Friday, December 26, 2008

Rindu Sang Nenek

(sumber: dari sebuah mailing list, maaf lupa mailing list mana, sudah lama)

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur.

Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya.

Pada suatu hari, takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuantua itu datang. Pada hari itu, sang nenek datang dan langsung masuk masjid. Usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya.

"Jika kalian kasihankepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: 1. Hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; 2. Rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."

Kisah ini dituturkan oleh seorang Kiai Madura, D. Zawawi Imran, yang membuat bulu kuduk kita merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt.

Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh SAW?

Saturday, December 20, 2008

Itali Rancang Undang-Undang Pemakaian Jilbab


Sumber: Eramuslim.com, Rabu, 17/12/2008 01:51 WIB


“Meloloskan undang-undang kebebasan pemakaian jilbab ini akan menjadi sebuah rogres yang besar,” ujar Mohamed Al-Zayyat dari Islamic Relief, Itali, “Undang-undang ini akan memberikan perlindungan legal kepada pemakai jilbab.” Kassab Boshti, wakil ketua Serikat Muslim Itali (Union of Italian Muslims), menimpali, “Undang-undang ini akan menjadi sebuah kemenangan dakwah di Itali jika sudah final.”

Senator Silvana Amati, seorang senator khusus yang menangani konstitusi, telah membeberkan sebuah draft undang-undang pemakaian jilbab di Itali. Dalam draft itu, yang dilarang hanya menutupi seluruh wajah, artinya dengan memakai cadar. Langkah ini menunjukan sebuah sikap toleransi pemerintah Itali kepada warga Muslim. Saat ini muslim di Itali berjumlah lebih dari 1,2 juta jiwa. 20.000 orang di antaranya adalah mereka yang asalnya kembali memeluk Islam. Golongan ini sempat beralih agama, karena lama tinggal di negeri itu

Satu-satunya kendala, dikhawatirkan akan datang dari oposisi sayap kanan Itali. Kelompok ini aktif mengumpulkan suara dari parlemen untuk menolak undang-undang tentang jilbab. Sejak tahun 2004, di negara-negara Eropa bermunculan muslimah yang mengenakan jilbab di sekolah dan wilayah public lainnya. Prancis, setelah berbagai insiden, menjadi negara Eropa pertama yang memelopori kebebasan memakai jilbab. (sa/iw)

Wednesday, December 17, 2008

Sepuluh anugerah Ilahi

Mutiara Berserak (3)

Abu Bakar ra. mengatakan:

Apabila seseorang telah dianugerahi
Sepuluh anugerah dari Ilahi
Sungguh ia telah dilindungi
Dari malapetaka yang menyelimuti
Dan termasuk hamba yang dekat dengan Ilahi
Serat memperoleh penghargaan "orang suci"

Pertama, kejujuran abadi disertai ketulusan hati

Kedua, kesabaran sempurna disertai
rasa syukur sepanjang masa

Ketiga, kondisi fakir disertai sikap zuhud
yang selalu hadir

Keempat, tafakur tentang mahluk
disertai lapar yang mengetuk

Kelima, kegelisahan jiwa disertai ketakwaan
pada Sang Esa

Keenam, kesungguhan hati disertai
sifat rendah hati

Ketujuh, ramah tamah disertai dayang
dan penuh kasih

Kedelapan, cinta sejati disertai upaya mawas diri

Kesembilan, ilmu manfaat disertai
kemauan ntuk berbuat

Kesepuluh, iman yang teguh disertai akal yang kukuh.


Quoted from:
"Menuju Pintu Tuhan, Mutiara Berserak",
Ibnu Hajar Al Asqalani,
A. Nasikhin Syaba (terj),
Risalah Gusti, Surabaya, Agustus 2000, cet i.

Saturday, November 22, 2008

Sesungguhnya Cinta Itu (Tidak) Kontroversial

Oleh: Vita Sarasi
(Sumber: www.eramuslim.com)

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna...

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah." Wallahua’lam bish-showab.

---

Thursday, November 20, 2008

Kado Bagi Wanita, Bertolak dari Pertarungan Ideologi Kartini

Oleh: Prembayun Miji Lestari, S.S
(Sumber: www.eramuslim.com)

Wanita dalam tinta sejarah tidak akan pernah kering disebut dalam pembentukan sebuah peradapan dunia. Dari jaman dahulu kala hingga detik sekarang wanita menjadi buah pembicaraan yang laris manis, dari jaman Hawa sampai jaman Mega, wanita menjadi soroton utama yang melegendaris.

Flash back, kembali membuka memori kita pada sejarah lama. Wanita dulu terkenal dengan kelemah-lembutan dan keibuannya, bersifat pemalu, terkungkung adat tidak memiliki sebuah ‘kebebasan’ karena terpasung oleh sebuah tradisi ‘pingitan’ yang menyebabkan wanita terbelakang dalam pemikiran. Wanita terperosok dalam ‘penjara’ yang dibuat oleh para pendahulunya, kekolotan dan keluguan menjadi ikoniknya. Ya begitulah kurang lebih gambaran wanita jaman lama.

Coba kita komparasikan dengan wanita sekarang. Atas nama emansipasi, banyak wanita yang rela meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu peradapan demi sebuah karier. Memang tak ada yang melarang wanita berkarier, tapi perlu diperhatikan konsep norma yang ada. Wanita sekarang banyak yang menanggalkan atribut ‘malunya’. Sudah bukan barang langka lagi, kian hari emansipasi kian mirip dengan liberalisasi dan feminisasi. Banyak wanita yang terjebak pada pemikiran modern dan liberal, wanita sejajar dengan pria dalam apapun. Pemikiran barat (westernisasi) menjadi parameter keberhasilan wanita sekarang. Fenomena itu dapat kita temukan setiap saat dimanapun dan kapanpun. Di televisi banyak sekali kita temukan wanita sebagai obyek komersil yang menguntungkan para ‘pecundang materi’, bisa kita lihat salah satunya adalah Inul Daratista dengan goyangan erotisnya memberikan sebuah ‘hiburan baru’ bagi masyarakat.

Dampak yang terjadi, banyak anak kecil yang menirukan aksi ngebornya tanpa mempedulikan adanya rasa ewuh dan kesopansantunan. Rasa malu sudah tercerabut dari nurani. Eksploitasi menjadi kepentingan disana, tanpa disadari secara tidak langsung oleh pelakunya. Modernisasi, apologinya. Itu baru sebagian kecil sebuah deskripsi wanita sekarang. Wanita kini telah maju ke belakang. Artinya secara outlook maju, tetapi pemikiran mengalami sebuah penurunan kemajuan. ‘Kemajuan’ yang terjadi dianggap sebagai bentuk emansipasi atau modernisasi.

Ya begitulah kondisi Indonesia. Kembali pada sejarah lama, kita tengok perjalanan Kartini. Kartini dalam kumpulan suratnya: Door Duisternis Tot Licht, yang diartikan Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armin Pane, dapat dijadikan salah satu tumpuan dalam mencermati sebuah pertarungan ideology yang terjadi saat ini. Setiap manusia memiliki derajat yang sama dan berhak mendapat perlakuan sama, Kartini mengenal prinsip tersebut melalui semboyan Revolusi Perancis Liberty, Egalite dan Fraternite (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan), yang pada dasarnya itu adalah prinsip Islam. Waktu itu terjadi adanya diskriminasi perlakuan karena adanya diskriminasi keningratan, semakin tinggi keningratan seseorang maka semakin tinggi pula rasa hormat manusia lain kepadanya. Hal yang terjadi saat sekarangpun tidak jauh beda, status sosial masih menjadi pertimbangan yang sulit dihapuskan dalam memperlakukan orang lain. Kartini dalam sebuah suratnya (18 Agustus 1899) kepada Stella mengatakan bahwa “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlaq). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah orang yang beramal sholeh, orang yang bergelar Graaf atau Baron?”

Pesan moral yang terkandung sangat dalam dari petikan surat tersebut. Ada beberapa hal yang bisa diambil dari petikan surat tersebut.

Pertama, Kartini secara tidak langsung meletakkan dasar agama dalam petikan surat tersebut, artinya agama hendaknya menjadi perhatian utama dalam kehidupan wanita khususnya dan manusia umumnya. Faktor fikroh dan akhlaq yang pada dasarnya bermuara pada agama menjadi penentu utama dalam kehidupan manusia (terkhusus bagi wanita). Dengan pegangan agama yang kuat, wanita akan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai pergolakan hidup, godaan dan fitnah.

Kedua, maju dan tidaknya sebuah peradaban tidak hanya ditentukan oleh banyaknya aplikasi westernisasi/budaya barat, tetapi substansi maju yang sesungguhnya adalah dari sisi ideologi atau pemikiran. Hal tersebut diperkuat dengan surat Kartini yang ditujukan kepada Ny. Abendanon 27 Oktober, 1902, yang berbunyi: “…. Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?. Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradapan?” Artinya bahwa budaya barat bukanlah menjadi parameter keberhasilan dalam membentuk sebuah peradapan baru yang bermutu.
Ketiga, wanita dalam kehidupannya dituntut untuk lebih jeli dan peka dalam menentukan sebuah pilihan, moral dan religi hendaknya menjadi tumpuannya.

Keempat, wanita harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita ‘yang sesungguhnya’. Hendaknya wanita berorientasi dan berpikir jauh ke masa depan, sehingga generasi-generasi yang terlahir dari rahimnya menjadi manusia unggulan yang mampu membentuk sebuah peradapan baru yang berkualitas.

Kelima, untuk memiliki pemikiran yang berperadapan tinggi dibutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang sebagaimana proses yang telah dialami oleh wanita pejuang kita ; Kartini. Kita ingat kembali pesan moral yang disampaikan dalam surat Kartini tentang perjuangan. “Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu?” Perjuangan tidak akan pernah berhenti untuk mewujudkan sebuah mimpi , cita-cita dan kepentingan yang sejati dan hakiki. Penderitaan akan senantiasa mengiringi sebuah perjuangan, kepada wanita: ‘SELAMAT, MARI KITA TETAP BERJUANG!’

Keenam, wanita memiliki bargaining position yang tinggi dalam membentuk sebuah peradaban baru. Untuk membentuk manusia beradab, harus dimulai dari seorang ibu selaku pendidik manusia pertama.

Ketujuh, Kartini yang merupakan salah satu representasi dari wanita memiliki keberanian untuk mendobrak adat yang pada dasarnya bertentangan dengan HAM dan Islam. Sebuah pemikiran maju yang diungkapkan oleh wanita produk jaman dulu. Luar biasa. Bagaimana dengan pemikiran wanita sekarang yang mengaku ‘berperadapan maju’ dalam memaknai sebuah modernisasi?

Sebagai penutup dalam tulisan ini, terkhusus bagi saudariku para kaum wanita, pertarungan ideologi dalam kehidupan kita akan senantiasa bergolak. Perlu kita pikirkan dan perhitungkan ketika pilihan sebuah ideologi itu telah menjadi pilihan bagi kita. Wanita yang cerdas tidak belajar sejarah an-sich, tetapi dari sejarah dia belajar. Kembali ke fitroh menjadi wanita sepenuhnya, sebuah bargaining yang perlu kita perhatikan agar menjadi ‘manusia sepenuhnya’. Pilihan adalah sebuah konsekuensi, gimana para ibu dan calon ibu? Siap meretas sebuah perdapan baru?


*) Penulis adalah Mahasiswi S2 Progdi Linguistik UNS dan aktivis KAMMI Daerah Solo

Tuesday, November 18, 2008

Kegelapan dan penerangnya...

Mutiara Berserak (2)

Abu Bakar ra. berkata :
Ada lima kegelapan dan lima penerangnya,
Kegelapan pertama cinta harta,
penerangnya dengan bertakwa
Kegelapan kedua laku maksiat,
penerangnya dengan bertobat
Kegelapan ketiga di alam kubur,
penerangnya dengan berdzikir
Kegelapan keempat alam akhirat,
penerangnya dengan bertaat
Kegelapan kelima jembatan shirath,
penerangnya dengan i'tiqad.

---
Quoted from :
"Menuju Pintu Tuhan, Mutiara Berserak",
Ibnu Hajar Al Asqalani,A. Nasikhin Syaba (terj),
Risalah Gusti, Surabaya, Agustus 2000, cet i.

Sunday, November 2, 2008

Sumayyah binti Khayyat

Sumayyah binti Khayyat -radhiallaahu 'anha-
(Sumber: www.alsofwah.or.id)


Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughiroh. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah sehingga tidak ada kabilah yang dapat membela, menolak dan mencegah kezaliman atas dirinya, karena dia hidup sebatang kara. Posisinya menjadi sulit dibawah naungan aturan yang berlaku pada masa Jahiliyah.

Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Huzaifah. Dia akhirnya dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini. Beliau hidup bersamanya dalam suasana yang tenteram. Tidak berselang lama dari pernikahan tersebut, merekapun dikaruniai dua orang anak, yaitu ‘Ammar dan Ubaidullah

Tatkala ‘Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada beliau. Maka berfikirlah ‘Ammar bin Yasir sebagaimana yang difikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau di dalam berfikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk Dienul Islam.

‘Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya.

Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.

Dari sinilah dimulai sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk pertama kalinya.

Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena ‘Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir menyikapinya dengan menentang dan memusuhi mereka.

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari dien mereka. Mereka memaksa dengan cara menyeret mereka ke padang pasir tatkala cuaca sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan diatas dadanya sebongkah batu yang berat, akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad….Ahad…., beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang diucapkan juga oleh Yasir, ‘Ammar dan Bilal.

Suatu ketika Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah tersiksa secara kejam, maka beliau menengadahkan tangannya ke langit dan berseru :
“Bersabarlah keluarga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga”


Sumayyah mendengar seruan Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka beliau bertambah tegar dan optimis dengan kewibawaan imannya. Dia mengulang-ulang dengan berani: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar”.

Sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang sepele dalam rangka memperjuangkan aqidahnya. Di hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para Thaghut yang zhalim, yang mana mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya. Sumayyah pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Tatkala para Thaghut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah maka musuh Allah, Abu jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkannya sangkur yang berada dalam genggamannya ke tubuhnya. Maka terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan bersih. Dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh yang baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, yang mana beliau telah mengerahkan segala apa yang beliau miliki, dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal dalam rangka meraih keridhaan Rabb-nya. “Dan mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan”.

(Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN)

Sunday, October 19, 2008

Ummu Sulaim binti Malhan

Ummu Sulaim binti Malhan -radhiallaahu 'anha-
(Sumber: www.alsofwah.or.id)


Beliau bernama Rumaisha’, Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar al-Anshariyyah al-Khazrajiyyah.

Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dirinya dihiasi pula dengan ketabahan, kebijaksanan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadlar untuk segera menikahinya. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah Anas bin Malik, salah seorang shahabat yang agung.

Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid muncul sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam.

Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya didalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau buang tanpa ragu.

Adapun halangan pertama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?”. Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab: ”Tidak, bahkan aku telah beriman”.

Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) sembari mengatakan: “Katakanlah La ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah). Katakanlah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah Anas mengatakan, “Janganlah engkau merusak anakku”. Maka beliau menjawab: “Aku tidak merusaknya akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya”.

Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadlar menentukan sikap terhadap istrinya yang –menurutnya- keras kepala dan tetap ngotot berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain selain memberi khabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali hingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.

Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena teguh terhadap pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Ashadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian bertemu dengan musuh sehingga akhirnya dia dibunuh.

Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah mengatakan: “Aku tidak akan menyampih Anas sehingga dia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku”.

Kemudian Ummu Anas menemui Rasulullah yang dicintai dengan rasa malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya, Anas dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim karenanya.

Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata: “Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian”.

Abu Thalhah merasa sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerimanya.

Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da`iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari dihadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda, dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat dari pada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan: “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya adalah seorang muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamarnmu”. Abu Thalhah bertanya: “lantas apa yang anda inginkan?”, beliau balik bertanya: “Apa yang saya inginkan?”. Abu Thalhah bertanya: “apakah anda menginginkan emas atau pera?”. Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas ataupun perak akan tetapi saya menginginkan agar anda masuk Islam”. “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?”, tanya Abu Thalhah. Beliau berkata: “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!”. Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi yang tatkala itu sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda:

“Telah datang kepada kaliaan Abu Thalhah sedang sudah tampak cahaya Islam dikedua matanya”.

Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka da menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu sulaim berkata:
“Demi Allah! orang yang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hannya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu”.

Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol dihatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cerdas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri, atau ibu bagi anak-anaknya?”.

Tanpa terAsa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang: “Aku berada diatas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah”.

Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya, Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya: “Wahai Anas! Nikahkanlah aku dengan Abu thalhah”. Kemudian beliaupun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar.

Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas :
“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam”.

Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan suami-istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.

Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami isteri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da`iyah.

Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim sehingga pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.

Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmennya terhadap al-Qur`an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata :

“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air jernih didalamnya. Tatkala turun ayat :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q,.s. آli’ Imran: 92).

Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesuka kamu, wahai Rasulullah”.

Rasulullah bersabda :
“Bagus …..bagus.. itulah harta yang menguntungkan…. Itulah harta yang paling menguntungkan…..aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu”.

Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan anak-anak dari pamannya.

Allah memuliakan kedua suami-istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu ‘Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada waktu itu, Rasulullah melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tersebut untuk menghibur dan bermain dengannya: “Wahai Abu Umair! Apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”.

Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan keduanya dengan seorang anak yang cakap dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya apabila kembali dari pasar, pertama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya.

Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu Mu`minah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridla dan baik. Sang ibu membaringkannya ditempat tidur sambil senantiasa mengulangi kalimat: “Inna lillahi wa inna ilahi raji`un”. Beliau berpesan kepada anggota keluarganya: “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalha hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya”.

Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab pertanyaannya seperti biasanya: “Apa yang dilakukan oleh anakku?”. Beliau menjawab: “dia dalam keadaan tenang”.

Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan malam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagai mana layaknya suami istri.

Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan mencampurinya serta merasa tenang dengan keadaan anaknya maka beliau memuji Allah karena tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.

Tatkala diakhir malam beliau berkata kepada suaminya: “Wahai Abu Thalhah! bagaimana pendapatmu seandainya suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?”. Abu Thalhah menjawab: “Tentu saja tidak boleh”. Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”. Abu Thalhah berkata: “Berarti mereka tidak adil”. Ummu Sulaim berkata: ”Sesunggguhnya anakmu titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu”.

Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah: “kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”.

Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja` (Inna lillahi wa inna ilahi raji`un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.

Keesokan harinnya beliau pergi menghadap Rasulullah dan mengabarkan kapada Rasulullah tentang apa yang terjadi, kemudian Rasulullah bersabda:

“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua”.
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah selanjutnya Anas berkata: “Wahai Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim melahirkan tadi malam”. Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata: “Berilah nama baginya, wahai Rasulullah!”. Beliau bersabda: “namanya Abdullah” .

Ubbabah, salah seorang rijal sanad berkata: “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal al-Qur`an”.
Diantara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua dimana umat manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata:

“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda:

“Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”.
Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

“Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” .

Di akhir hadits disebutkan: “Maka turunlah ayat (artinya):
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q,.s. al-Hasyr :9).

Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan khabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an yang senantiasa dibaca.

Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dan Ibnu Sa`ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah berkata: “Wahai Rasulullah! ini Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah apabila ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan robek perutnya dengan badik ini”.

Anas berkata: “Rasulullah berperang bersama Ummu Sulaim dan para Wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka”.

Begitulah Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga. Beliau bersabda :
“Aku masuk ke surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, maka aku bertanya: “Siapa itu?”. Mereka berkata: “Dia adalah Rumaisha` binti Malhan ibu dari Anas bin Malik”.

Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka menasehati, seorang da`iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama diantara ulama Islam, selamat untukmu…..selamat untukmu…

(Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN, Hal. 204)

Wednesday, October 15, 2008

Wanita Dalam Islam

(Sumber: www.kotasantri.com)

Agama ini bukan saja tanggung jawab kaum lelaki. Dan pahala-pahalanya bukan saja diberikan kepada kaum lelaki. Tetapi kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab, merujuk kepada ayat Al-Qur'an. Dan juga sahabiyah-sahabiyah, isteri para sahabat juga berperan dalam agama. Kita bisa melihatnya dari kisah-kisah mereka.

Banyak orang jahil mempunyai konsep atau pengertian yang salah mengenai Islam. Mereka tidak mengerti Islam. Dan mereka berpikir bahwa Islam sangat mendiskreditkan, merendahkan perempuan, tidak memberikan kesempatan kepada perempuan, mengekang wanita dengan tidak membolehkan bercampur, perempuan menjadi tidak bebas, dianggap rendah, dan sebagainya. Padahal agama adalah tanggung jawab wanita dan lelaki. Kita semua bersama-sama. Kita dapat melihat ini melalui sejarah Islam, saat tersebarnya Islam.

Khadijah RA, adalah contoh, teladan untuk kita ikuti, perhatikan, dan mengerti bagaimana peranan wanita. Saat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama dari Allah SWT, dengan segera Rasulullah berjumpa dengan Khadijah. Dan saat itu Rasulullah SAW dalam keadaan ketakutan, ketidaknyamanan, karena ini adalah saat pertama Beliau berjumpa dengan Jibrail AS. Ini pertama kali Beliau melihat Jibrail dalam bentuk sebenarnya. Jadi Beliau sangat takut.

Saat Beliau menggigil, ketakutan, Khadijah lah orang pertama yang menenangkan Beliau, Khadijah lah orang yang meneduhkan Nabi SAW. Menghilangkan ketakutan nabi SAW. Karena Khadijah tahu betul bagaimana akhlaq mulia suaminya yang tak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Tidak mungkin Allah akan menyusahkan Beliau.

Khadijah lah orang pertama yang masuk Islam. Khadijah lah orang pertama di dunia yang membenarkan Nabi SAW. Khadijah lah orang pertama yang menerima pesan dakwah, pesan Islam. Khadijah saat itu juga menolong Rasulullah SAW. Beliau kemudian menjumpai pamannya Waraqah bin Naufal. Lalu menceritakan semuanya seperti yang diceritakan nabi SAW padanya. Kemudian Waraqah berkata, "Itulah Namus seperti yang dilihat oleh Musa AS. Suamimu benar, jangan khawatir. Suamimu adalah seorang nabi." Jadi kita lihat saat pertama, wanita sudah memainkan peranan. Begitu Khadijah mendengar cerita Rasulullah SAW, saat itu juga ia terus menolong Rasulullah SAW, langsung mengadakan dakwah. Dia bukan perempuan yang hanya tinggal di rumah, tidur, rehat. Tapi dia langsung berfikir bagaimana menolong suaminya.

Sekarang kita lihat orang pertama yang mati untuk Islam. Kita tahu, para sahabat mengalami penyiksaan yang begitu berat, kehilangan tangan, kaki, dan semua penderitaan yang maha hebat lainnya. Tapi orang pertama yang Allah tentukan untuk mati di Jalan Allah adalah wanita, yaitu Sumayyah. Ini adalah suatu hal yang mesti diterima kaum lelaki. Allah mentakdirkan orang yang pertama syahid adalah wanita. Dia dibunuh karena kalimah Laa Ilahaa Ilallah, Muhammadurasulullah. Padahal kalau dia terima saja, murtad, maka dia akan dibebaskan dan akan dapat keduniaan. Tapi dia tetap teguh kepada keyakinannya. Jadi kita mesti pahami, bahwa Allah sengaja mengatur semua ini untuk menjadi suatu teladan, satu pesan, yang patut diambil berat di dalam sejarah Islam, yang wanita mempunyai peranan penting, bukan saja menerima agama Islam, tapi mati dalam mempertahankan agama Islam.

Dapat dilihat bahwa orang pertama yang masuk slam adalah perempuan. Orang pertama yang mati syahid juga perempuan. Satu lagi yang Allah mau tunjukkan adalah pertama perempuan, pertama guru hadits adalah isteri Rasulullah SAW. Setelah Khadijah, muncullah 'Aishah RA. 'Aishah RA pernah mengajar para sahabat tentang hadits. Dikabarkan ada 2220 hadits yang diriwatkan oleh 'Aishah RA. Banyak hadits yang kita baca adalah dari 'Aishah RA. Dan Rasulullah SAW ketika hampir wafat mengatakan, aku meninggalkan dua hal untukmu yang jika engkau benar-benar berpegang teguh padanya, dengan kedua tanganmu erat-erat maka engkau akan selamat. Itulah Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Jadi kita boleh melihat bahwa 'Aishah RA menyumbang peranan penting dalam meriwayatkan hadits.

Kita lihat berikutnya, setelah 'Aishah, juga isteri-isteri Baginda SAW yang lain. Dan juga para sahabiyah. Mereka mengajar masyarakat, mengajar anak-anaknya, mengajar tetangganya. Mereka mengajarkan tentang Islam kepada orang-orang. Mereka bukan hanya masak, basuh pakaian, tetapi mereka mengajarkan generasi, mengajarkan agama. Dulu tidak ada sekolah Islam. Merekalah sekolah Islam.

Rasulullah SAW pernah membawa 'Aishah untuk berjihad. Mereka pergi bukan untuk urusan bisnis, mereka bukan pergi untuk kepentingan lainnya, bersenang-senang, makan angin, jalan-jalan, mengunjungi orang- orang, tetapi mereka pergi untuk berjihad. Mereka pergi untuk menyebarkan Islam. Dalam peperanganpun mereka ikut mengambil bagian. Mereka menolong para sahabat membawa senjata, mereka memainkan peranan aktif dalam usaha menyebarkan dan mempertahankan agama Islam. Jadi ini adalah satu hakekat yang tidak boleh diingkari bahwa wanita memainkan peranan aktif, bersama dalam menyebarkan agama, dalam berdakwah sama-sama dengan lelaki.

Sekarang lihat Ummu Salamah. Ummu Salamah dibawa Nabi saat perjanjian Hudaibiyah dibuat. Banyak sahabat yang tidak merasa puas dengan perjanjian yang mereka rasa berat sebelah dan merugikan umat Islam. Tapi Rasulullah SAW tetap melaksanakan perjanjian itu. Maka melihat keadaan para sahabat, Rasulullah merasa bersusah hati. Beliau pergi menemui Ummu Salamah RA, dan memberitahu tentang sikap para sahabat, yang tidak mau mencukur rambut dan kembali ke Medinah. Maka Jawab Ummu Salamah, "Mudah saja Rasulullah. Anda cukur saja rambut anda sekarang, mereka akan mengikuti."

Jadi saat para sahabat melihat Rasulullah SAW telah mencukur rambutnya, merekapun merasa terpukul, mereka merasa telah tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW. Maka saat itu juga semua sahabat mengikuti apa yang diperbuat Rasulullah SAW. Disinilah Allah telah mengaruniakan kelebihan terhadap kaum wanita. Yaitu ketajaman firasatnya. Dan inilah bukti sumbangan kaum wanita dalam dakwah.

Kita lihat bahwa bukan saja isteri-isteri Rasulullah SAW, tetapi juga sahabiyah, isteri-isteri. Adek perempuan, ibu dari para Sahabat memainkan peranan penting. Saat masuk Islam, mereka langsung faham bahwa saat mereka menerima Islam itu artinya mereka tidak hanya pasif di rumah, tetapi juga langsung aktif membuat dakwah untuk anak perempuan, kaum wanita lain, tetangga. Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda, dalam satu peperangan, ketika saya melihat ke kanan, kekiri, saya nampak satu sahabiyah bernama Nusaibah (Ummu Amarah). Dia tengah berperang, memegang pedang, memotong dengan pedang, melawan bersama-sama kaum lelaki.

Saat masa Ummar RA, perempuan menyumbang peranan besar dalam segala aspek, baik politik, ekonomi dan sebagainya. Saat itu kekayaan Islam sedang berlimpah ruah, menyebabkan terjadinya inflasi. Maka Ummar RA memutuskan untuk menentukan batas mahar. Maka dalam satu syuro (perwakilan rakyat) yang terdiri dari wakil-wakil baik lelaki maupun perempuan Ummar memberitahu cadangannya. Maka bangkitlah seorang perempuan dan berkata, "Siapakah dia Ummar yang mau merubah apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya?"

Itulah peranan wanita. Wanita diikutsertakan dalam perwakilan rakyat, tapi menurut cara Islam. Bukan seperti yang terjadi sekarang, dimana bercampur baur antara lelaki dan perempuan. Tapi cara Islam yaitu wanita terpisah tempatnya dari lelaki di sebelah belakang.

Kita bisa melihat dalam segala bidang wanita memegang peranan yang penting. Mereka langsung mengetahui apa yang mesti dimainkan saat menerima Islam. Mereka segera tahu apa kewajibannya dalam Islam. Wallahu'alam.

(Peranan Kaum Wanita Dalam Islam, Brother Mahfudz, Uganda (Bayan Dalam Bahasa English), Penterjemah DR. S. Qadir)[geocities.com/ad_dakwah]

Saturday, October 11, 2008

Wanita bagi Pahlawan

Oleh : M. Anis Matta, Lc.
(Sumber: dian-erika.blogspot.com)

Dibalik setiap pahlawan besar selalu ada seorang wanita agung. Begitu kata pepatah Arab. Wanita agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya sekaligus; sang ibu atau sang istri.

Pepatah itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa karya-karya besar seorang pahlawan lahir ketika seluruh energi didalam dirinya bersinergi dengan momentum diluar dirinya; tumpah ruah bagai banjir besar yang tidak terbendung. Dan tiba-tiba sebuah sosok telah hadir dalam ruang sejarah dengan tenang dan ajek.

Apa yang telah dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi bagi para pahlawan; wanita adalah salah satunya. Wanita bagi banyak pahlawan adalah penyangga spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapat ketenangan dan kegairahan, kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan energi di luar rumah, dan mengumpulkannya lagi didalam rumahnya.

Kekuatan besar yang dimiliki para wanita yang mendampingi para pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Kekuatan itu sering dilukiskan seperti dermaga tempat kita menambatkan kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir berteduh. Tapi kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman, tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan kita, tempat kita bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman, saat kita merasa bukan siapa-siapa, saat kita menjadi bocah besar. Karena di tempat dan saat seperti itulah para pahlawan kita menyedot energi jiwa mereka.

Itu sebabanya Umar bin Khattab mengatakan, "Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu'. Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan.

"Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos." kata Sayyid Quthub. Para pahlawan selalu mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan selamanya ingin begitu ketika terbaring dalam pangkuan istrinya.

Siapakah yang pertama kali ditemui Rasulullah SAW setelah menerima wahyu pertama dan merasakan ketakutan luar biasa? Khadijah! Maka ketika Rasulullah ditawari untuk menikah setelah Khadijah wafat, beliau mengatakan; "Dan siapakah wanita yang sanggup menggantikan peran Khadijah?"

Itulah keajaiban dari kesederhanaan. Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan; kelembutan, kesetiaan, cinta an kasih sayang. Itulah keajaiban wanita.

---

Monday, October 6, 2008

Peran Wanita dalam Dakwah Rasulullah Saw.

(Sumber: sebuah posting di sebuah milis)


“Sesungguhnya wanita itu adalah pendamping pria” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Ketika Rasulullah Saw. diutus ke dunia, beliau bersabda, “Sesungguhnya wanita itu adalah pendamping pria” (HR Ahmad dan Abu Daud). Sejak saat itu paradigma pemikiran dan perlakuan terhadap wanita berubah seratus delapan puluh derajat. Derajat wanita diangkat dan dimuliakan. Wanita dikatakan sebagai pendamping pria karena pada setiap kesuksesan seorang pria, pasti ada peran wanita yang sangat signifikan. Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting di belakang layar.

Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah.

Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah.

Dalam kitab-kitab sirah (sejarah) dikisahkan, setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama di gua Hira, beliau pulang dalam keadaan menggigil. Tubuhnya gemetar ketakutan. Setibanya di rumah, Beliau meminta istrinya, Khadijah Ra., menyelimuti tubuhnya. Lalu, Khadijah menyelimuti dan mendekap tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh kasih sayang, hingga hilang rasa takutnya. Khadijah tidak langsung menanyakan apa yang telah terjadi pada suaminya, hingga Rasulullah Saw. sendiri berkata, “Wahai Khadijah, tahukah engkau mengapa tubuhku tadi gemetar?” Belum sempat Khadijah menjawab, Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Khadijah menjawab, “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan itu, Nabi menjadi tenang.

Jawaban Khadijah bukanlah sekadar untuk membesarkan hati Nabi, tapi merupakan pengungkapan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat.

Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam membangun dakwah Rasulullah Saw.

Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya.

Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah-olah mereka dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya.

Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar. “Atiq…Atiq…Atiq!” Abu Bakar tidak menjawab panggilan ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri.

Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma bertanya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?”

Abu Bakar balik bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah.”

“Kami tidak tahu,” jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja mendengarkan percakapan istri dan anaknya.

“Pergilah ibu temui Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah,” pinta Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar.

“Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam,” jelas Fathimah.

Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga, ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya. Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai “decision maker”.

Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara perempuannya Arwa binti Kariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus.

Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Utsman sebenarnya tertarik dengan berita itu, tapi ia cepat mengalihkan pembicaraan ke seputar keluarga.

Malamnya Utsman tak bisa tidur lantaran kabar tentang Muhammad yang diceritakan bibinya terus terngiang di telinga. Ia heran, mengapa kabar itu terus mengganggu pikirannya. Ternyata Su’da amat baik dan runut dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran Utsman.

Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman?”

“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu pikiranku,” lanjut Utsman.

Abu Bakar membenarkan berita yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam.

Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal. “Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu, Muhammad. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya,” ujar ibunda Hamzah.

Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tanpa ba-bi-bu Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata, “Engkau berani memaki Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya!”

Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata, “Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini.” Setelah itu Umar menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya.

Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw. Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan Fathimah untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang. Wallahu a’lam bishshawab.

Sunday, September 14, 2008

Only For Allah

(Source: www.jannah.org)

On the morning of Thursday, November 6, 1997 my identity became clear not only to me, but to every person I would encounter from that day forward. I decided to wear the hijab and begin to develop myself as a more conscientious Muslim woman. It was on that very day that I revealed to the world that I am a Muslim and that I was no longer afraid to be who I was.

For those of you who are unfamiliar with the term, hijab, it literally means 'barrier' or 'something that covers or conceals completely'. In today's non-Islamic societies, the true meaning of the hijab is often replaced with such notions as scarves, kerchiefs, or 'head-pieces' - as one of my co-workers eloquently put it. Many people are simply uneducated about the why Muslims must dress modestly and because of this profound lack of knowledge and understanding many stereotypes and misconceptions arise.

I am not going to go into the intricate details about the purpose of the hijab or submerse myself in the ongoing debate as to whether or not the hijab is an obligatory practice for Muslim men and women. There are many fabulous books available that go through the ins-and-outs of appropriate Muslim dress. Better yet, I implore all of you to pick up a Qur'an, and read over the verses concerning modesty and dress.

In surah 24: Al Nur (or The Light), verses 30-31 it says:

"Say to the believing men that they should lower their gaze and guard their modesty: that will make for greater purity of them: And Allah is well acquainted with all that they do. And say to the believing women that they should lower their gaze and guard their modesty: they should not display their ornaments except what must ordinarily appear thereof; that they should draw their veils over their bosoms and not display their beauty..."

Today, I am simply here to share with you my personal experiences in hope that you may find some meaning and sense of inspiration in what I have to say.

Raised in a Muslim family, I was brought up with the basic, fundamental principles and values that Islam instills. I was taught to pray, to fast, to be kind-hearted, generous and to share the deen of Allah graciously with those around me. The thought of one day 'covering my head' occasionally popped into my mind, but the thought that almost always followed was - "Not until I'm ready!" I never really understood what hijab meant. I often thought that it was man's clever way of keeping woman under his control.

I soon came to realize that I very wrong. In fact, the hijab was the perfect outlet for women to seek liberation, respect and ultimate freedom from sexual harassment and the liking. For years and years I would wake up extra early to style my hair according to what was 'in' at the time. I would spend over an hour caking make-up onto my face, trying to look beautiful - but never quite sure for who? Each morning I would eventually make my way out into the world - not really prepared to be judged, solely on my physical appearance, by every person I was to encounter along my path.

Now that I look back at who I was then, it makes me grateful to Allah (SWT) to see how far he has brought me. For a time, I was confused and somewhat lost, as are many young women in non-Islamic nations - trying desperately to fit in to a society that dictates that beauty is naked, emaciated teenagers on a billboards selling perfume and underwear. I recently read that some of those models and actors that I once adored, practically have to kill themselves to look the way they do. From face-lifts to lipo-suction. Some even go as far as having their ribs removed so they can have tiny waists!

The harder I tried to fit in, the more frustrated I became. It finally dawned on me that the images being flashed in front of me 24 hours a day could not possibly be true representations women's liberation. I was convinced that there had to be a simpler answer somewhere.

It was at this point that I decided it was time to put some more thought into this whole 'hijab' issue. And I did. For 3.5 years I contemplated the thought of wearing hijab, but the fear inside of me was overwhelming. I was afraid of what my friends would say. I was afraid of what my professors and colleagues might think. I was terrified that I would be harassed at work, or even worse - fired! All of these thoughts raced through my mind, day in and day out. Each time I seriously though about doing it I would say, "But, I'm not ready yet!" A very convenient excuse I must say!

I finally said to myself, "Jennifer, look at the big picture!" Now, when I say big picture, I don't mean next week, or in a few months or even 25 years down the road. I mean the akhira - the hear-after. I asked myself a very straightforward question. Who am I going to fear? These strangers who I know not or Allah? I finally convinced myself that it was time for me to take this step closer to Allah, as difficult as it may have seemed at the time.

As I was having my very last doubt the verse in Surah Al Baqarah (verse 286, I believe), continued to penetrate my heart: "La yukalif Allah nafsin ila was3ha". "On no soul doth Allah place a burden greater than it can bear". These are the very words that gave me the courage to finally make the right choice. It was at that very moment that I said, "Allah, I will wear this hijab because I believe in my heart that you have asked me to do so. Please guide me and give me the strength to do this."

Just over a year has gone by now and I can honesty tell you that I have never felt more free or more at peace with myself and the world around me. In all fairness I will be honest and tell you that it wasn't an easy thing to do. Quite frankly, it was probably the most difficult challenge I've had to face in my life. Isn't it ironic how that works? The things that will benefit us most and that make the most sense are often those we fail to realize or have difficulty accepting.

I've had to deal with a variety of off-the-wall comments. But what it all boils down to is me making a personal decision to increase my faith and become what I believe to be a better Muslim. To me the hijab not only represents modesty, purity, righteousness and protection but truly is the ultimate state of respect and liberation. Alhamdou lilah, I am free!

I am a Muslim woman
Feel free to ask me why
When I walk
I walk with dignity
When I speak
I do not lie

I am a Muslim woman
Not all of me you'll see
But what you should appreciate
Is that the choice I make is free

I'm not plagued with depression
I'm neither cheated nor abused
I don't envy other women
And I'm certainly not confused

Note, I speak perfect English
Et un petit peu de Francais aussie
I'm majoring in Linguistics
So you need not speak slowly

I run my own small business
Every cent I earn is mine
I drive my Chevy to school & work
And no, that's not a crime!

You often stare as I walk by
You don't understand my veil
But peace and power I have found
As I am equal to any male!

I am a Muslim woman
So please don't pity me
For God has guided me to truth
And now I'm finally free!


Reprinted with Permission

(c) Jenn Zaghloul 1998 [only4allah@hotmail.com]

Sunday, September 7, 2008

Nyaman Dengan Berjilbab

(Sumber: KotaSantri.com)

Nama saya Nakata Khaula. Saya seorang pelajar dari Jepang yang menimba ilmu di Perancis. Sebelum saya berkunjung ke sebuah masjid di Paris, sebetulnya saya tidak tertarik sama sekali dengan Islam, termasuk tentang shalat dan penggunaan jilbab. Namun setelah mendengarkan khutbah di sebuah Masjid di Paris, tentang makna pemakaian jilbab pada wanita, saya mulai tertarik dengan Islam dan jilbab.

Ketika saya kembali ke pangkuan Islam, agama asli semua manusia, perdebatan sengit tengah terjadi di sekolah-sekolah Perancis tentang jilbab di kalangan pelajar perempuan terutama keturunan imigran Timur Tengah hingga beberapa waktu lamanya. Saya melihat bahwa sebagian orang menganggap jilbab adalah bagian dari budaya yang dapat dilepas jika kita berada di dunia Barat dan dipakai ketika kita berada di negara Muslim. Ini salah besar! Seorang muslim bukanlah bunglon yang harus menyesuaikan dirinya dimana ia berada; menanggalkan jilbabnya dan mengganti prinsipnya dalam berpakaian. Jilbab adalah pakaian, sama halnya dengan orang Barat menggunakan jaket dimana terserah mereka akan menanggalkannya atau tidak.

Tahap pertama, saya hanya mengenakan jilbab kecil yang saya gunakan setiap saya memasuki masjid. Kemudian saya merasakan kenyamanan dan menggunakannya tiap hari, kapan saja dan dimana saja. Di Paris, saya menggunakan jilbab modis yang ala kadarnya, sekedar penutup kepala.

Dua pekan sesudah saya masuk Islam, saya pulang ke Jepang untuk menghadiri pernikahan keluarga. Setelah itu saya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan sastra Perancis, dan sebagai gantinya saya memilih kajian Arab dan Islam. Ternyata, Jepang masih awam perihal Islam dan Muslim. Kembalinya saya ke Jepang membuat saya nampak dikucilkan. Herannya, ini justru membuat keislaman saya semakin meningkat dan saya semakin bersemangat untuk mendalami Islam.

Langkah pertama yang saya lakukan begitu tiba di Jepang adalah membuang pakaian lama saya yang ketat dan buka-bukaan. Kemudian, bersama teman saya, kami membuat rancangan pakaian sederhana yang mirip dengan pakaian Pakistan. Mulailah saya mengenakan pakaian Muslim Pakistan, kemana saya pergi. Saya juga tidak merasa terganggu dengan pandangan orang yang tertuju kepada saya.

Sesudah enam bulan di Jepang, hasrat untuk mempelajari Islam dan Arab semakin meningkat dan akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Kairo. Disana, pakaian saya yang tergolong sangat sopan di Jepang menjadi biasa-biasa saja atau malah sedikit ketat di Mesir. Seorang saudari Muslim di tempat dimana saya tinggal, mengajarkanku untuk berpakaian yang lebih pantas. Tadinya saya menganggap wanita itu berlebihan karena memakai penutup wajah (cadar). Akan tetapi setelah saya bercermin, saya sadar bahwa saya yang kelihatan aneh, karena memakai jilbab dengan pakaian yang tidak pantas untuk dipakai diluar rumah.

Saya pun membeli beberapa bahan baju dan membuat pakaian wanita dalam ukuran yang lebih panjang, yang menutup sempurna bagian pinggul ke bawah dan tangan. Saya bahkan siap untuk menutup wajah saya, meski saya tahu bahwa menutup wajah bukan kewajiban dalam ajaran Islam, melainkan sebagai tradisi etnis semata. Dulu sebelum mengenal Islam, saya begitu akrab dengan pakaian model celana yang memungkinkan saya bergerak aktif. Namun, tak disangka, long-dress yang saya pakai di Kairo ini begitu nyaman dipakai dan saya masih tetap bisa aktif, bahkan lebih anggun dan santai.

Dalam budaya Barat, warna hitam adalah warna favorit untuk acara makan malam, karena menguatkan kecantikan pemakainya. Saya melihatnya juga demikian ketika sekumpulan saudari-saudari baruku di Kairo, berpakaian hitam. Saya pun juga demikian. Namun, ketika saya kembali ke Jepang, saya sedikit demi sedikit menyamarkan pakaian hitam dan tidak terlalu sering memakainya. Saya menganggap bahwa setiap budaya memiliki cirinya sendiri. Di Jepang, memakai pakaian hitam akan sedikit mengejutkan. Kemudian, saya membuat beberapa pakaian putih dan beberapa warna yang cerah. Ternyata, orang Jepang lebih mudah menerima warna-warna ini dan mengira saya seorang suster Buddha.

Seringkali saya ditanya mengenai alasan saya mengenakan baju yang tidak biasa dipakai banyak orang. Saya lalu menjelaskan bahwa saya memakai pakaian seperti ini untuk kenyamanan diri saya. Tubuh yang tersembunyi dalam balutan baju yang longgar dan tertutup akan membuat saya jauh dari godaan pria yang tidak tahan godaan. Dan sering pula, orang yang menanyakan hal itu menjadi tertarik dengan Islam dan ingin bercakap-cakap lagi tentang Islam. Dengan sekejap jilbab ternyata mampu membuat orang secuek orang Jepang terpancing keingintahuannya tentang Islam.

Awalnya, ayah saya sempat cemas dengan keislaman diri saya. Pakaian longgar dan kepala tertutup rapat itu sempat membuatnya khawatir. Namun setelah saya jelaskan bahwa saya melakukan hal ini dengan senang hati, ia mulai mengerti dan menghargai pilihan saya. Saya sendiri justru merasa tidak nyaman ketika melihat adik perempuan saya hanya memakai celana pendek.

Di Jepang, perempuan hanya memakai make up saat keluar rumah dan sedikit sekali memperhatikan penampilan mereka ketika di rumah sendiri. Padahal, Islam mengajarkan agar perempuan selalu cantik di depan suaminya dan tidak berdandan terlalu mewah ketika keluar dari rumah. Ini sebuah tatanan yang indah dan anggun, sehingga melanggengkan hubungan suami istri di dalam kehidupan rumah tangga. (diedit dari fosmil.org) (wida)

Wednesday, September 3, 2008

Bacaan Saat Shalat Tarawih

(Sumber: eramuslim.com)

Assalamualaikum ustad, ..

Saya ingin bertanya gimana tata cara shalat tarawih jika ingin shalat sendiri di rumah, ..

Untuk bacaan dan niatnya sih saya sudah mengerti, hanya jika selesai shalat biasanya imam suka membaca ayat-ayat yang saya masih kurang mengerti. Apa lagi doa di antara shalat tarawih n witir saya sangat tidak mengerti.

Tolong beri saya petunjuk cara shalat tarawih yang baik, mulai dari awal shalat hingga shalat tarawih benar-benar selesai.

Agung Catur Prasetio
agungcprasetio@yahoo.co.id
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Di masa Rasulullah SAW, pernah dilakukan shalat tarawih, walau pun hanya dua kali. Karena Rasulullah SAW takut shalat itu diwajibkan. Sehingga sebagian orang kemudian berpendapat bahwa shalat tarawih itu boleh dikerjakan sendirian di rumah.

Walau pun afdhalnya tetap di masjid, berjamaah dan bersama-sama dengan kaum muslimin. Karena di zaman para shahabat, apa yang pernah ditinggalkan kemudian dihidupkan lagi. Bukan hanya Umar bin Al-Khattab yang tarawih berjamaah, tetapi seluruh shahabat di Madinah saat itu, semua ikut tarawih berjamaah, di masjid, bukan sendiri-sendiri di rumah.

Lafadz dan Bacaan

Bacaa niat serta lafadz-lafadz bacaan lainnya sebenarnya tidak ada yang baku ditetapkan dalam syariah Islam. Jangankan lafadz-lafadz, lha wong berapa jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAWpun, para ulama masih berdebat tentangnya.

Hal itu karena dahulu Rasulullah SAW disinyalir pernah melakukan shalat sunnah setelah shalat Isya' di malam bulan Ramadhan. Namun beliau hanya melakukan dua kali saja, dengan berjamaah bersama para shahabat.

Shalat sunnah berjamaah setelah shalat Isya' di masjid inilah yang kemudian dijadikan landasan shalat tarawih. Bahkan saat itu juga belum dinamakan shalat tarawih. Pokoknya para shahabat pernah melakukan shalat sunnah di malam bulan Ramadhan, dilakukan secara berjamaah, bukan tengah malam tapi setelah shalat Isya', dan dilakukan di masjid bersama Rasulullah SAW.

Tapi berapa jumlah rakaatnya, dan apa bacaan-bacaannya, gelap dan tidak jelas. Gelap dan tidak jelas inilah yang kemudian menjadi bahan silang pendapat tentang jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAW. Bahkan sampai hari ini.

Maka kalau kita saksikan sebagian umat Islam melakukan shalat tarawih 11 rakaat dan 23 rakaat, sama sekali bukan karena mereka tidak mau mengikuti sunnah nabi, tetapi karena pada sumbernya sendiri, yaitu praktek Rasulullah SAW, terdapat ketidak-jelasan.

Jumlah rakaatnya saja tidak jelas, apalagi bacaan-bacaannya. Sehingga kita juga saksikan di tempat lain, misalnya di masjid al-Haram Makkah dan Madinah, meski mereka shalat tarawih 23 rakaat, tapi mereka tidak membaca lafadz-lafadz atau doa tertentu, seperti yang banyak dilakukan orang di sekeliling kita di negeri ini.

Tidak ada lafadz seperti ini seorang pemberi aba-aba:

Amirul mukminina sayyiduna Abi Bakrin As-Shiddiqi taradhdhau 'anhu, lalu lafadz itu disambut jamaah dengan lafadz: radhiyallahu 'anhu, wanafana fiddini waddunya wal akhirah...

Entah sejak kapan kebiasaan membaca lafadz itu di sela-sela shalat tarawih itu dilakukan, yang pasti kita tidak menemukan ketentuan ini di zaman Rasulullah SAW, bahkan tidak juga di zaman khilafah rasyidah.

Maka kalau anda tidak bisa membaca lafadz itu, sebenarnya tidak apa-apa. Toh dalam shalat tarawih, yang penting shalatnya, bukan lafadz-lafadz bacaannya.

Demikian juga dengan lafadz niat dan doa khusus yang dibaca saat shalat tarawih, semuanya tidak bersumber dari rujukan yang baku, artinya bukan bersumber dari Rasulullah SAW.

Maka boleh dibaca dan boleh ditinggalkan, sama sekali tidak mengurangi kekhusyuan qiyam Ramadhan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Saturday, August 30, 2008

Doa di Bulan Ramadhan

(Sumber: eramuslim.com)

Dalam rangkaian ayat Al-Qur’an mengenai puasa di bulan Ramadhan terselip suatu ayat yang secara khusus membicarakan soal berdoa. Di dalamnya Allah subhaanahu wa ta’aala perintahkan orang beriman untuk berdoa kepadaNya. Dan Allah subhaanahu wa ta’aala berjanji untuk mengabulkan doa siapapun asalkan memenuhi tiga syarat: (1) Memohon hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, bukan selainNya. (2) Memenuhi segala perintahNya dan (3) Beriman kepada Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai Rabb yang Maha Kuasa mengabulkan permintaan dan menetapkan taqdir segalanya.


أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah ayat 186)

Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana orang beriman mempunyai kesempatan begitu luas untuk berdoa kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan waktu-waktu mustajab (saat doa berpeluang besar dikabulkan Allah) tersebar dalam beberapa momen khusus sepanjang Ramadhan.

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: (1) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, (2) imam yang adil dan (3) doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi 3522)

Subhanallah…! Dalam hal berdoa orang berpuasa disetarakan dengan pemimpin yang adil dan orang terzalimi. Doa orang berpuasa mustajab. Didengar, tidak ditolak Allah subhaanahu wa ta’aala. Bahkan dikabulkan insyaAllah. Setiap orang yang faham hadits ini sangat bergembira menyambut Ramadhan. Sebab itu berarti selama 29 atau 30 hari selama ia berpuasa peluang doanya dikabulkan Allah subhaanahu wa ta’aala sangatlah luas…!

Dan terlebih lagi saat menjelang berbuka ketika menanti tibanya azan Magrib. Kita harus memanfaatkan waktu sebaiknya untuk berdoa saat itu. Maka, saudaraku, manfaatkan kesempatan emas menjelang berbuka dengan mengajukan berbagai permintaan kepada Allah ta'aala. Sebab sebagian masyarakat kita malah menghabiskan waktu dengan ngobrol tidak karuan menjelang magrib di bulan Ramadhan. Padahal coba perhatikan hadits berikut:


سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak pada saat berbuka.” (HR Ibnu Majah 1743)

Lalu apakahlafal khususNabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelang ifthor berbuka puasa? Beliau membaca sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ

وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Jika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam berbuka, ia berdoa: Dhahabazh-zhoma-u wab tallatil-'uruq wa tsabbatal-ajru insyaa Allah “Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.” (HR Abu Dawud 2010)

Mengapa di dalam doa berbuka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan: ”...dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.”?

Karena sesungguhnya yang sangat diharapkan bukan semata kegembiraan pertama sewaktu berbuka di dunia, melainkan yang lebih diharapkan orang beriman ialah kegembiraan kedua yaitu saat bertemu Allah ta’aala di hari berbangkit kelak. Orang beriman ketika itu bergembira berjumpa Allah ta’aala karena puasanya sewaktu di dunia diterima olehNya. Demikianlah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda dalam hadits sebagai berikut:


لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat kelak perjumpaannya dengan Allah ta’aala karena ibadah puasanya.” (HR Bukhary 1771)

Hidup manusia di dunia adalah pergantian antara susah dan senang. Maka selama bulan Ramadhan khususnya, marilah kita membaca yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam biasa baca ketika menghadapi keadaan susah maupun menerima karunia. Untuk mengantisipasi kesusahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam melazimkan kalimat istighfar sebagaimana hadits berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang tetap melakukan istighfar, maka Allah subhaanahu wa ta’aala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan melapangkannya dari setiap kesempitan serta akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak diduganya.” (HR Abu Dawud 1297)

Sedangkan ketika menerima karunia, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menganjurkan kita membaca sebagaimana hadits berikut:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً
فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ

“Setiap orang yang diberi karunia Allah ta'aala lalu ia membaca ‘Alhamdulillah’, maka Allah ta’aala akan berikan yang lebih utama daripada apa yang telah ia terima.” (HR Ibnu Majah 3795)

Ya Allah, basahi lidah kami dengan mengingatMu selalu. Cerdaskan kami dalam mengajukan doa-doa kepada Engkau sesuai situasi dan kondisi kami masing-masing mengikuti teladan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Ya Allah, berkahilah kami di bulan Sya’ban dan Ramadhan. Amin ya rabb...

Friday, August 29, 2008

Peranan Kaum Wanita

Oleh: Vivi Apriyani Mulyana
(Sumber: Republika Online)


Dikisahkan, seorang wanita datang menghadap Baginda Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, saya mewakili kaum wanita ingin bertanya kepadamu. Mengapa berperang itu hanya Allah wajibkan atas kaum laki-laki? Jika mereka terkena luka, mereka mendapat pahala, dan kalau terbunuh, maka mereka adalah tetap hidup di sisi Allah, lagi dicukupkan rezekinya.''

Setelah berhenti sejenak, wanita itu lalu melanjutkan, ''Sedangkan kami, kaum wanita, selalu hanya melakukan kewajiban terhadap mereka (suami). Apakah kami boleh ikut (perang) agar memperoleh pahala berperang?'' Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah SAW pun bersabda, ''Sampaikanlah kepada perempuan-perempuan yang kamu jumpai bahwa taat kepada suami dengan penuh kesadaran dan keihklasan, maka pahalanya seimbang dengan pahala perang membela agama Allah. Tetapi, amat sedikit dari kamu yang menjalankannya.''

Kisah di atas menggambarkan bahwa adanya perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan merupakan sunatullah. Perbedaan tersebut, dalam pandangan Islam, bukanlah untuk melecehkan atau merendahkan antara keduanya, melainkan untuk saling membantu, mengisi, dan memuliakan. Islam mengajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah setara, dan yang membedakan antara keduanya hanyalah ketakwaan-Nya. Bahkan, Allah akan memberikan pahala yang sama jika mereka beriman dan mengerjakan amal saleh.

Allah SWT berjanji dalam firman-Nya, ''Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS 16: 97). Inilah hakikat sebenarnya emansipasi dalam pandangan Islam. Emansipasi yang tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga mengandung nilai ukhrawi. Emansipasi yang tidak memandang perbedaan peranan sebagai penghalang dan harus disamakan. Melainkan, emansipasi yang memandang adanya perbedaan peranan sebagai sebuah kekuatan untuk saling melengkapi dan membangun kesinergian menuju kemuliaan bersama.

Dalam kaitan ini, Danielle Crittenden, penulis buku Wanita Salah Langkah? Menggugat Mitos-mitos Kebebasan Wanita Modern, menilai, emansipasi yang diusung kaum feminis modern telah salah langkah. Ia berpendapat emansipasi yang diinginkan kaum wanita modern telah mencampakkan para wanita dari panggung kehidupan sebenarnya, yaitu kebersamaan, saling menghormati posisi dan fungsi masing-masing, saling berbagi, saling perhatian dan mencintai antara suami, istri, dan anak. Karenanya, sebaiknya kita, khususnya para wanita, menyadari bahwa jihad terbesar adalah dalam keluarga. Yakni, bagaimana kita dapat menjadi ibu yang baik dan bermanfaat bagi anak-anak serta menjadi istri yang salehah bagi suami. Selain itu, kita pun harus menjadi pelopor kebaikan dalam keluarga dan masyarakat. Sebaliknya, kita pun berharap para suami pun berbuat serupa. Wallahu a'lam bis-shawab.

---

Tuesday, August 5, 2008

Perempuan Terbaik

(Sumber: www.eramuslim.com)

Wahai bunda
hanya Tuhan saja yang dapat membalas jasamu erana Tuhan saja yang tahu penderitaanmu
(Nasyid dari Nowseeheart)


Saat itu saya masih empat belas tahun. Untuk pertama kalinya, saya harus berpisah 'jauh' dengannya, perempuan terbaik yang pernah kenal. Tatkala tangan-tangan itu melambai, rasa bersalah berdentam-dentam di rongga dada. Ugghhh... kenapa saya tega meninggalkannya sejauh itu. Belum terbayang, kapan lagi saya akan kembali bertemu dengannya.

Sebelum perpisahan jarak 'jauh' itu, jarang sekali bunda enggan memberi izin, bila saya minta izin bepergian. Suatu ketika, saya pamit untuk pergi camping, mengikuti kemah pramuka Sabtu-Minggu di dekat gua stalagnit di kampung kami. Untuk pamitan dua hari itu pun, izinnya didapat dengan alot sekali.

"Hati-hati ya nak... jangan merusak alam, jangan berbuat macam-macam hati-hati... jangan..."

Berkali-kali nasehat itu diperdengarkan, risau sekali beliau akan keselamatan puteranya. Padahal, namanya juga acara anak SD, camping perkemahan Sabtu-Minggu itu di back-up puluhan guru pembina. Jumlah guru yang menyertai camping hampir sama banyak dengan jumlah murid, sebagai bukti keseriusan pihak sekolah untuk menjamin keselamatan kami. Tapi, namanya bunda, ia tetap saja penuh kekhawatiran pada keselamatan anaknya. Raut wajahnya tampak sangat mencemaskan puteranya yang berkeras untuk tetap pergi.

***

Tak lama berselang setelah perpisahan 'Sabtu-Minggu' itu, perpisahan 'jauh' benar-benar terjadi. Kali itu bukan camping di pinggir kecamatan. Tapi saya harus terbang menyeberangi lautan. Untuk melanjutkan studi ke sekolah dambaan. Tak terbayangkan bagaimana perasaan bunda melepas bocah kecilnya sejauh itu.

Satu tahun berselang, di sebuah libur panjang sekolah, saya kembali bertemu bunda. Sejuk wajahnya dan binar ketulusannya masih sama. Pehatian dan kasih sayangnya pun belum berubah. Cuma mungkin penampilannya sedikit berubah. Kilau perak mulai terselip di rambutnya.

Sejak saat itu, dengan dalih cita-cita, berulang kali saya meninggalkanya. Berulang kali beliau harus membekap kerinduan, memasung rasa kasih pada buah hatinya. Pada saat saya tergelak tertawa dengan konco sekodan, mungkin bunda sedang tenggelam dalam isak tangis kerinduannya. Saya sendiri, bukan tidak rindu padanya, warung bubur kacang ijo gang Masjid mungkin pelampiasan paling manjur, kalau rasa kangen padanya sedang meradang. Maklum setiap libur sekolah bunda selalu setia menanti dengan bubur ijo kesukaan puteranya. Jauh hari sebelum puteranya datang, berkilo-kilo kacang ijo sudah dipesannya untuk putera tersayang, yang belum jelas tanggal kedatangannya.

Saat melihat ibu-ibu lanjut yang berjalan sendiri di keramaian pasar, ingin rasanya menyapa mereka, mengajak bersenda-gurau, sambil berharap bunda juga diperlakukan ramah pula oleh lingkungannya. Kala menjumpai nenek yang beringsut membawa belanjaannya, terketuk keinginan untuk menawarkan bantuan, karena terbayang bunda yang tertatih-tatih dengan bebannya. Jika sudah mengkhayal begini, pertanda kerinduan padanya telah mengkristal. Cuma doa yang mampu dirangkum saat itu, semoga Allah Yang Menguasai langit dan bumi, menjaga dan menyayangi bunda.

Bila melihat pertikaian di tengah kampung kami, berbicang dengan bunda adalah solusi terbaik.

"Jangan pikirkan apa pelakuan orang yang mendzalimi kita, pikir saja kekhilafan kita, coba memperbaiki diri, jangan menghiraukan kata-kata sampah yang datang dari kaum jahil, persekongkolan para pendengki para itu sudah jelas sejak perang Khandaq. Belajarlah untuk menjadi hamba yang tulus, yang tak terganggu dengan perlakuan manusia, tapi niat karena-Nya harus benar, jangan pernah berharap pada makhluk."

Plong. Kepala yang tadinya cekot-cekot sepulang melihat perseteruan di balai desa langsung terobati.

Berbicara tentang ketulusan, ketulusan seorang ibu mungkin nomor satu. Saat bayi lemah tanpa gelar kesarjanaan itu lahir, dengan penuh khidmat, kasih sayangnya mengalir lancar tanpa pamrih. Menabur benih kebaikan kepada makhluk yang 'bukan siapa-siapa' memang aneh di era kapitalisme ini. Tapi itulah bunda, yang tak melihat apa yang akan didapatnya dengan membesarkan kami. Memperoleh senyum manis kerabat saat kenduri tetangga mungkin sudah lumrah, tapi mendapatkan perhatian penuh kasih bunda saat demam meradang menjelang subuh, itu baru luar biasa.

***

Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu"
Kemudian tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau mejawab, "Bapakmu."
(Muttafaq 'alaih).

***

Mu. Abdur Razzaq

Untuk bunda, perempuan terbaik yang saya kenal.

Sunday, August 3, 2008

Melihat Calon Isteri Tanpa Jilbab

(Sumber: eramuslim.com)

Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Pak Ustadz Apakah boleh Calon Suami melihat Calon Isterinya tanpa menggunakan Jilbab? Adakah dalil yang mendukung?Mohon segera dijelaskan. Syukron. Wassalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

NN
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Islam tidak mencela apalagi melarang seorang laki-laki yang menginginkan kriteria tertentu atas calon isterinya, bahkan kepada hal-hal yang bersifat fisik sekalipun. Katakanlah misalnya, seorang laki-laki ingincalon isterinya punya jenis rambut tertentu, atau warna kulit tertentu, atau tinggi tertentu, bahkan jenis suara tertentu.

Semua keinginan itu adalah hal yang wajar dan tidak bisa divonis sebagai sikap mendahulukan hal-hal fisik ketimbang non fisik.

Sebab di antara salah satu pertimbangan yang diterima syariat Islam tentang memilih calon isteri adalah masalah fisik, yaitu masalah kecantikan. Selain masalah keturunan, kekayaan dan agama tentunya.

Yang dilarang adalah mengalahkan pertimbangan sisi agama oleh sisi pertimbanan sisi kecantikan saja. Itulah makna fazhfar dizatid-diin yang sebenarnya. Bukan berarti seorang diharamkan bila secara fitrah menginginkan punya isteri yang cantik menurut kriteria subjektif darinya.

Karena itulahsyariat Islam memberikan kebolehan bagi seorang laki-laki untuk melihat secara fisik wanita yang akan menjadi calon isterinya. Maka demikianlah disebutkan dalam semua kitab fiqih, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan seorang laki-laki melihat seorang wanita adalah saat berniat untuk menikahinya. Sebagaimana yang pernah Rasulullah SAW anjurkan kepada seorang shahabatnya yang berniat hendak menikahi seorang wanita.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اَلنَّبِيَّ قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً: أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا? " قَالَ: لَا. قَالَ, " اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang menikahi seorang wanita, "Sudahkah kamu melihatnya?" Dia menjawab, "Belum!." Nabi SAW bersabda, "Pergilah dan lihatlah." (HR Muslim)

وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا, فَلْيَفْعَلْ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Jabir ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila seorang di antara kalian melamar wanita, bila mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim menshahihkannya)

Namun kebolehan untuk melihat calon isteri tidak menggugurkan kewajiban menutup aurat bagi pada wanita. Hukum kewajiban menutup aurat bagi seorang wanita dan keharaman terlihat auratnya itu oleh laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya, tetap eksis dan tidak bisa digugurkan begitu saja. Apalagi hanya karena kepentingan calon suami yang ingin melihat keadaan fisik calon isterinya.

Hukum menutup aurat bisa gugur hanya dengan hal-hal yang bersifat darurat secara syariah, misalnya untuk kepentingan pengobatan yang secara akal manusiawi tidak atau belum ditemukan cara lain. Dalam kasusseorang ibu yang terpaksa harus melahirkan dengan operasi sesar karena ada kelainan dalam proses persalinan, sedangkan dokter yang ada hanya laki-laki, maka saat itu demi menolong nyawa keduanya, sebagian aurat yang terkait dengan operasi itu boleh sementara terlihat.

Sebaliknya, kalau hanya untuk calon suami yang 'penasaran' ingin melihat secara langsung keadaan fisik calon isteri, hukumnya haram. Dan rasa 'penasaran'nya itu tidak termasuk ke dalam kategori darurat yang menggugurkan keharaman.

Sehingga titik temunya ada pada kebolehan melihat wajah dan kedua tapak tangannya. Di luar keduanya, tetap haram untuk dilihat secara langsung.

Lalu bagaimana dengan kepentingan calon suami? Apakah dia harus 'membeli kucing dalam karung'? Bagaimana kalau setelah akad nikah, suami kecewa dengan keadaan fisik isterinya? Bukankah hal itu tidak adil?

Untuk itu marilah kita dudukkan masalahnya dengan jelas. Sebenarnya yang dilarang hanyalah melihat secara langsung. Sedangkan bila keadaan fisik seorang calon isteri diceritakan oleh orang yang berhak dan tsiqah, hukumnya tidak dilarang.

Yang secara penglihatan langsung dibolehkan memang hanya wajah dan kedua tapak tangan, tetapi sebenarnya 'fasilitas' ini sudah sangat sarat memberi informasi.

Misalnya informasi tentang jenis kulit, kehalusannya serta warnanya, sudah pasti sangat jelas dan terpenuhi. Karena wajah dan kedua tapak tangan itu ada kulitnya dan boleh dilihat. Demikian juga dengan ukuran tinggi tubuh, boleh dilihat secara langsung. Juga suaranya yang memang bukan aurat, boleh didengar secara langsung. Raut wajah yang halal dilihat sudah sangat menggambarkan kecantikan seorang wanita, karena pusat kecantikan fisik wanitamemang ada di wajah.

Bahkan buat sebagian orang yang ahli, cukup dengan melihat telapak tangan bagian dalam, bisa didapat banyak informasi yang lumayan lengkap, misalnya tentang kerajinannya dalam bekerja, kemampuannya dalam memberi keturunan dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan bentuk fisik rambut? Bukankah buat sebagian laki-laki, jenis rambut, bentuk serta modelnya, cukup menjadi bahan pertimbangan?

Rambut adalah aurat wanita, haram dilihat oleh laki-laki asing (ajnabi), termasuk calon suami. Maka untuk kepentingan itu, informasinya boleh disampaikan dengan jalan diceritakan. Baik secara langsung oleh yang bersangkutan, atau oleh orang lain yang tsiqah. Misalnya oleh keluarganya, atau sesama wanita. Buat mereka yang ahli, cukup diceritakan ciri fisiknya, sudah lumayan lengkap dan bisa tergambar.

Pernahkah anda melihat ahli lukis wajah yang bekerja untuk kepolisian? Dia mampu melukis ulang wajah seorang penjahat tanpa pernah melihat langsung wajahnya, cukup dengan mendengarkan keterangan dari orang lain yang pernah melihatnya. Hasilnya, hmm not to bad!. Buktinya banyak penjahat tertangkap setelah polisi mengedarkan lukisan wajahnya.

Tapi semua informasi tadi tidak akan didapat bila sesorang hanya melihat pas poto yang berukuran 2x3 cm, seperti yang sering terjadi dalam urusan ta'aruf para aktifis dakwah. Padahal Rasulullah SAW telah membolehkan untuk melihat secara langsung, bahkan sampai menganjurkan. Maka berta'aruf hanya lewat pas photo justru tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Paling tidak, sekian banyak informasi yang merupakan hak seorang calon suami, tidak akan didapat dengan mudah. Apalah arti selembar bio data dan sebuah pas foto yang tidak berwarna?

Kesimpulan:

Maka melihat calon isteri secara fisik hukumnya sunnah, karena memang demikianlah anjuran dari nabi kita SAW. Namun hanya boleh terlihat wajah dan kedua tapak tangannya, karena selain dari keduanya, merupakan aurat yang haram dilihat. Tapi kalau diceritakan, hukumnya boleh, bila dilakukan dengan memenuhi aturan syariah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc