Sunday, August 23, 2009

Sebuah Kisah Dari Kampung Jilbab

Oleh: Halimah Taslima

Pada tahun 2000 aku punya tetangga baru. Orangnya bergaya terbuka, maksudku dalam hal berpakaian. Celana yang dikenankannya setinggi lututnya, dan bajunya pun “you can see”. Orangya memang putih dan semampai. Ketika dia masuk keperkampungan jilbab, dia merasakan dirinya sangat langka. Sebut aja namanya Anne ( nama samaran ).

“Sekarang kamu berjilbab. Kalau boleh tahu apa penyebabnya?” Iseng aku bertanya pada Anne setelah sama-sama pulang dari belajar ngaji.

“Khan kamu tahu, dulunya auratku terbuka. Tapi setelah aku mejadi warga kampung ini, aku seperti minder sendiri.” Dia senyum-senyum sambil mensejajari langkahku yang terbilang cepat. Waktu menunjukkan jam 6 sore, aku harus tiba di rumah sebelum Magrib tiba.

Anne rajin mengikuti pengkajian rutin di kampung itu. Ketika kami belajar ngaji untuk memperbaiki tajwid kami, maka dia pun tidak ingin ketinggalan. Subhanallah! Dari seorang wanita yang tidak begitu paham ber-islam, akhirnya bersungguh-sungguh untuk memperbaiki diri.

Anne termasuk beruntung, karena bisa menggapai hidayah Allah S.W.T. Sebaliknya, ada seorang wanita, yang telah bergabung beberapa tahun pada pengkajian rutin, tetap saja tidak mampu menutup auratnya secara penuh. Bila berada di teras depan rumahnya, jilbabnya terlupakan.

Faktor teman memang mempengaruhi Anne, tapi tidak dengan yang lainnya. Ada beberapa warga di kampung jilbab seperti tak tersentuh oleh hidayah. Mereka hanya menutup aurat bila menghadiri ta’lim ataupun undangan. Selain itu? Tentu saja seperti kebanyakan wanita dalam berpakaian.

Ketika saya pulang dari menghadiri Ta’lim di siang hari, saya melihat Asni ( nama samaran ) duduk di teras depan rumahnya .Terlintas dalam benak :”Mengapa wanita yang satu ini belum istiqomah.” Saya hanya mampu mendo’akan, semoga pengkajian rutin yang diikutinya tetap dia lakoni. Hanya itu yang dapat saya lakukan.

Asni secara pelan tapi pasti, mulai meninggalkan jilbab. Silaturahim ke tetangga dekatnya mulai dia lakukan tanpa jilbab.Hasilnya? Dia mengundurkan diri dari dunia pengkajian dengan banyak dalih. Wallahu’alam, bila Allah tidak memberikan petunjuk kepada seseorang, maka kita pun tak kan mampu mengubahnya. Walau pun kita ingin.

Teringat tentang wejangan seorang ustadz :”Langkah syaitan itu sedikit, tapi pasti. Artinya dia menggoda manusia mulai dari yang paling ringan. Hingga manusia yang di godanya tidak merasa telah melakukan suatu kemungkaran. Pelan tapi pasti, menandakan usaha syaitan bersifat iqtiqomah hingga tujuannya berhasil”.

Dua wanita yang sama tinggal di kampung “jilbab”, ternyata tidak sama dalam menyikapi lingkungannya. Teringat saya akan tulisan Imam Al-Gazali di bukunya Ihya Ulumuddin bahwa : “Hati manusia itu bagaikan cermin. Hidayah Allah S.W.T di umpamakan cahaya. Maka, bila cermin itu kotor, walhasil cahaya seterang apapun tidak akan mampu menembus cermin itu.”

Ternyata Hidayah Allah selalu bersinar sepanjang masa, tapi untuk menemukannya diperlukan suatu keadaan yang harus kita miliki. Seperti yang telah di andaikan oleh Imam Al-Gazali, hati kita haruslah bersih sebagaimana cermin yang telah dibersihkan. Untuk mencapai itu memang diperlukan kemauan dan kesadaran yang kuat.
Karena kita tahu hati ini akan selalu kotor, apalagi di jaman sekarang yang merupakan jaman serba boleh. Setiap orang dapat mengekspresikan dirinya dalam berbusana. Dapat kita lihat juga pada tayangan televisi yang seharusnya terlarang, untuk ditayangkan di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini.

Maka benarlah, bila Allah S.W.T telah berfirman : “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan jiwa.” Saya lupa ayatnya, tapi firman ini membuat saya sadar, dan memberikan suatu makna pada diri, bahwa hati ini memerlukan suatu pembersihan yang berkelanjutan, agar hidayah Allah mudah kita genggam. Amin.

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP) Cab. Sengata

halimahtaslima@gmail.com

Wednesday, August 12, 2009

Kecantikan Asma

Selasa, 24 Maret 2009 00:11

Angin membelai wajahnya, terasa sejuk sapaan pagi itu. Langit masih tersaput kelabu yang malu-malu di intip sang surya.

Jahrah membuka jendela kamarnya tepat setelah shalat pagi ini. Dia menarik nafas dengan lembut, merona wajahnya di depan jendela.

"Alangkah sempurnya sang Pencipta alam ini!". Suaranya lirih terdengar bagaikan bisikan dari syurgawi, dia sangat terpukau.

“Apakah aku tertinggal lagi?” Matanya mencari-cari. Dipandanginya langit yang mulai memerah, langit tak lagi nampak muram. Sang surya telah menemaninya.

Kebiasaan untuk menyapa alam setiap pagi, terasa kurang lengkap bila belum menangkap segerombolan burung yang terbang melintasi halaman rumahnya. Pagi ini dia merasakan sedikit kekosongan. Burung pipit biasanya selalu bernyanyi untuknya.

“Mungkin besok aku dapat melihatnya lagi”. Diayunkannya langkahnya keluar kamar. Suaminya terlihat segar. Habis mandi rupanya. Tercium wewangian kesukaannya.

Jahrah melebarkan langkah, takut terlambat ke dapur. “Beberapa minggu ini aku sering membuat nasi goreng. Bikin special aja ya?” Jahrah bergumam sendiri.

Tangannya yang lincah membuat omelet telur dicampur jagung rebus. Tak lupa dia membakar roti yang dioles mentega. Sambil bersenandung kecil menyanyikan lagunya Aa Gym yang berjudul “Jagalah Hati”.

Ketika dia melihat mesin cuci disudut dapur dekat dengan pintu kamar mandi, dia bergegas melangkahkan kaki dan menekan tombol “ON”. Tadi malam dia lupa mencuci pakaian. Jahrah sangat bersyukur dengan kemajuan tekhnologi sekarang yang sangat membantu pekerjaannya. Memasak sambil mencuci pakaian bisa dilakukan dalam satu waktu.

Jahrah menata meja makan serapi mungkin, dihidangkannya omlet dipiring yang berwarna hijau yang senada dengan seprai meja makan yang berwarna hijau pula. PIringnnya agak lebar, dihiasinya potongan tomat segar berwarna merah disekeliling piring. Tak lupa ditaburkannya potongan daun seledri diatas omlet kesukaan suaminya.

Roti bakar hangat, ditambah teh wangi yang hangat, membuat suaminya bersemangat memakan sarapannya. Didampingi istrinya yang telah mengganti baju dapurnya dengan pakaian yang rapi.

Jahrah tidak ingin kalah rapi dengan teman-teman kerja suaminya yang perempuan. Mereka pasti rapi dan wangi di kantor suaminya. Oleh karena itulah Jahrah tidak pernah lupa untuk menyemprotkan sedikit wewangian, agar suaminya merasa nyaman bersamanya.

“Trim’s honey”, kata Harun suaminya sambil mengecup kening istrinya. Harun sangat mencintai istrinya. Harun sangat menghargai perhatian istrinya yang selalu membuatnya merasa nyaman. Dirangkulnya lama… seakan tidak ingin melepaskan dekapannya. Serasa daun-daun hijau ditetesi embun pagi, memberi kesejukan, ketenangan, rasa nikmat yang teramat dalam.


---------------ooo-------------

Harun sampai di kantor dengan perasaan nyaman. Ketenangan yang tidak di dapatkan begitu saja. Istrinya selalu mengingatkannya berdo’a, dan selalu berpesan : “Bang, ingatlah jika kamu bekerja adalah ibadah. Bukan semata-mata hanya ingin mendapatkan materi.” Hatinya selalu sejuk dan bersyukur di anugerahi istri yang sholeha. Tak ada sedikit pun penyesalan dalam menentukan pilihan, walaupun banyak rekan yang tidak setuju.

Memasuki kantornya, dia pun tak lupa mengucapkan puji dan syukur ke hadirat-Nya, bersyukur atas perjalanannya yang aman dan selamat sampai di tempat kerja.

“Hai.. lihat Harun nih! Temannya pada memperhatikannya dan melihat jam yang ada di dinding kantor ruang tunggu. Tepat jam 8 pagi!

Temannya selalu meledeknya karena Harun terlalu “on time” jam kerjanya. Datangnya tepat jam 8. Pulang pun jam 4 sore, tepat!

“Kamu seperti robot aja, masa datang dan pergi seakan memakai remote control!” Rame! Kawannya berseloroh di suatu acara makan siang bersama di kantornya.

“Remote control apaan tuh! Jadi orang itu jangan ngaret! Datang dan pulang on time, menandakan aku telah bekerja maksimal. Bayangkan kalian semua, tiap hari lembur terus. Kasihan yang di rumah, dapat cape’nya aja. Iya nggak?! Dengan terkekeh Harun mencounter balik lawan bicaranya.

Kawan-kawannya sih, sudah tahu betapa belagunya si Harunn. Harun sosok yang seriusan dalam bekerja. Untuk urusan cari istripun dia termasuk yang sangat selektif. Makanya umur 35 tahun baru dapat yang diinginkannya.

“Kamu nggak salah pilih ? Banyak yang lebih cantik. Misalnya Amy, Ninning, Jamilah dan….” Bakri terhuyung hampir jatuh. Harun mendorongnya agak kuat, untuk menghentikan ucapannya.

“Kamu ini bagaimana sih? Masa cewe-cewe murahan begitu yang di sodorin! Nggak dimintapun mereka datang. Aku lelaki yang suka tantangan dan orisinil. Bukannya seperti mereka yang make up setebal satu meter, pakaian yang kurang kain, bicarapun mendesis-desis!” Monyong bibir Harun memperagakan cewe-cewe genit yang dibicarakannya tersebut.

Harun ingat ketika dia memutuskan untuk menikahi Jahrah, banyak sekali nada-nada sumbang yang mempertanyakan pilihan Harun.

“Kamu khan seorang eksektuif?, mengapa pilih istri yang wajah maupun penampilannya biasa-biasa saja?.”

Harun biasanya hanya tersenyum dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia merasa tidak perlu menjelaskan bahwa istrinyalah yang membuat dia mendapat hidayah. Istrinya mampu menularkan semangat untuk selalu memperbaiki diri, mengingatkan untuk selalu mensyukuri apapun yang dimiliki.

“Kenapa kalian pada sewot pada pilihanku? Yang akan nikah itu aku!” Ditunjuknya dadanya, Harun senyum simpul.

“Huh…perjaka ting-ting!” Serempak suara temannya memberikan balasan.

Maklum, teman-temannya semua pada nikah. Urusan mencarikan jodoh untuk Harun semua pada kompak. Kompak untuk membandingkan, gadis mana yang cocok untuknya. Kelihatannya semua pada repot untuk menilai : Apakah ada keluarganya yang masih gadis : Temannya punya teman yang masih gadis, ataupun penjelajahan di sekitar rumah. Seperti orang yang akan kampanye aja tuh.

“Di dunia ini hanya ada satu tempat yang selalu aku rindukan!” Dengan mimik wajah yang serius dia memelototi teman kantornya.

“Alah…kamu itu, semua orang udah tahu, kamu kan orang rumahan. Mau terus ngemong istri!”

---------------ooo---------------

“Aku sudah siap menyambut suamiku!” Jahrah memperhatikan penampilannya. Berputar-putar di depan cermin. Kemudian sedikit tercenung. Wajahnya pias, tersirat kecemasan yang dalam.



“Wajahku mulai berkerut. Ada kerutan kecil di sudut-sudut mata.” Dengan cemas dia mulai menyentuhnya. Dia merasa penuaan mulai mendatangi. Ada kebimbangan yang dalam. Hening sejenak. Tak tahu apa yang akan dilakukannya.



Dia tahu, teman-teman suaminya sangat detail memperhatikannya. Bila acara kumpul bareng, seakan Jahrah ingin diterkamnya. Keinginan untuk menyatu, tertapis tatapan yang kurang bersahabat. Ada sejumput luka di relung hatinya.



Kadang dia kasihan pada Harun. Berulang kali dia menolak dengan berbagai alasan, tapi Harun selalu mampu membuatnya takluk dengan keinginannya.



Ketika ponselnya berdering, Jahrah langsung meraih teleponnya yang telah diletakkan di meja didepannya. Mejanya bundar berwarna coklat dialas kain bundar yang berwarna hijau yang terbuat dari kayu jati.



“Wa’alaikum salam”, Jahrah menjawab telepon dengan santai menjulurkan kakinya dilantai teras, yang terbuat dari ubin yang berwarna hijau muda yang diberi ornament bunga-bunga kecil dan berwarna merah campur kuning.



“Maaf ya bu, jika sore hari saya tidak bisa”, Jahrah menjawab dengan lembut untuk menolak permintaan rapat mendadak ibu-ibu majlis ta’lim di lingkungannya.



“Maaf ya bu, saya tidak bisa hadir. Suamiku belum datang!” Dengan lembut Jahrah menolak.



Jika pergi dari rumah, dia akan selalu minta restu suaminya. Perasaannya akan bimbang, bila dia tidak yakin suaminya mengijinkannya.



“Assalamu’alaikum”, Harun menghampiri istrinya dan merangkul pundaknya.



“Bidadariku, sambutlah kandamu yang lelah ini. Obatilah hati yang rindu ini!” Senyuman Harun melebar, ketika dilihatnya Jahrah sedikit manyun.



“Ah… baru datang, udah godain! Malu didengar anak-anak.” Akhirnya bibir Jahrah merekah kembali. Senyumnya segar. Wajahnya bercahaya terpantul cahaya sore yang berpamitan.



Ada kesegaran pada istrinya di sore ini dan membuat lelahnya seakan hilang. Inilah yang selalu dirindukannya. Pulang disambut istri. Wangi lagi!



Kata orang cemburu hal biasa dalam rumah tangga. Kecemburuan adalah bumbu penyedap untuk kemesraan yang monoton. Kecemburuan sekali-kali diperlukan agar bisa survive menjalani bahtera yang bernama rumah tangga.



Kecemburuan perlu ada dan perlu dikelola. Kehangatan, rasa sayang, terutama cinta pada pasangan tetap dapat mekar. Seperti tanaman yang harus selalu disiram, dipangkas batang yang mengganggu, mengganti tanahnya agar tumbuhnya lebih subur.





Untuk urusan cemburu, Jahrah jauh dari sifat itu. Dia type wanita yang selalu berbicara dengan fakta. Kata orang, perempuan selalu bicara dengan hati, maka Jahrah pengecualiannya.



Rasa cemburunya kadang selintas hadir bila suaminya berbincang-bincang dengan perempuan cantik di dekatnya. Kolega suaminya sepertinya nggak ada yang jelek di matanya. Mereka semua anggun dan professional. Dibanding dirinya? Orang rumahan, apa yang dapat dibanggakannya? Tapi kecemburuanya mampu dialihkan dengan tepat.



Pada awal pernikahan, Jahrah mengalami kecemburuan yang tak diinginkannya. Seperti mata tombak yang tak mau lepas dari ulu hati. Dalam, berdarah! Dibawa dalam tangis diam-diam.

“Kenapa aku ini? Kenapa aku menangis? Apa yang salah?” kata-kata itu selalu diucapkannya untuk menetralkan jantungnya yang ingin melompat. Badan serasa terhimpit berton-ton dinding batu. Mulutpun ingin mengeluarkan sumpah serapah.



Jahrah tidak ingin merasakannya, tapi badannya tak ingin di ajak kompromi. Dia berontak dengan suara hatinya. Berusaha menghembuskan nafas berkali-kali. Dia pun pasrah. “Aku cemburu!” Desisnya di depan cermin.



Kedatangan sepupu Harun setiap minggunya, membuat jantungnya berdegub kencang. Ada keinginan untuk menolak kehadirannya, tapi tak mampu berucap. Hanya sesungging senyum, mengulurkan tangan. Menyambut kedatangan tamu yang tak diinginkannya.



Asma, begitulah nama tamu itu. Asma dan Harun sangat akrab. Menurut Jahrah, itu tidak etis. Mungkin sebelum Harun menikah, itu hal yang wajar.



“Kamu tidak suka dengan kedatangannya?” Berbisik Harun pada suatu senja. Jahrah terlihat sedikit kikuk, wajahnya bagai rembulan yang kehilangan cahaya. Matanya pun lebih sering memandangi ujung jemarinya yang lentik.



Walaupun baru sebulan pernikahan mereka, rupannya Harun sudah mengenal kondisi istrinya bila ada sesuatu yang kurang pas dihati. Istrinya bertype terbuka. Apapun suasana hatinya, akan terpancar pada wajahnya.



Asma, yang matanya yang indah selalu berbinar-binar, wajahnya putih. Pipinya selalu bersemu merah jika disanjung. Badannya proposional, rambutnya hitam lurus sampai di pinggang. Bila dia mau, mungkin dia bisa jadi aktris sinetron yang terkenal. Dia menyukai pakaian yang agak tertutup, walaupun tidak berjilbab. BIcaranya lembut dan indah didengar ditelinga. Bicaranya santun. Jahrah selalu memperhatikan raut wajah suaminya yang juga bersinar bila bercakap-cakap dengannya.



Ingin sekali dia mengatakan pada suaminya :” Kedatangan Asma membuatku tak nyaman!”



Minggu ini, Asma kembali berkunjung. Membawakan kue pisang belanda kesukaan suaminya.



“Enak nggak? Asma menanyakan pada Harun tentang kue olahannya.



“Kalau kamu yang bikin, pasti enak deh!” Dengan bercanda Harun melempar pandang pada Jahrah.



Harun tertegun sejenak, dia melihat rona mendung meliputi wajah istrinya. Pias, mungkin itulah kata yang tepat. Ada sedikit rasa bersalah pada dirinya. “ Bagaimana aku harus bersikap?”. Harun Membatin.



Harun pun terdiam sejenak, membuat Asma sedikit terheran.



“Hai…bisa-bisanya ngelamun sambil makan!” Asma menggoyangkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.



“Nggak tuh, Cuma berusaha menikmati kuenya! Apa nggak boleh!?” Harun berusaha mengelak pertanyaan itu, takut ketahuan jika dia sedang mengalami rasa yang serba salah.



Asma saudara sepupu dan teman terdekat saat kecilnya. Rasa sayang itu, tidaklah mungkin bisa dihilangkan. Kenangan masa kecil yang indah bersama Asma membuatnya kadang tersenyum sendiri.



Kunjugan Asma yang rutin, merupakan hal yang disenanginya. Tapi Harun tahu, istrinya menyimpan sebuah beban. Pilihan sulit untuk menentukan sikap. Melarang Asma datang, berarti membuatnya kangen. Kangennya sering dibawa dalam mimpi.





Bukan kedekatan suaminya yang ditakutkan, tapi Jahrah takut pesona Asma akan melunturkan ikatan cinta mereka. Kedekatan sebagai seorang saudara, mungkin akan berbalik menjadi api asmara yang tak bisa dipadamkan.





Sejujurnya Jahrah tidak menyukai kunjungan Asma ke rumahnya. Tapi Asma selalu rutin berkunjung setiap minggu ke rumahnya dan selain berbincang dengan suaminya juga akrab dengan kedua putrinya. Jadi ketika Asma di rumahnya, Jahrah berusaha tetap hangat walaupun jauh didasar hati dia sangat tersiksa. Jahrah selalu menekankan pada dirinya bahwa Asma adalah saudara suaminya. Asma tidak punya salah padanya. Asma sempurna dimatanya karena Allah yang memberikan kecantikan itu. Kenapa harus membenci Asma?

Begitulah Jahrah selalu mendinginkan hatinya.





“Cantik sekali hari ini. Semoga pernikahan ini langgeng sampai kakek nenek!” Jahrah menyalami Asma.



Hari ini dia begitu tulus berucap. Tidak ada beban. Serasa ikatan yang menghimpit kemudian lenyap bersama debu yang berterbangan.

Itulah pertemuan terakhir Jahrah dengannya. Hingga beberapa tahun, Jahrah seakan melupakan sosok yang sering membuat tidurnya terjaga di malam hari.



-------ooo-------



Masa 3 tahun cukup lama dilewati. Serasa baru kemarin Asma mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang hanya menimbulkan beberapa goresan pada tubuhnya, tapi berakibat fatal pada syarafnya. Saat kecelakaan itu, Asma mengalami muntah-muntah dan pingsan beberapa jam.



Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama setelah Asma pulang kampung. Barulah Jahrah bertemu kembali dengan suasana yang sangat berbeda. Pertemuan yang membuat Jahrah tidak berkedip memandang Asma.

Bibirnya kelu untuk menyapa. Jantungnya berdegup kencap. Bukan cemburu seperti yang pernah dialaminya diawal perkawinannya, tapi keterkejutan Jahrah ketika Asma menyalaminya dengan senyum.

“Lama nggak ketemu ya…Asma kangen!”

“Kami juga kangen lho! Udah 3 tahun nggak ketemu.” Jahrah merangkul Asma dengan erat. Kecemburuan yang pernah singgah di hatinya, membuatnya sedikit bersalah. Kondisi Asma yang luarbiasa mengejutkan, membuatnya berfikir ulang tentang sebuah “kecantikan”.

“Lihat kunci rumahku?”. Asma bertanya pada orang disekililingnya. Dia pun sibuk merogoh kantong roknya, lalu mencari di atas meja tamu. Bolak balik ke kamar, dapur dan halaman. Nggak ketemu.

Orang serumah memandang sedih padanya. Pikun Asma mulai lagi. Tidakkah dia menyadari dirinya tinggal di rumah ini, rumah orangtuanya. Ada setetes air bening jatuh di pangkuan Jahrah.

Jahrah melihat Asma seperti perempuan berumur 50an. Asma yang baru berusia 30 tahun, terlihat kurus dan kusam. JIka kita berbincang padanya sering tidak nyambung. Asma seringkali lupa dengan apa yang telah dilakukannya.

“Oh… aku tinggal di sini ya?” Asma bergumam sendiri. Ada senyum lembut di sudut bibirnya.

“Permisi, aku belum sholat dzuhur. Maaf aku tinggal.” Kesopanan yang dimiliknya tetap ada.

Kecantikan Asma memang memudar, tapi sifat dasar yang dimilikinya masih ada : Lembut, Sopan dan suka tersenyum tetap ada padanya.

Jahrah pun mendapat pencerahan arti sebuah kecantikan. Kecantikan tidak ada yang abadi. Kepribadian seseoranglah yang akan dibawa mati.

Asma meninggal dalam usia 32 tahun, dengan memberikan pelajaran tentang bagaimana kita seharusnya memandang kehidupan yang hanya sekali ini, membuat Jahrah tambah dekat dengan sang Pencipta.


(Teriring salam untuk semua yang aku kasihi di kota Samarinda : Alika, Ecce, Ayi, Jirin, Yuni)