Saturday, August 30, 2008

Doa di Bulan Ramadhan

(Sumber: eramuslim.com)

Dalam rangkaian ayat Al-Qur’an mengenai puasa di bulan Ramadhan terselip suatu ayat yang secara khusus membicarakan soal berdoa. Di dalamnya Allah subhaanahu wa ta’aala perintahkan orang beriman untuk berdoa kepadaNya. Dan Allah subhaanahu wa ta’aala berjanji untuk mengabulkan doa siapapun asalkan memenuhi tiga syarat: (1) Memohon hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, bukan selainNya. (2) Memenuhi segala perintahNya dan (3) Beriman kepada Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai Rabb yang Maha Kuasa mengabulkan permintaan dan menetapkan taqdir segalanya.


أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah ayat 186)

Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana orang beriman mempunyai kesempatan begitu luas untuk berdoa kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan waktu-waktu mustajab (saat doa berpeluang besar dikabulkan Allah) tersebar dalam beberapa momen khusus sepanjang Ramadhan.

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: (1) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, (2) imam yang adil dan (3) doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi 3522)

Subhanallah…! Dalam hal berdoa orang berpuasa disetarakan dengan pemimpin yang adil dan orang terzalimi. Doa orang berpuasa mustajab. Didengar, tidak ditolak Allah subhaanahu wa ta’aala. Bahkan dikabulkan insyaAllah. Setiap orang yang faham hadits ini sangat bergembira menyambut Ramadhan. Sebab itu berarti selama 29 atau 30 hari selama ia berpuasa peluang doanya dikabulkan Allah subhaanahu wa ta’aala sangatlah luas…!

Dan terlebih lagi saat menjelang berbuka ketika menanti tibanya azan Magrib. Kita harus memanfaatkan waktu sebaiknya untuk berdoa saat itu. Maka, saudaraku, manfaatkan kesempatan emas menjelang berbuka dengan mengajukan berbagai permintaan kepada Allah ta'aala. Sebab sebagian masyarakat kita malah menghabiskan waktu dengan ngobrol tidak karuan menjelang magrib di bulan Ramadhan. Padahal coba perhatikan hadits berikut:


سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak pada saat berbuka.” (HR Ibnu Majah 1743)

Lalu apakahlafal khususNabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelang ifthor berbuka puasa? Beliau membaca sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ

وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Jika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam berbuka, ia berdoa: Dhahabazh-zhoma-u wab tallatil-'uruq wa tsabbatal-ajru insyaa Allah “Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.” (HR Abu Dawud 2010)

Mengapa di dalam doa berbuka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan: ”...dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.”?

Karena sesungguhnya yang sangat diharapkan bukan semata kegembiraan pertama sewaktu berbuka di dunia, melainkan yang lebih diharapkan orang beriman ialah kegembiraan kedua yaitu saat bertemu Allah ta’aala di hari berbangkit kelak. Orang beriman ketika itu bergembira berjumpa Allah ta’aala karena puasanya sewaktu di dunia diterima olehNya. Demikianlah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda dalam hadits sebagai berikut:


لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat kelak perjumpaannya dengan Allah ta’aala karena ibadah puasanya.” (HR Bukhary 1771)

Hidup manusia di dunia adalah pergantian antara susah dan senang. Maka selama bulan Ramadhan khususnya, marilah kita membaca yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam biasa baca ketika menghadapi keadaan susah maupun menerima karunia. Untuk mengantisipasi kesusahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam melazimkan kalimat istighfar sebagaimana hadits berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang tetap melakukan istighfar, maka Allah subhaanahu wa ta’aala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan melapangkannya dari setiap kesempitan serta akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak diduganya.” (HR Abu Dawud 1297)

Sedangkan ketika menerima karunia, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menganjurkan kita membaca sebagaimana hadits berikut:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً
فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ

“Setiap orang yang diberi karunia Allah ta'aala lalu ia membaca ‘Alhamdulillah’, maka Allah ta’aala akan berikan yang lebih utama daripada apa yang telah ia terima.” (HR Ibnu Majah 3795)

Ya Allah, basahi lidah kami dengan mengingatMu selalu. Cerdaskan kami dalam mengajukan doa-doa kepada Engkau sesuai situasi dan kondisi kami masing-masing mengikuti teladan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Ya Allah, berkahilah kami di bulan Sya’ban dan Ramadhan. Amin ya rabb...

Friday, August 29, 2008

Peranan Kaum Wanita

Oleh: Vivi Apriyani Mulyana
(Sumber: Republika Online)


Dikisahkan, seorang wanita datang menghadap Baginda Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, saya mewakili kaum wanita ingin bertanya kepadamu. Mengapa berperang itu hanya Allah wajibkan atas kaum laki-laki? Jika mereka terkena luka, mereka mendapat pahala, dan kalau terbunuh, maka mereka adalah tetap hidup di sisi Allah, lagi dicukupkan rezekinya.''

Setelah berhenti sejenak, wanita itu lalu melanjutkan, ''Sedangkan kami, kaum wanita, selalu hanya melakukan kewajiban terhadap mereka (suami). Apakah kami boleh ikut (perang) agar memperoleh pahala berperang?'' Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah SAW pun bersabda, ''Sampaikanlah kepada perempuan-perempuan yang kamu jumpai bahwa taat kepada suami dengan penuh kesadaran dan keihklasan, maka pahalanya seimbang dengan pahala perang membela agama Allah. Tetapi, amat sedikit dari kamu yang menjalankannya.''

Kisah di atas menggambarkan bahwa adanya perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan merupakan sunatullah. Perbedaan tersebut, dalam pandangan Islam, bukanlah untuk melecehkan atau merendahkan antara keduanya, melainkan untuk saling membantu, mengisi, dan memuliakan. Islam mengajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah setara, dan yang membedakan antara keduanya hanyalah ketakwaan-Nya. Bahkan, Allah akan memberikan pahala yang sama jika mereka beriman dan mengerjakan amal saleh.

Allah SWT berjanji dalam firman-Nya, ''Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS 16: 97). Inilah hakikat sebenarnya emansipasi dalam pandangan Islam. Emansipasi yang tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga mengandung nilai ukhrawi. Emansipasi yang tidak memandang perbedaan peranan sebagai penghalang dan harus disamakan. Melainkan, emansipasi yang memandang adanya perbedaan peranan sebagai sebuah kekuatan untuk saling melengkapi dan membangun kesinergian menuju kemuliaan bersama.

Dalam kaitan ini, Danielle Crittenden, penulis buku Wanita Salah Langkah? Menggugat Mitos-mitos Kebebasan Wanita Modern, menilai, emansipasi yang diusung kaum feminis modern telah salah langkah. Ia berpendapat emansipasi yang diinginkan kaum wanita modern telah mencampakkan para wanita dari panggung kehidupan sebenarnya, yaitu kebersamaan, saling menghormati posisi dan fungsi masing-masing, saling berbagi, saling perhatian dan mencintai antara suami, istri, dan anak. Karenanya, sebaiknya kita, khususnya para wanita, menyadari bahwa jihad terbesar adalah dalam keluarga. Yakni, bagaimana kita dapat menjadi ibu yang baik dan bermanfaat bagi anak-anak serta menjadi istri yang salehah bagi suami. Selain itu, kita pun harus menjadi pelopor kebaikan dalam keluarga dan masyarakat. Sebaliknya, kita pun berharap para suami pun berbuat serupa. Wallahu a'lam bis-shawab.

---

Tuesday, August 5, 2008

Perempuan Terbaik

(Sumber: www.eramuslim.com)

Wahai bunda
hanya Tuhan saja yang dapat membalas jasamu erana Tuhan saja yang tahu penderitaanmu
(Nasyid dari Nowseeheart)


Saat itu saya masih empat belas tahun. Untuk pertama kalinya, saya harus berpisah 'jauh' dengannya, perempuan terbaik yang pernah kenal. Tatkala tangan-tangan itu melambai, rasa bersalah berdentam-dentam di rongga dada. Ugghhh... kenapa saya tega meninggalkannya sejauh itu. Belum terbayang, kapan lagi saya akan kembali bertemu dengannya.

Sebelum perpisahan jarak 'jauh' itu, jarang sekali bunda enggan memberi izin, bila saya minta izin bepergian. Suatu ketika, saya pamit untuk pergi camping, mengikuti kemah pramuka Sabtu-Minggu di dekat gua stalagnit di kampung kami. Untuk pamitan dua hari itu pun, izinnya didapat dengan alot sekali.

"Hati-hati ya nak... jangan merusak alam, jangan berbuat macam-macam hati-hati... jangan..."

Berkali-kali nasehat itu diperdengarkan, risau sekali beliau akan keselamatan puteranya. Padahal, namanya juga acara anak SD, camping perkemahan Sabtu-Minggu itu di back-up puluhan guru pembina. Jumlah guru yang menyertai camping hampir sama banyak dengan jumlah murid, sebagai bukti keseriusan pihak sekolah untuk menjamin keselamatan kami. Tapi, namanya bunda, ia tetap saja penuh kekhawatiran pada keselamatan anaknya. Raut wajahnya tampak sangat mencemaskan puteranya yang berkeras untuk tetap pergi.

***

Tak lama berselang setelah perpisahan 'Sabtu-Minggu' itu, perpisahan 'jauh' benar-benar terjadi. Kali itu bukan camping di pinggir kecamatan. Tapi saya harus terbang menyeberangi lautan. Untuk melanjutkan studi ke sekolah dambaan. Tak terbayangkan bagaimana perasaan bunda melepas bocah kecilnya sejauh itu.

Satu tahun berselang, di sebuah libur panjang sekolah, saya kembali bertemu bunda. Sejuk wajahnya dan binar ketulusannya masih sama. Pehatian dan kasih sayangnya pun belum berubah. Cuma mungkin penampilannya sedikit berubah. Kilau perak mulai terselip di rambutnya.

Sejak saat itu, dengan dalih cita-cita, berulang kali saya meninggalkanya. Berulang kali beliau harus membekap kerinduan, memasung rasa kasih pada buah hatinya. Pada saat saya tergelak tertawa dengan konco sekodan, mungkin bunda sedang tenggelam dalam isak tangis kerinduannya. Saya sendiri, bukan tidak rindu padanya, warung bubur kacang ijo gang Masjid mungkin pelampiasan paling manjur, kalau rasa kangen padanya sedang meradang. Maklum setiap libur sekolah bunda selalu setia menanti dengan bubur ijo kesukaan puteranya. Jauh hari sebelum puteranya datang, berkilo-kilo kacang ijo sudah dipesannya untuk putera tersayang, yang belum jelas tanggal kedatangannya.

Saat melihat ibu-ibu lanjut yang berjalan sendiri di keramaian pasar, ingin rasanya menyapa mereka, mengajak bersenda-gurau, sambil berharap bunda juga diperlakukan ramah pula oleh lingkungannya. Kala menjumpai nenek yang beringsut membawa belanjaannya, terketuk keinginan untuk menawarkan bantuan, karena terbayang bunda yang tertatih-tatih dengan bebannya. Jika sudah mengkhayal begini, pertanda kerinduan padanya telah mengkristal. Cuma doa yang mampu dirangkum saat itu, semoga Allah Yang Menguasai langit dan bumi, menjaga dan menyayangi bunda.

Bila melihat pertikaian di tengah kampung kami, berbicang dengan bunda adalah solusi terbaik.

"Jangan pikirkan apa pelakuan orang yang mendzalimi kita, pikir saja kekhilafan kita, coba memperbaiki diri, jangan menghiraukan kata-kata sampah yang datang dari kaum jahil, persekongkolan para pendengki para itu sudah jelas sejak perang Khandaq. Belajarlah untuk menjadi hamba yang tulus, yang tak terganggu dengan perlakuan manusia, tapi niat karena-Nya harus benar, jangan pernah berharap pada makhluk."

Plong. Kepala yang tadinya cekot-cekot sepulang melihat perseteruan di balai desa langsung terobati.

Berbicara tentang ketulusan, ketulusan seorang ibu mungkin nomor satu. Saat bayi lemah tanpa gelar kesarjanaan itu lahir, dengan penuh khidmat, kasih sayangnya mengalir lancar tanpa pamrih. Menabur benih kebaikan kepada makhluk yang 'bukan siapa-siapa' memang aneh di era kapitalisme ini. Tapi itulah bunda, yang tak melihat apa yang akan didapatnya dengan membesarkan kami. Memperoleh senyum manis kerabat saat kenduri tetangga mungkin sudah lumrah, tapi mendapatkan perhatian penuh kasih bunda saat demam meradang menjelang subuh, itu baru luar biasa.

***

Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu"
Kemudian tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau mejawab, "Bapakmu."
(Muttafaq 'alaih).

***

Mu. Abdur Razzaq

Untuk bunda, perempuan terbaik yang saya kenal.

Sunday, August 3, 2008

Melihat Calon Isteri Tanpa Jilbab

(Sumber: eramuslim.com)

Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Pak Ustadz Apakah boleh Calon Suami melihat Calon Isterinya tanpa menggunakan Jilbab? Adakah dalil yang mendukung?Mohon segera dijelaskan. Syukron. Wassalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

NN
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Islam tidak mencela apalagi melarang seorang laki-laki yang menginginkan kriteria tertentu atas calon isterinya, bahkan kepada hal-hal yang bersifat fisik sekalipun. Katakanlah misalnya, seorang laki-laki ingincalon isterinya punya jenis rambut tertentu, atau warna kulit tertentu, atau tinggi tertentu, bahkan jenis suara tertentu.

Semua keinginan itu adalah hal yang wajar dan tidak bisa divonis sebagai sikap mendahulukan hal-hal fisik ketimbang non fisik.

Sebab di antara salah satu pertimbangan yang diterima syariat Islam tentang memilih calon isteri adalah masalah fisik, yaitu masalah kecantikan. Selain masalah keturunan, kekayaan dan agama tentunya.

Yang dilarang adalah mengalahkan pertimbangan sisi agama oleh sisi pertimbanan sisi kecantikan saja. Itulah makna fazhfar dizatid-diin yang sebenarnya. Bukan berarti seorang diharamkan bila secara fitrah menginginkan punya isteri yang cantik menurut kriteria subjektif darinya.

Karena itulahsyariat Islam memberikan kebolehan bagi seorang laki-laki untuk melihat secara fisik wanita yang akan menjadi calon isterinya. Maka demikianlah disebutkan dalam semua kitab fiqih, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan seorang laki-laki melihat seorang wanita adalah saat berniat untuk menikahinya. Sebagaimana yang pernah Rasulullah SAW anjurkan kepada seorang shahabatnya yang berniat hendak menikahi seorang wanita.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اَلنَّبِيَّ قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً: أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا? " قَالَ: لَا. قَالَ, " اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang menikahi seorang wanita, "Sudahkah kamu melihatnya?" Dia menjawab, "Belum!." Nabi SAW bersabda, "Pergilah dan lihatlah." (HR Muslim)

وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا, فَلْيَفْعَلْ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Jabir ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila seorang di antara kalian melamar wanita, bila mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim menshahihkannya)

Namun kebolehan untuk melihat calon isteri tidak menggugurkan kewajiban menutup aurat bagi pada wanita. Hukum kewajiban menutup aurat bagi seorang wanita dan keharaman terlihat auratnya itu oleh laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya, tetap eksis dan tidak bisa digugurkan begitu saja. Apalagi hanya karena kepentingan calon suami yang ingin melihat keadaan fisik calon isterinya.

Hukum menutup aurat bisa gugur hanya dengan hal-hal yang bersifat darurat secara syariah, misalnya untuk kepentingan pengobatan yang secara akal manusiawi tidak atau belum ditemukan cara lain. Dalam kasusseorang ibu yang terpaksa harus melahirkan dengan operasi sesar karena ada kelainan dalam proses persalinan, sedangkan dokter yang ada hanya laki-laki, maka saat itu demi menolong nyawa keduanya, sebagian aurat yang terkait dengan operasi itu boleh sementara terlihat.

Sebaliknya, kalau hanya untuk calon suami yang 'penasaran' ingin melihat secara langsung keadaan fisik calon isteri, hukumnya haram. Dan rasa 'penasaran'nya itu tidak termasuk ke dalam kategori darurat yang menggugurkan keharaman.

Sehingga titik temunya ada pada kebolehan melihat wajah dan kedua tapak tangannya. Di luar keduanya, tetap haram untuk dilihat secara langsung.

Lalu bagaimana dengan kepentingan calon suami? Apakah dia harus 'membeli kucing dalam karung'? Bagaimana kalau setelah akad nikah, suami kecewa dengan keadaan fisik isterinya? Bukankah hal itu tidak adil?

Untuk itu marilah kita dudukkan masalahnya dengan jelas. Sebenarnya yang dilarang hanyalah melihat secara langsung. Sedangkan bila keadaan fisik seorang calon isteri diceritakan oleh orang yang berhak dan tsiqah, hukumnya tidak dilarang.

Yang secara penglihatan langsung dibolehkan memang hanya wajah dan kedua tapak tangan, tetapi sebenarnya 'fasilitas' ini sudah sangat sarat memberi informasi.

Misalnya informasi tentang jenis kulit, kehalusannya serta warnanya, sudah pasti sangat jelas dan terpenuhi. Karena wajah dan kedua tapak tangan itu ada kulitnya dan boleh dilihat. Demikian juga dengan ukuran tinggi tubuh, boleh dilihat secara langsung. Juga suaranya yang memang bukan aurat, boleh didengar secara langsung. Raut wajah yang halal dilihat sudah sangat menggambarkan kecantikan seorang wanita, karena pusat kecantikan fisik wanitamemang ada di wajah.

Bahkan buat sebagian orang yang ahli, cukup dengan melihat telapak tangan bagian dalam, bisa didapat banyak informasi yang lumayan lengkap, misalnya tentang kerajinannya dalam bekerja, kemampuannya dalam memberi keturunan dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan bentuk fisik rambut? Bukankah buat sebagian laki-laki, jenis rambut, bentuk serta modelnya, cukup menjadi bahan pertimbangan?

Rambut adalah aurat wanita, haram dilihat oleh laki-laki asing (ajnabi), termasuk calon suami. Maka untuk kepentingan itu, informasinya boleh disampaikan dengan jalan diceritakan. Baik secara langsung oleh yang bersangkutan, atau oleh orang lain yang tsiqah. Misalnya oleh keluarganya, atau sesama wanita. Buat mereka yang ahli, cukup diceritakan ciri fisiknya, sudah lumayan lengkap dan bisa tergambar.

Pernahkah anda melihat ahli lukis wajah yang bekerja untuk kepolisian? Dia mampu melukis ulang wajah seorang penjahat tanpa pernah melihat langsung wajahnya, cukup dengan mendengarkan keterangan dari orang lain yang pernah melihatnya. Hasilnya, hmm not to bad!. Buktinya banyak penjahat tertangkap setelah polisi mengedarkan lukisan wajahnya.

Tapi semua informasi tadi tidak akan didapat bila sesorang hanya melihat pas poto yang berukuran 2x3 cm, seperti yang sering terjadi dalam urusan ta'aruf para aktifis dakwah. Padahal Rasulullah SAW telah membolehkan untuk melihat secara langsung, bahkan sampai menganjurkan. Maka berta'aruf hanya lewat pas photo justru tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Paling tidak, sekian banyak informasi yang merupakan hak seorang calon suami, tidak akan didapat dengan mudah. Apalah arti selembar bio data dan sebuah pas foto yang tidak berwarna?

Kesimpulan:

Maka melihat calon isteri secara fisik hukumnya sunnah, karena memang demikianlah anjuran dari nabi kita SAW. Namun hanya boleh terlihat wajah dan kedua tapak tangannya, karena selain dari keduanya, merupakan aurat yang haram dilihat. Tapi kalau diceritakan, hukumnya boleh, bila dilakukan dengan memenuhi aturan syariah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc