengkhususan.

“Iyyaka” merupakan obyek yang didahulukan supaya tujuan pembicara terfokus pada apa yang hendak dilakukan. “Hanya kepada-Mu kami beribadah” dalam arti kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Kami pun tidak berserah diri kecuali kepada-Mu. Ini merupakan kesempurnaan ketaatan yang didasari cinta, takut sekaligus harapan.

Susunan penyebutan “Iyyaka” yang diulang dua kali mengandung pelajaran untuk mendahulukan melaksanakan kewajiban daripada menuntut hak, yang keduanya terealisasikan dalam hubungan interaksi dengan Allah.

Secara bahasa, ibadah berarti “ketundukan dan kerendahan”. Seorang hamba adalah sosok yang senantiasa menghambakan diri dan menghinakan diri dengan ketundukan, rasa takut, harapan dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Penghambaan kepada Allah adalah hak mutlak Allah sekaligus kewajiban bagi setiap hamba ciptaan-Nya (QS al-Bayyinah: 5).

Ibadah yang suci dan diterima Allah adalah yang bersih dari noda syirik, jauh dari mempersekutukan sesuatu dengan Allah. Tidak boleh mempersekutukan pengabdian kepada Allah dengan yang lainnya. Ini berlaku pada seluruh pengertian ibadah atau penghambaan meskipun lewat ungkapan lisan.

Allah telah mengutus para Rasul dan Nabi untuk menjelaskan batas-batas aturan penghambaan agar hamba-hamba-Nya tidak sesat. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ’Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul),” (QS al-An’aam:36).

Penjelasan para Rasul tentang Tauhidullah, tak diragukan lagi, merupakan bimbingan yang gamblang dan jelas agar hidup manusia hanya mengarah kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Manusia dilarang menyembah thagut. Pengertian “thagut” adalah “segala sesuatu yang disembah selain Allah”. Karena itu, kewajiban setiap orang yang bertauhid untuk mengingkari thagut. “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. al-Baqarah: 256).

Perintah suci ini disambut oleh kaum Mukminin dengan penuh kesadaran. Menghamba kepada-Nya, menegakkan tauhidullah dalam dirinya dan menjalankan agama dalam seluruh gerak hidupnya.

Menjalankan agama berarti menundukkan diri hanya kepada-Nya secara total tanpa reserve, tanpa penolakan, dengan penuh keyakinan—tanpa sedikit pun keraguan. Tentu saja tidak terbatas dalam shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat atau ibadat-ibadat khusus yang tata caranya dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Tetapi juga meliputi seluruh aspek hidupnya. Semua itu mengikuti aturan hidup, manhaj asasi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Karena itu ungkapan “Iyyaka na’budu” mengandung makna pernyataan al-Qur’an, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’,” (QS. al-An’am: 162).

Mukmin memohon sesuatu yang dia sendiri berusaha melakukannya dalam rangka menaati Allah. Dia memohon pertolongan, bukan meminta Allah menurunkan hujan emas. Dia sadar bahwa memohon tanpa berusaha adalah kesia-siaan yang bisa mengundang datangnya kemurkaan, “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS al-Baqarah: 153).

Tuesday, June 7, 2005

Kesan-kesan Berjilbab (19)

Salam semua,

Tolong dijawab dua pertanyaan berikut dan sebarluaskan ya...
1. Sudah berapa lama kamu berjilbab?
2. Ada pengalaman menarik selama berjilbab, kapan dan sebutkan...

Jawabnya bisa melalui mailbox-nya Berjilbab atai testimonial di Friendster atau langsung di-post aja di bagian 'comment' di bawah posting ini. Jangan 'anonymous' loh kalo bisa... Makasih...

wassalam,

****

Ini jawaban-jawaban yg udah masuk - bagian 19

Irma :
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Pencarian (atau pertentangan?) tentang jilbab mulai aku alami kls 1 SMA. Apakah jilbab itu wajib? Atau cuma budaya Arab? Eh, ketemu deh jawabannya. Ternyata menutup aurat (contohnya dengan memakai jilbab) WAJIB bagi setiap muslimah. Dalil nya bisa dilihat di Q.S. An-Nuur:31 & Al-Ahzab:59, juga bbrp hadits shohih. Alhamdulillah niat menutup aurat kesampaian juga thn '97, sewaktu kuliah semester 1... sampai sekarang... Insya4JJ1 sampai ruh berpisah dari raga, aamin. Awalnya memang untuk menjalankan syariat 4JJ1, tapi ternyata banyak sekali hikmahnya (subhanalloh). Aman, ga di isengin org. Nyaman, bebas gerak krn baju serba longgar. Sehat, kulit terlindung dari UV. Hemat, ga perlu ikutin mode yg ga jelas arahnya & slalu berubah2. Buat identitas diri, krn kemanapun qta pergi, org2 sekitar akan tau bahwa qta seorag muslimah & will treat us as a moslem. Just sharing, jadikan berjilbab sebagai langkah awal u/ memperbaiki diri, BUKAN tujuan akhir. Smoga bermanfaat.

Fitri :
berjilbab itu byk halangannya, berjilbab itu byk godaannya dgn dasar yg kuat kita pasti ga gampang goyah tp gmn cccaranya supaya sikap kita sesuai dgn karakter 'berjilbab'?

Nazla :
Pake jilbab? Dari taon 2001, ... why? Coz al Quran say that... karena gue yakin ya gue ikhlas pake jilbabnya :) Kalo denger cerita orang2 banyak kejadian yg melatar belakanginya. Kalo gue gak ada kejadian apa-apa seh, tapi suatu hari gue pernah berpikir, merenung tentang rahasia umur gue... n gue dapat kesimpulan gue gak punya pengetahuan seberapa jauh umur gue bakal di kasih ALLAH, so gak ada yg kudu gue tunda, mulai hari itu hue pake jilbab. Walau kadar iman gue turun naek, dg pake jilbab gue selalu diingatkan dengan identitas gue sebagai moslem dengan segala aturannya yang jelas dan membawa keselamatan buat hidup gue....jadi buat teman2 yg dah pake, pertahankan terus yah... buat yg belum, mmmmm..inget2 dech umur kita gak ada yg tau, kalo tidak hari ini kapan lagi... :)

Hesty :
Alhamdulillah hesty dah berjilbab semenjak tahun 2001. Awalnya emang hesty dah punya niat buat b'jilbab, tapi gak tau kenapa, godaannya buanyak banget. Sampe satu hari tie mimpi didatengin orang yang ngingetin Hesty kalo pake jilbab tuh wajib. Akhirnya puntu hati terketuk juga :) Dan Meski baru 4 taun, tapi banyak banget hikmahnya. Dulu orangtua sempet khawatir juga kalo hesty pake jilbab nanti takut susah dapet kerjaan... dan hesty juga sempet berpikiran begitu. Tapi Alhamdulillah, ternyata dengan hesty berjilbab gak ngehambat rezeki hesty sama sekali. Emang sih banyak godaannya, tapi itu sih gimana kita nanggepinnya. Hesty tau jilbab tie juga masih jauh dari sempurna, tapi doain ya biar hesty bisa lebih baik dan lebih baik lagi setiap harinya, (amin...) Dan Alhamdulillah, pada akhirnya orangtua hesty juga dah berjilbab :) Ayo friend's... wear your jilbab... :)

Dee :
d pertama kali pake jilbab tu 4 oct 2004, alasannya sendiri klo orang2 pada nanya, d jg gak tau jwbnya apa tapi yang jelas semenjak pake jilbab tuh perasaan adem aja, kdg juga sbg pagar siii, jd kt mo buat sesuatu kt jadi rada mikir (masa si gak malu ama jilbab) jadi intinya semenjak pake jilbab perasaan jadi lebih adem de... (kayaknya KEPOTONG deh di testinya?)

Irma :
Sebenernya aku nggak bisa dengan gampang nyebutin kapan tepatnya aku berjilbab. Aku harus inget2 dulu sambil ngitung2 gitu... waktu itu pertengahan kuliah. Mmm... semester 4 klo ga salah. Brarti udah 4 th pas bln Maret (klo ga salah lg).
Ya udah lah... ga penting sebrp lma kita b'jilbab, tp yg lbh penting (menurut aku) sbrp byk kemajuan kita tuk m'perbaiki cara MEMAKAInya & m'perindah hati ini... Klo byk org bilang "Semua butuh proses", aku setuju... tp sbrp konsisten kita m'jalankan proses itu. Dulu wkt p'tama x pke jilbab, msh kul, msh asal aj. Pke Jeans & kaos tangan pjg or kemeja tangan pjg tanpa m'perhatikan pendeknya baju itu, pjgnya cuma sampe pinggang aja, ketat pun ga jd soal. Alhamdulillah.. Allah trus sayang sm aku & ga pernah berhenti ngasih aku hidayah-Nya. Aku mulai malu n kyknya ga bisa nafas klo pake baju pendek n ketat gtu. Trus jilbab yg tdnya diiket kebelakang jg jd dipanjangin skrg, tanpa takut dikatain kuper,jadul,ga gaul... or apa... (kayaknya KEPOTONG deh di testinya?)

Wednesday, June 1, 2005

Energi Cinta

Oleh: Yentri Marchelino
(Sumber: www.eramuslim.com)

“Orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan dapat memberi apa-apa.”

Pertama kali mendengar ungkapan di atas, yang terlintas di otak saya adalah bahwa ungkapan ini mencerminkan satu kesombongan seorang kaya. Mencoba merenung lebih jauh, ternyata saya telah terjebak dalam sebuah kedangkalan pemikiran. Memberi, terkadang memang menimbulkan konotasi yang berkaitan dengan materi. Padahal, tidak selamanya aktivitas memberi itu harus diidentikkan dengan harta benda. Semua hal yang membutuhkan interaksi antara 2 pihak atau lebih, selalu akan bersinggungan dengan kata ‘memberi’ dan ‘menerima’. Pertolongan, informasi, nasehat, perhatian, cinta adalah beberapa hal yang bisa kita ‘beri’ dan kita ‘terima’, tanpa harus berwujud suatu materi. Tetapi ada satu kesamaan di antara semua pemberian itu. Ketika kita ingin memberi, kita harus terlebih dahulu memiliki apa yang ingin kita berikan itu.

Kali ini, lagi-lagi, kita bicara tentang CINTA. Tema universal ini memang tidak akan pernah bosan dan usang untuk dibahas. Tapi di sini saya tidak ingin membicarakan tentang keromantisan cinta seorang laki-laki dan perempuan. Saya teringat lirik sebuah lagu ketika saya sekolah dulu:

Don't search in the stars for signs of love, just look around your live you'll find enough. (Se A Vida E – Pet Shop Boys)

Ya. Lihatlah ke sekitar kita. Sangat banyak cinta yang telah kita peroleh. Cinta dari kedua orang tua kita, kakak dan adik kita, sahabat-sahabat, guru, tetangga, bahkan dari orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, mereka senantiasa memberikan cintanya kepada kita. Sebagian mungkin tidak tercetus secara lisan, tapi getaran itu tetap tertangkap melalui tindakan mereka, dan mewarnai hari-hari kita. Bahkan dari makhluk selain manusia pun, kita senantiasa mendapatkan cinta itu.

Ingatkah bahwa matahari hari ini masih bersinar untuk membantu proses fotosintesis tumbuhan, yang kemudian menghasilkan O2 untuk kita hirup? Ingat juga ketika semalam kita memandangi bulan yang menebarkan cahaya dengan cantiknya untuk menemani kegelapan sang malam? Bahwa angin laut dan gelombang telah dan akan senantiasa membantu manusia dalam menepikan ikan untuk ditangkap? Atau perasaan senang kita saat tergelak memperhatikan seekor kucing yang terbelit benang rajutan? Atau kedamaian yang kita rasakan saat melihat sepasang angsa berenang dengan anggunnya di tengah danau? Subhanallah....

"Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Al-Jaatsiyah: 13)

Begitu banyak energi cinta yang telah ditransfer ke dalam kehidupan kita, bukankah akan sangat adil jika kita ingin membalas semua cinta itu dengan energi yang sama, atau bahkan lebih besar? Seorang sahabat pernah menyebutkan,

“Jangan pernah lupa bahwa di alam ini berlaku hukum kekekalan energi. Setiap energi yang kita keluarkan untuk sekitar kita, ia tidak akan pernah hilang menguap begitu saja. Energi itu pasti akan kembali kepada kita, terkadang setelah bertransformasi ke dalam bentuk yang lain.”

Saya termenung mendengar pernyataan itu. Bukan, bukan suatu pamrih yang terbaca darinya, tapi tersirat sebuah ketulusan yang luar biasa. Cukuplah kita mengharapkan ‘pengembalian’ energi itu dalam bentuk pahala dan catatan amal kebaikan di sisi Allah SWT.

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. Mukmin: 17)

Sampai titik ini, semoga secara diam-diam telah terbersit di hati kita sebuah keinginan untuk membagi energi cinta itu, lalu bersama-sama kita bertanya: Bagaimana caranya? Maha Besar Allah yang telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (QS. Maryam: 96)

Subhanallah... Lihatlah! Ternyata rasa kasih sayang itu akan Allah tanamkan ke dalam hati orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Tentu saja rasa kasih sayang yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan syariat Islam, kasih sayang yang bernilai ibadah, menjadikan orang-orang yang melaksanakannya mendapat naungan Allah pada hari dimana tiada naungan kecuali dari-Nya, kasih sayang yang membawa orang-orang yang melaksanakannya naik ke atas mimbar cahaya dan membuat iri para nabi dan syuhada.

Manusia adalah makhluk sosial. Setiap hari kita dituntut untuk berinteraksi dengan berbagai macam orang. Mulai dari membuka mata, hingga ketika kita akan menutupnya untuk menunaikan hak istirahat tubuh di waktu malam, kita senantiasa akan bertemu dengan berbagai macam orang. Berinteraksi, sesungguhnya adalah salah satu cara kita untuk memberi energi cinta kepada sekitar kita.

Pada alam kita memberi cinta, dengan menjaga keseimbangannya dan tidak membuat kerusakan. Pada hewan dan tumbuhan pun kita memberi cinta, dengan memberikan hak mereka ketika menjadi tanggungan kita, menampakkan akhlak yang terbaik. Dan pada manusia, transfer energi cinta itu dapat kita lakukan dalam berbagai cara, baik langsung maupun tidak.

Izinkan saya menganalogikan hati manusia seperti sebuah kolam penampungan. Di dasar kolam itu, terdapat banyak keran yang dapat dibuka/tutup untuk pengaturan keluarnya isi kolam. Tentu saja, keran itu akan mengalirkan apa yang ditampung dalam kolam hati kita. Dan sebuah keniscayaan akan berlaku, ketika keran tersebut dibuka terus-menerus tanpa ada aliran masuk kembali, kolam itu akan menjadi kering. Maka, berinteraksi adalah aktivitas kita dalam membuka ‘keran’ untuk mencurahkan energi cinta. Dan agar kasih sayang sebenarnya yang teralirkan, ‘kolam’ tersebut haruslah diisi dengan materi yang sama, yaitu cinta dan kasih sayang.

Kembalilah sejenak untuk membaca firman Allah di atas. Untuk menanamkan rasa kasih sayang di hati kita, kuncinya adalah beriman dan beramal soleh. Sahabat... mari me-recharge energi cinta kita hanya dari sumber cinta yang abadi, Dia Yang Memiliki cinta tak terperi, cinta yang sangat sempurna. Mari, kita isi kembali energi cinta di hati kita dengan shalat-shalat khusyu' kita, tilawah-tilawah tartil kita, shaum sunnah kita, sedekah dan infak kita hari ini, doa-doa panjang kita di waktu malam, serta dari semua pos ibadah dan amal soleh yang telah Allah sediakan bagi kita.

Karena, untuk membuka ‘keran’ pencurahan energi cinta dari ‘kolam’ penampungan yang ada pada hati ini, terlalu sombong rasanya jika kita tidak pernah mengisi kolam tersebut dengan energi cinta dari-Nya. Ya, jika kolam itu sudah kering, apa yang bisa kita bagi?

Wallahua'lam bi shawab