Tuesday, February 14, 2006

Ibu Tidak Ridho Dengan Jilbab Panjang

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalamualaikum wrwb...

Ustadz, saya mau bertanya. Selama ini saya memakai jilbab panjang hingga pinggang dan ibu saya tidak menyukainya. Menurutnya asalkan bagian depan sudah menutup dada saja sudah memenuhi kewajiban. sudah berbagai alasan saya kemukakan namun ibu tetap tidak mau terima dan bahkan menyatakan tidak akan ridho jika saya tetap tidak menaikkan jilbab saya. Benarkah apa yang diperintahkan ibu saya? Apakah saya berdosa jika tetap menggunakan jilbab panjang yang berarti tidak mengindahkan perkataan ibu?

Atas jawabannya saya ucapkan jazakumullah khairan katsiran,

Wssalamualaikum wrwb.
Nisa
Ciganjur

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Kalau mengacu kepada jumhur ulama, sebenarnya batas aurat wanita itu adalah selurh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.

Sedangkan apakah harus mengenakan model jilbab panjang sampai ke pinggang, sebenarnya tidak ada keharusan. Memang salah satu syarat pakaian wanita itu haruslah tidak sempit, lebar dan luas. Namun intinya adalah agar jangan sampai mencetak lekuk tubuh.

Maka bila memang pakaian dan kerusung sudah dianggap bila memenuhi syarat itu, secara hukum sudah gugur kewajibannya. Adapun ada sebaik kalangan yang berpendapat haruslah jilbab itu sampai pinggang dan menutupi hampir semua bagian tubuh, kami lebih berpendapat merupakan bab afdhaliyah, yaitu keutamaan.

Masalah keutamaan ini berbeda dengan masalah kewajiban. Sebab yang namanya kewajiban itu sifatnya pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan afdhaliyah itu bisa saja dilakukan manakala tidak ada orang lain yang komplain. Namun jangan sampai dalam rangka mengejar afdhaliyah, kita malah jadi bermasalah dengan orang lain. Kita merasa benar karena menurut kita, kita sedang berusaha menjalankan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, namun syariah Islam juga tidak melupakan masalah kehidupan sosial kita juga.

Dalam kasus anda, barangkali dalam pandangan ibu anda, jilbab yang sampai ke pinggang itu berlebihan, paling tidak untuk dikenakan di lingkungan anda. Ada banyak komentar orang tentang hal itu sehingga terkesan malah menjadi sumber fitnah.

Sebagai musliman yang baik, tidak ada salahnya bila anda mencermati hal-hal seperti ini, sebab jilbab panjang bukan kewajiban mutlak, sedangkan ridha dari orang tua sudah tidak ada khilaf dari siapapun tentang kewajibannya. Silakan anda berpikir lebih dalam dan dengan hati yang tenang. Semoga Allah SWT memberikan jalan keluar yang tepat. Amien.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Monday, February 13, 2006

Doa Perempuan (Miranda Risang Ayu)

DOA PEREMPUAN

Allah
Yang Maha Kasih dan Maha Sayang
tolong dengar kata-kataku.
Masih bolehkah kusapa Engkau seperti dulu:
Kekasih?

aku ingat
Kauhadir bersama langit dan bumi,
bersama air, angin, tetumbuhan dan kupu-kupu
dan di hadapan sekuntum bunga yang baru mekar
Kita tersenyum
hingga lenyap bumi lenyap semu
dalam wewangian.
aku ingat
Kauhadir bersama pekat malam
tanpa bulan tanpa perapian tanpa peraduan
dan aku lelap dalam sujud-Mu yang panjang
hingga hadir peri-peri kecil mengetuk pintu mengucapkan salam.

Itu semua ketika
aku berpaling dari segala yang bukan.
kumasak air dan air itu milik-Mu.
kutatap lekat perkawinan sayur-mayur di belanga
dalam ingatanku kepada-Mu.
kudekap anak-anak
titipan-Mu.
kubangun mimpi-mimpi
untuk kehadiran-Mu.
Dan kurasakan
Kau tersenyum
ketika ingatanku kepada-Mu
membuatku menemukan puasa tanpa berbuka
dalam tidur dan jagaku
yang terjadi semata-mata
karena kekuasaan-Mu.

Tetapi kini
kurasa aku memang tidak layak lagi
berkata-kata.

Lihat luka-luka yang kubuat
karena kebodohanku sendiri
yang cuma manusia.

Ternyata alam semesta masih milikku, aku merajainya
harta-benda rumah pakaian milikku, aku menimbunnya
keluarga anak-anak milikku, aku takut kehilangan mereka
perkiraanku milikku, aku mempercayainya
mimpi-mimpi milikku, aku rekayasa wujudnya
diriku milikku, kucemburui cerminnya
dan harga diriku juga milikku, enggan hancur aku oleh kefanaannya.

Bertahun-tahun, Tuhanku, kubuat harapan-harapan indah
seharusnya, demi hidup-Mu pada kematianku.
tetapi ternyata
hanya untuk buaianku.
kusalahkan orang-orang
sangkaku demi kebenaran-Mu
tetapi ternyata
hanya untuk kebenaranku.
kubuat pembenaran-pembenaran
maksudku untuk meninggikan-Mu
tetapi ternyata
untuk kebanggaanku.

Semua ternyata hanya
untuk memperpanjang nafasku saja.
betapa hinanya kemanusiaanku ini.

Tuhan,
dalam tubuh-tubuh manusia yang kelaparan
dalam tubuh-tubuh perempuan yang diperkosa
dalam tubuh-tubuh anak-anak yang hancur daging dan hatinya
dalam tubuh-tubuh yang
adalah kelaparan, kesakitan dan kedunguanku sendiri
Kau Maha Tahu
aku tidak mampu menghirup udara lagi.
setiap tarikan nafasku bau bangkai
setiap tangisku adalah darah busuk
dan seluruh tubuhku
adalah aib.

Tuhan
tolong jangan lupakan aku.

Demi ingatanku kepada-Mu, yang adalah anugerah-Mu
Katakan langit dan bumi adalah Kasih-Sayang-Mu,
cukuplah bencana berguncang
sampai di sini.
Katakan semua manusia satu,
cukuplah sumpah-serapah berdarah
berkecamuk di dalam ini.

Katakan esok
semua kelemahan terampuni
cukuplah penyesalan
membuat kesadaranku tenggelam
dalam ampunan-Mu.

Penyesalan ini
semoga abadi.
Penyesalan ini
semoga bukan ada
karena kesalahan-kesalahan lagi
Tetapi ada
karena Kau adalah Tuhan
dan kami ingin lebur
dalam Maha Kasih dan Sayang-Mu.

Tuhan Sayang,
aku minta selendang gendongan
untuk menimang dan membesarkan
kehidupan baru
yang mulai tumbuh
di sela-sela reruntuhan ini.

Boleh kan?

Miranda Risang Ayu
8 Agustus 1998

(Doa untuk Perdamaian Gelora Saparua, Bandung.
Didedikasikan untuk setiap orang yang tergilas roda reformasi)

[Sumber: Pojok Kanayakan]

Saturday, February 11, 2006

Menikah, Bukan Sekedar Memadu Cinta

Oleh: Syaheed AS
(Sumber: www.eramuslim.com)

"Rumahku surgaku", ujar Rasulullah singkat saat salah seorang sahabat bertanya mengenai rumah tangga beliau. Sebuah ungkapan yang tiada terhingga nilainya, dan tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Sebuah idealisme yang menjadi impian semua keluarga. Tapi untuk mewujudkannya pada sebuah rumah tangga (keluarga) ternyata tidaklah mudah. Tidak seperti yang dibayangkan ketika awal perkenalan atau sebelum pernikahan. Butuh proses, butuh kesabaran, butuh perjuangan, bahkan pengorbanan juga ilmu!

Saat ini, persoalan dalam keluarga membuat banyak pasangan suami istri dalam masyarakat kita menjadi gamang. Baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Wajar, karena itulah hakikat hidup. Bukan hidup namanya jika tanpa masalah. Justru masalah yang membuat manusia bisa merasakan kesejatian hidup, menjadikan hidup lebih berwarna dan tidak polos seperti kertas putih yang membosankan. Namun jangan sampai masalah-masalah itu mengendalikan diri kita hingga kita kehilangan hakikat hidup.

Lihatlah sepanjang tahun lalu, tahun 2004, begitu banyak pasangan yang mengajukan perceraian ke pengadilan agama dengan berbagai macam alasan. Memang yang lebih banyak terangkat adalah kisah rumah tangga para selebritis yang tak henti menghiasi layar kaca tentang rusaknya hubungan rumah tangga mereka. Tapi sesungguhnya itu hanya puncak sebuah gunung es. Karena masyarakat awam pun tak sedikit yang rumah tangganya bermasalah, bahkan mereka yang mendapat sebutan aktivis dakwah.

***

Begitu banyak buku-buku pernikahan yang beredar di pasaran, bahkan sebagian menjadi best seller. Tak hanya buku-buku non fiksi, bahkan para fiksionis pun lebih senang mengangkat tema–tema merah jambu karena lebih disukai pasar. Isinya kebanyakan bersifat provokatif kepada orang-orang yang belum menikah agar segera menikah. Namun sayangnya hampir semua buku-buku itu isinya terlalu melangit.

Maksudnya lebih banyak menceritakan pernikahan (kehidupan rumah tangga) pada satu sisi yang indah dan menyenangkan. Sementara sisi "gelap" pernikahan jarang sekali yang mengangkat. Tentang kehidupan setelah pernikahan, tentang biaya-biaya berumah tangga, dan hal-hal lain yang tentu tidak sepele dalam rumah tangga.

Isitrahatlah sejenak dari bermimpi tentang pernikahan. Jika mimpi itu hanya berisi bagaimana mengatasi rasa gugup saat akad nikah. Atau tumpukan kado dan amplop warna-warni menghiasi 'bed of roses'. Atau kalau hanya mengharap salam indah dan atau jawaban salam dari kekasih. Apalagi membayangi bisa menatap, berbicara dan menghabiskan waktu bersama belahan hati tercinta.

Pernikahan tidak cuma sampai di situ, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.

Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu: warna keluarga.

Di tengah masyarakat yang kian sakit memaknai pernikahan, semoga kita tetap memiliki sudut pandang terbaik tentangnya. Betapa banyak orang yang menikah secara lahir, tapi tidak secara batin dan pikiran. Tidak sedikit yang terjebak mempersepsikan pernikahan sebatas cerita roman picisan dan aktifitas fisik. Hingga wajar jika banyak remaja yang belum menikah saat mendengar kata menikah adalah kesenangan dan kenikmatan. Hal itu ditunjang oleh buku-buku pernikahan yang isinya ngomporin. Sementara sesungguhnya yang harus dilakoni adalah tanggung jawab dan pengorbanan.

Memang pernikahan berarti memperoleh pendamping hidup, pelengkap sayap kita yang hanya sebelah. Tempat untuk berbagi dan mencurahkan seluruh jiwa. Tapi jangan lupa bahwa siapapun pasangan hidup kita, ia adalah manusia biasa. Seseorang yang alur dan warna hidup sebelumnya berbeda dengan kita. Seberapa jauh sekalipun kita merasa mengenalnya, tetapakan banyak 'kejutan' yang tak pernah kita duga sebelumnya. Upaya adaptasi dan komunikasi bakal jadi ujian yang cuma bisa dihadapi dengan senjata kesabaran.

Pasangan kita, yang kita cintai adalah manusia biasa. Dan ciri khas makhluk bernama manusia adalah memiliki kekurangan dan kelemahan diri. Memahami diri sendiri sebagai manusia sama pentingnya dengan memahami orang lain sebagai manusia. Pemahaman ini penting untuk dijaga, karena cepat atau lambat kita akan menemukan kekurangan atau kebiasaan buruk pasangan kita.

Oleh karena itu, bagi yang belum menikah, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan memilih pasangan hidup saja. Apalagi parameternya tak jauh dari penampilan, fisik, encernya otak, anak orang kaya, pekerjaan mapan, penghasilan besar, berkepribadian (mobil pribadi, rumah pribidi), berwibawa (wi...bawa mobil, wi...bawa handphone, wi...bawa laptop), dan sebagainya.

Tapi, pernahkah kita berpikir untuk membantu seseorang yang ingin mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik hari demi hari bersama diri kita?

Lebih dari itu, pernikahan dalam konteks dakwah merupakan tangga selanjutnya dari perjalanan panjang dakwah membangun peradaban ideal dan tegaknya kalimat Allah. Namun tujuan mulia pernikahan akan menjadi sulit direalisasikan jika tidak memahami bahwa pernikahan dihuni oleh dua jiwa. Setiap jiwa punya warna tersendiri, dan pernikahan adalah penyelarasan warna-warna itu. Karenanya merupakan sebuah tugas untuk bersama-sama mengenali warna dan karakter pasangan kita. Belajar untuk memahami apa saja yang ada dalam dirinya. Menerima dan menikmati kelebihan yang dianugerahkan padanya. Pun membantu membuang karat-karat yang mengotori jiwa dan pikirannya.

Menikah berarti mengerjakan sebuah proyek besar dengan misi yang sangat agung: melahirkan generasi yang bakal meneruskan perjuangan. Pernahkan terpikir betapa tidak mudahnya misi itu? Berawal dari keribetan kehamilan, perjuangan hidup mati saat melahirkan, sampai kurang tidur menjaga si kecil? Ketika bertambah usia, kadang ia lucu menggemaskan tapi tak jarang membuat kesal. Dan seterusnya hingga ia beranjak dewasa, belajar berargumentasi atau mempertentangkan idealisme yang orangtuanya tanamkan. Sungguh, tantangan yang sulit dibayangkan jika belum mengalaminya sendiri...

Menikah berarti berubahnya status sebagai individu menjadi sosial(keluarga). Keluarga merupakan lingkungan awal membangun peradaban. Dan tentu sulit membangun peradaban jika kondisi 'dalam negeri' masih tidak beres. Maka butuh keterampilan untuk memanajemen rumah tangga, menjaga kesehatan rumah dan penghuninya, mengatur keuangan, memenuhi kebutuhan gizi, menata rumah, dan masih banyak lagi keterampilan yang mungkin tak pernah terpikirkan...

Ini bukan cerita tentang sisi "gelap" pernikahan (wong saya sendiri belum nikah!). Tapi seperti briefing singkat yang menyemangati para petualang yang bakal memasuki hutan belantara yang masih perawan. Yang berhasil, bukan mereka yang hanya bermodal semangat. Tapi mereka yang punya bekal ilmu, siap mental dan tawakkal kepadaNYA. Karena pernikahan bukanlah sebuah keriaan sesaat, namun ia adalah nafas panjang dan kekuatan yang terhimpun untuk menapaki sebuah jalan panjang dengan segala tribulasinya.

Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa yang kokoh untuk menghapuskan pemisahan. Kesatuan agung yang menggabungkan kesatuan-kesatuan yang terpisah dalam dua ruh. Ia adalah permulaan lagu kehidupan dan tindakan pertama dalam drama manusia ideal. Di sinilah permulaan vibrasi magis itu yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Ia adalah penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman itu menciptakan jiwa ketiga.

Wallahu'alam bisshowab.

Sunday, February 5, 2006

Larang Jilbab, Pemerintah Tunisia Akan Diadukan ke PBB

(Sumber: eramuslim.com, 20 Jan 2006)

Praktisi hukum dan aktivis hak asasi manusia asal Tunisia Saida Al-Ekremi mengancam akan memperkarakan pemerintahnya sampai ke tingkat internasional karena melarang penggunaan jilbab. Menurutnya, larangan itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar rakyat Tunisia.

"Kami sedang menyiapkan berkas-berkasnya untuk membawa kasus ini ke PBB," kata Al-Ekremi.

"Saya sudah mengajukan gugatan hukum pada 2002 pada pengadilan tata negara untuk memperkarakan kebijakan larangan berjilbab ini," sambungnya.

Pada 1981 Presiden Tunisia Habib Bourhuiba meratifikasi undang-undang nomor 108 yang melarang wanita Muslimah di Tunisia mengenakan jilbab di kantor-kantor pemerintahan. Larangan ini berlanjut sampai era 1990-an di mana pemerintah memberlakukan larangan yang lebih ketat soal jilbab. Bahkan Menteri Urusan Agama negara itu, Abubakar Akhzouri mengatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan warisan budaya Tunisia, negara yang terletak di utara benua Afrika dan menilai jilbab sebagai 'fenomena asing' dalam masyarakat. Pernyataan menteri agama itu mengundang kecaman dari para ulama di Tunisia.

Menurut Al-Ekremi, larangan berjilbab merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar seorang Muslimah. "Hak-hak dasar warga negara, termasuk hak berbusana diakomodasi dalam konstitusi Tunisia dan konvensi internasional," tegas Al-Ekremi.

Hal serupa diungkapkan aktivis HAM lainnya, Al-Din Al-Gorshy. Ia menegaskan, perihal larangan jilbab oleh rejim pemerintah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang bebas melakukan pilihan.

"Hak untuk hidup, mati dan memilih busana dijamin untuk tiap-tiap orang. Konsekuensinya, wanita dan anak-anak gadis punya kebebasan penuh untuk memilih busana apa yang ingin mereka pakai," tambah Al-Gorshy. (ln/iol)

--