Monday, July 31, 2006

Mengapa Wanita Muslim Harus Memakai Jilbab

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Langsung aja pak ustad, saya pernah ditanya teman teman saya dari luar negri (yang non muslim) kenapa wanita muslim harus menggunakan jilbab? kalau secara bahasa Alqur'an saya sudah mengerti, tapi karena ini yang bertanya orang luar negri (seperti yang pak ustad tau, mereka butuh jawaban yang logis menurut mereka) mohon jawabannya yang jelas dan mudah dimengerti

Wassalaamu'alaikum wr. wb.

Ponco Sentono
Jakarta Timur
2004-01-29 17:09:38

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Sebenarnya sebagai sebuah situs yang khusus membidangi masalah syariah, serta sesuai dengan karakteristik syariah, pertanyaan yang meminta jawaban secara logika dan nalar bukanlah pertanyaan yang menjadi bagian dari tugas kami.

Sebab konsultasi syariah itu wilayahnya sudah sangat jelas, yaitu bagaimana menjawab masalah kehidupan dalam perspektif Al-Quran al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah serta dengan metodologi ilmiyah untuk mengupas apa yang ada dalam ayat dan hadits. Jadi kalau dilarang untuk menjawab dengan Al-Quran al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah, maka jawabannya bukan lagi jawaban syariah, tapi jawaban diplomatis, logika, nalar dan bernilai hikmah semata.

Dan itu bukan pure wilayah syariah, meski kita tetap masih menerima metode jawaban seperti itu. Tapi kalau nanti pertanyaanya merembet ke masalah berikutnya, misalnya, kenapa hanya wajah dan tapak tangan wanita yang boleh terlihat, bukankah kecantikannya justru ada pada wajahnya? Maka kita pun harus mencari-cari lagi alasan mengapa Allah SWT bikin aturan seperti itu. Padahal ketika ayat dan syariat memakai jilbab itu turun, Allah dan Rasulullah SAW tidak pernah menerangkan mengapa harus batasnya ini dan itu dan mengapa tidak yang lain.

Sehingga kalau pun kita temukan jawaban yang kira-kira logis dan masuk akal, tetap saja batasan aurat dalam aturan syariah itu bukan semata-mata hasil logika dan nalar kita. Sebab logika dan nalar manusia itu dari waktu ke waktu bisa saja berubah. Apalagi dari peradaban ke peradaban. Jadi tidak mungkin dong bila syariah itu harus terus menerus ikut peradaban dan perubahan zaman. Sebab syariah itu aturan yang bersifat baku turun langsung dari yang Maha Pencipta.

Kita bisa saja mencari hikmah mengapa Allah SWT menetapkan demikian, tetapi sekali lagi, hikmah itu bukanlah dasar dari sebuah ibadah. Misalnya, kita katakan bahwa bila wanita menutup rambutnya, maka rambutnya jadi akan terjaga dari kotoran, polusi dan terik matahari. Dan sementara orang bisa mengangguk-angguk. Tapi bukankah jawaban seperti justru malah sangat lemah? Nanti akan ada orang yang bisa menciptakan sejenis shampo yang bisa melawan polusi udara, kuman dan juga terik matahari. Berarti pakai kerudung sudah tidak perlu lagi. Tentu kita akan terjebak dengan jawaban yang kita buat sendiri.

Jadi menjawab masalah itu semata-mata dengan logika sama saja kita mengatakan bahwa babi itu haram karena mengandung cacing pita. Dan sekarang sudah ditemukan cara memasak daging babi yang sekaligus bisa membunuh cacing pitanya. Apakah babi jadi halal? Tentu tidak, sebab cacing pita itu bukanlah sebab diharamkannya daging bagi. Tak satu pun ayat dan hadits menyebutkannya sebagai sebab diharamkannya daging babi. Bagaimana mungkin kita dengan sok tahu mengatakan bahwa sebabnya adalah adanya cacing pita.

Tapi untuk melegakan teman Anda, bisa saja Anda katakan bahwa sejarah manusia sejak dahulu adalah bahwa wanita itu selalu menutup auratnya. Paling tidak sepanjang peradaban itu maju dan besar. Sebaliknya, makin mundur peradaban itu, maka makin telanjanglah mereka. Dan syariat untuk menutup aurat itu ada sejak pertama kali manusia itu ada. Adam dan Hawwa di surga pun diwajibkan menutup aurat. Dan semua nabi mengajarkan ummatnya untuk menutup aurat. Jadi sangat wajar pula bila ajaran menutup aurat itu memang diabadikan di dalam agama Islam. Artinya, Islam bukanlah yang pertama kali mengajarkan menutup aurat, tetapi semua agama yang telah Allah SWT turunkan, semua mengajarkan tentang menutup aurat.

Selain itu secara filosofis, menutup aurat adalah hal yang pertama kali membedakan manusia dengan binatang, meski sama-sama makhluq biologis. Sebab tidak ada satu jenis hewan pun yang sempat punya kesadaran untuk berpakaian. Tidak juga tumbuhan dan benda mati lainnya. Jadi sebagai satu-satunya makhluq nyata yang cerdas dan punya peradaban, bedanya manusia dengan hewan adalah masalah pakaian.

Dan untuk itu, tuhan yang menciptakan manusia telah menentukan bagian tubuh mana sajakah yang harus ditutup. Bagaimana tuhan memberi informasi itu ? Ya kembali lagi melalui ayat yang turun atau nabi yang diutus. Sampai di sini, jawabannya sudah memasuki wilayah syariah. Sebab pertanyaanya akan diteruskan dengan: ayat yang mana yang menyebutkan hal itu ?

Toh ujung-ujungnya memang kita memang tidak bisa lepas dari syariah, kan?

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

--

Wednesday, July 26, 2006

Keluarga Sakinah

Oleh : Nurjannah Suharjo

(Sumber: Hikmah, Senin, 24 Juli 2006)


Setiap pasangan suami istri tentu sangat mendambakan bahtera rumah tangga yang didayungnya dinaungi kebahagiaan, atau dalam Alquran disebut keluarga sakinah mawaddah warahmah. Keluarga sakinah artinya jalinan seisi rumah tangga diliputi ketenangan, cinta, dan kasih sayang.
''Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram (sakinah) di sampingnya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.'' (QS Ar-Ruum [30]: 21).

Untuk mewujudkan keluarga sakinah, Rasulullah SAW telah memberikan beberapa resep. Pertama, niat awal pembentukan rumah tangga adalah untuk beribadah dan melaksanakan sunnah Rasulullah SAW. Karenanya, kriteria utama pemilihan pasangan hidup adalah landasan penghayatan dan pengamalan Islam masing-masing pihak.

''Maka pilihlah karena agamanya, niscaya selamat.'' (HR Bukhari Muslim). ''Jika datang seorang laki-laki yang kalian suka dengan agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi, dan akan terjadi kerusakan yang nyata.'' (HR At-Tirmidzi).

Kedua, bila suami isteri hendak melakukan hubungan pun hendaknya tidak lepas dari niat ibadah. Rasulullah SAW membimbing setiap pasangan rumah tangga yang akan melakukan hubungan suami istri agar diawali dengan doa. ''Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari seitan, dan jauhkanlah seitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami.'' (HR Bukhari Muslim).

Ketiga, menghidupkan suasana keluarga dengan ruh semangat ibadah. Di antaranya membiasakan anggota keluarga bangun pagi untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah, merutinkan bertadarus baca Alquran setiap usai Maghrib, menghiasi rak-rak buku dengan bacaan akhlak dan kisah-kisah mulia, atau mengajari anak makan dengan tangan kanan dan membaca Bismillah.

''Muliakankah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan akhlak yang baik.'' (HR Ibnu Majah). ''Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan jauhilah maksiat kepada-Nya. Serta perintahkanlah anak-anakmu mematuhi Allah dan menjauhi larangan-Nya. Itulah pencegahan bagi mereka (orang tua) dari api neraka.'' Jika ini dilakukan, diharapkan akan timbul ketenangan dalam perjalanan rumah tangga atas curahan rahmat Allah SWT Sang Pemberi Ketenangan. Sebuah gambaran keluarga qurrota a'yun (yang sedap dipandang mata) karena rangkaian ibadah dan akhlak yang melingkupinya. Dan bagi orang-orang beriman hal itu bukanlah suatu yang mustahil untuk diwujudkan.

Sunday, July 23, 2006

Bila Ibu Boleh Memilih

Oleh: Ratih Sanggarwati (Ratih Sang)
(Sumber: www.percikan-iman.com)


Anakku...
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar
karena mengandungmu

Maka
ibu akan memilih mengandungmu?
Karena dalam mengandungmu

ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah
Sembilan bulan nak...

Engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman, karena ibu kecewa dan berurai air mata

Anakku...
Bila ibu boleh memilih apakah ibu harus operasi caesar, atau ibu harus berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua
Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa sakit,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun
Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia

Saat itulah...
Saat paling membahagiakan
Segala sakit & derita sirna melihat dirimu yang merah,
Mendengarkan ayahmu mengumandangkan adzan,
Kalimat syahadat kebesaran Allah dan penetapan hati tentang junjungan kita
Rasulullah di telinga mungilmu

Anakku...
Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah, atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,
Maka ibu memilih menyusuimu,
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu
dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak bisa rasakan

Anakku...
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang rapat
Atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu

Tetapi anakku...
Hidup memang pilihan...
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak...
Maafkan ibu...
Maafkan ibu...
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle kehidupan kita,
Agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak...
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak...
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu...

---

Thursday, July 13, 2006

Sepenggal Episode Cinta (cerpen)

Oleh: Vita Sumarhadi
(Sumber: Majalah Al Hijrah)

Dengan mata hampir tak percaya, kutatap sosok cewek yang kini berdiri, di hadapanku. Kaca mata minusnya, tas snoopynya, sepatu kets hitamnya.... Tak salah lagi, orang ini pasti Sari. Tetapi kerudung putih yang menutupi rambutnya, membuat aku hampir tak mengenalinya. Secepat inikah, Ri?

Sari nyengir-nyengir seperti biasa ketika kuguncang-guncangkan bahunya.

“Elo kapan, Ci?” tanyanya Iirih .

Aku tersenyum, kecut. Ya, aku kapan, ya?

Suatu saat nanti, Ri, jawabku, hanya di dalam hati. Aku tak bisa berkatakata. Lidahku terasa kelu. Senang dan sedih bercampur menjadi satu. Haru. Senang karena Sari menjadi lebih alim (ini suatu kemajuan pesat untuk seorang seperti Sari yang doyan ngebut kalau naik motor). Sedih karena aku seperti kehilangan Sari yang dulu. Sahabat terdekatku yang... A ... ya Allah, aku harus rela melepasnya menjadi lebih dekat dengan-Mu.

Aku dan Sari pernah saling berjanji untuk, suatu saat nanti, berjilbab. Setiap ke toko buku, kami tahan ngetem berjam-jam di counter buku-buku Islam. Lalu kami membeli buku dengan judul yang berbeda supaya bisa saling tukar. Topik tentang wanita dan Islam, termasuk topik tentang pacaran menjadi bahasan yang kami pilih. Tak jarang kami juga mendiskusikannya berdua. Hanya berdua.

Sering mentok memang, dan kalau sudah begitu kami sama-sama akan mengatakan “Wallahu allam bishawab.” Hehehe....

Sebulan yang lalu akhirnya kami sepakat meninggalkan pakaian pendek kami dan diganti dengan celana panjang atau kulot panjang serta blouse atau kemeja berlengan paniang.

“Kita berubahnya dikit-dikit aia dulu, Ci,” begitu kata Sari.

Aku sih setuju saja. Apalagi buat kami yang berkulit kereng alias coklat tua, berpakaian panjang-panjang jelas menguntungkan. Kulit jadi lebih putih. Kalau soal seragam sekolah, ya, terpaksa mengikuti aturan yang berlaku.

“Kalo perubahan kita drastis, bisa bikin shock banyak orang, makanya pelan-pelan aja,” ujarku.

“Perlahan, tapi pasti. Soalnya kita tahu apa sih, tentang Islam. Ntar ditanya-tanya orang bingung nggak bisa jawab, kan malah repot.”

“Nanti orang-orang pada bilang, Udah pake jilbab, tapi kok, gitu aja nggak tau,” timpal Sari.

Aku manggut-manggut setuju “Betul, daripada pake jilbab, tapi masih malumaluin.”

“Ri, yang penting kan kita mengimani kalo jilbab itu wajib, cuma masalahnya sekarang kita belon mampu ngelaksanain itu. Allah pasti tau, deh,” ujar Sari seperti menghibur diri.

Aku manggut-manggut lagi.

Ya, dalam masa persiapan dan penantian hidayah dari Allah ini (soalnya katanya pake jilbab itu hidayah Allah), kami sepakat untuk banyak baca buku dulu, nyari temen banyak dulu, hura-hura dulu, ngelaba dulu. Dan, pada saatnya nanti, Insya Allah kami siap.

Namun, sekarang Sari sudah lebih dulu berjilbab. Sedangkan aku? Ya Allah, kenapa hidayah-Mu baru sampai ke Sari? Kapan hidayah itu datang padaku? Tak terasa mataku membasah.

“Uci!”

Aku menoleh, Clara berlari menghampiriku.

“Dapet salam balik,” katanya sambil cengengesan.

“Emangnya siapa yang ngirim salam,” balasku, pura-pura cuek. Namun tak urung dadaku berdebar-debar juga. Pasti dari ....

“Tuh, orangnya di sana,” bisik Clara sementara telunjuknya mengarah ada gerombolan cowok yang ada di bawah pohon, di depan kelas 2-5. Dadaku berdesir begitu raut wajah Dani memandangku dari sana.

Gimana?” tanya Clara dengan nada menggoda.

Aku tahu, wajahku pasti merah, kuning, ijo, saat itu. Dan, bayangan Sari yang baru saja masuk ke ruang laboratorium membuat aku tak berani berkomentar apa-apa.

“Tau, ah!”

“Eh, gimana sih, udah disalamin juga, Ci, katanya...”

Buru-buru aku bergegas masuk ke Lab, sementara Clara berlari mengejarku.

Hampir semua teman-teman di kelasku tahu, kalau aku menaruh hati pada Dani, anggota tim basket sekolah. Dan semua orang juga tahu kalau Dani adalah tipe cowok yang pendiam, cool, terutama di hadapan cewek. Tak heran kalau beberapa orang menawarkan diri jadi comblangku, termasuk Clara, Alex, dan dahulu... Sari.

“Dari mana aja, Ci? Aku nyariin kamu dari tadi,” sambut Sari begitu aku sampai dan duduk di sampingnya. Aku cuma bisa menjawabnya dengan senyum, mengatur napas, menenangkan hati sambil berharap Pak Suratama cepat memulai praktikum. Sari kemudian asyik dengan diktatnya. Kami kemudian tenggelam dalam praktek biologi kelompok sampai tiba-tiba, Clara datang bergabung (padahal dia bukan kelompokku).

Seraya pura-pura memperhatikan hasil uji larutan asam dengan kertas lakmus, Clara mendesakku dengan gaya comblangnya yang profesional (diam-diam aku jadi kagum dengan kegigihannya).

“Ayo, Ci. Kapan Lagi. Doski udah ngasih lampu ijo, tuh. Eh, orangnya susah lho, buat deket sama cewek. Tapi percaya deh, orang kayak gitu, sekali jatuh cinta bakalan setia sampe mati,” katanya berbisik.

Aku diam tak berkutik. Dalam berpikir, Sari yang berdiri di sebelahku pasti bisa mendengar semua kata-kata Clara barusan. Duh, malu nggak, sih? Dan membuat lebih malu lagi, tabung reaksi di tanganku hampir lepas begitu saja. Untung Sari cepat menggapainya sebelum ia menyentuh lantai. Uhf! Hampir saja.

“Lain kali ati-ati, Non,” ujarnya sambil tersenyum tanpa menatap wajahku.

Aku melirik Clara. Anak itu buru-buru ngabur sebelum terjadi accident selanjutnya.

“Uci!” panggil Alex sambil berjalan ke arahku. Wah, bawa kabar apa lagi dia hari ini. Dadaku kembali berdebar, gimana enggak, selain comblangku yang kedua dia juga teman sekelas Dani. Kini cowok bermata sipit itu sudah berdiri di depan mejaku.

“Mau ujian matematik ni, tapi Dani lupa nggak bawa penggaris. Pinjem ya,” katanya.

“Ambil nih, pensilnya sekalian, tip-ex perlu nggak?” tiba-tiba Agus sudah ada di sampingku dan menyodorkan semua barang-barang milikku itu ke Alex. Tanpa basa-basi lagi, Alex langsung melesat ke kelasnya.

Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Diam dengan hati berbunga-bunga. Tapi, jangan-jangan semua ini hanya ulah comblang-comblangku saja, pikirku curiga.

“Clara, emangnya bener kalo Dani.....”

“Tuh kan, elo nggak percaya sih, sama gue. Kemaren waktu kita papasan sama doski di kantin, dia kasih senyum e elo, tapi elonya malah diem. Dia kan jadi bingung,” cerocos Clara agak keras. Aku celingukan kanan-kiri, nyariin Sari. Enggak ada. Amaaan.

“Terus...,” aku harap-harap cemas.

“Elo serius nggak, sih? Kan kasihan
dia.”

Aku tercenung, berbagai rasa berkecamuk dalam hati. Antara senang, berbunga-bunga sekaligus cernas dan gelisah.

“Eh, tapi tenang aja, Ci. Kayaknya malah dia yang suka sama elo. Kemaren aja dia nanya-nanyain elo ke Alex,”
sambung Clara.

“Alex bilang apa?”

“Pokoknya beres, deh,” Clara mengedipkan sebelah matanya dengan centil.

Hatiku semakin tak tenang.

Hari ini, pagi-pagi sekali aku telah sampai di sekolah. Nggak tahu kenapa belakangan ini aku jadi begitu bersemangat tiap berangkat sekolah. Apa karena Dani?

Sampai sekolah, gerbang telah terbuka lebar, nggak tahunya sepagi ini pun sekolah sudah ramai. Kulihat beberapa
di antara mereka sedang sarapan di kantin, dan di depan pintu mushala beberapa sepatu berjajar rapi. Aku tidak menemukan sepatu Sari di sana, berarti anak itu belum datang karena sejak berjilbab Sari selalu menyempatkan diri salat duha sebelum pelaiaran dimulai. Tiba-tiba, di ujung koridor aku menemukan sosok yang hari-hari belakangan ini selalu menarinari di benakku. Dani! la berjalan ke arahku dan tersenyum ketika kami berpapasan. Manis sekali. Jantungku tentu berdebar-debar dengan debaran yang lebih dahsyat dari biasanya.

“Hai!” sapanya ramah, tapi terdengar canggung. “Ci, saya mau balikin ini,” Dani mengeluarkan alat-alat tulisku yang kernarin dibawa Alex dari saku bajunya.

“0 ...” aku menerimanya dengan gugup. Kejadian ini benar-benar mengejutkanku.

“Tadinya mau dibalikin kernarin, tapi saya nggak nemuin kamu.”

Aku manggut-manggut, “Nggak apaapa, kok. Gimana ulangan matematiknya? Bisa?” aku berusaha untuk sebiasa
mungkin.

Dani tersenyum lagi, “Tau deh, kayaknya sih ... enggak.” Aku tertawa kecil.

“Thank’s, ya,” katanya sebelum kami berpisah, masih dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya yang tampan.

Aku cuma bisa mengangguk sambil membalas senyumannya. Tapi, di dalam hati aku seperti ingin berteriak keras-keras “Clara! He’s so sweet.”

Siangnya, habis-habisan aku curhat ke Clara. Ya, soalnya sama siapa lagi, masa sama Sari, sih? Wah, nggak berani aku. Tapi anehnya, setelah kejadian itu, aku sering merasa bersalah. Entah bersalah pada siapa, Sari-kah, atau Allah?

Di bulan Februari, menjelang valentine’s day, hari-hariku semakin merah jambu. Dani telah sering bersikap manis padaku. Walau kami belum meresmikannya, tapi sikap Dani padaku cukup membuat seisi sekolah tahu, cepat atau lambat kami akan segera memulai hari-hari indah, mengisi masa SMA. Namun pada saat yang sama pula, rasa bersalahku pada sesuatu yang belum jelas, semakin menjadi. Aku merasa seperti telah mengkhianati seseorang. Seseorang yang begitu dekat. Entah siapa.

Kadang, perasaan itu kemudian berganti dengan getar-getar yang aneh, kemudian gelisah yang tak menentu. Ditambah lagi bayangbayang wajah Dani dengan senyum manisnya. Kalau sudah begitu, aku sering berdiam diri beberapa saat,
mencoba menjernihkan pikiran. Seperti ada sesuatu yang tak beres terjadi di dalam hatiku.

Aku mencoba beristighfar untuk meredakan semua perasaaan aneh itu. Cara itu kuperoleh dari buku kecil yang dipinjamkan Sari beberapa hari yang lalu. Dengan berzikir kepada Allah, hati kita akan tenang, begitu kata buku itu.

Dapat kuduga, di hari Valentine, Dani memberi sesuatu yang istimewa padaku, demikian juga Sari. Kupandangi dua benda berwarna senada, merah jambu yang kini tergeletak di atas meja belajarku. Satu dari Dani, satunya lagi dari Sari. Dani memberikan sekuntum bunga mawar merah dari kain satin yang indah. Ditangkainya tergantung kartu mungil bertuliskan:

‘With my mind. Love, Dani.’

Sedangkan satunya lagi jilbab berenda warna merah jambu yang sangat manis. Di dalam lipatannya ada tulisan tangan Sari yang berbunyi,

“Let’s start together. Love, Sari.”

Kata Sari ketika menyerahkan bingkisan itu, ini bukan kado Valentine karena bagi Sari, hari-harinya bersamaku selalu Valentine. Ah, Sari...

Bagiku, dua benda ini tak hanya sebuah kado dari orang-orang tercinta, melainkan juga suatu pilihan yang satu sama lainnya bertolak belakang. Setiap pilihan mengandung konsekuensi yang berbeda dan aku tahu konsekuensi itu. Tak pernah kuduga aku akan dihadapkan pada situasi yang membingungkan seperti ini.

Sambil menimang-nimang bunga pemberian Dani, dan bercermin dengan mengenakan jilbab pemberian Sari, aku terus berpikir. Aku tak ingin mengorbankan salah satunya. Artinya, kamu ingin berjilbab dan sekaligus juga pacaran dengan Dani? Suara batinku. Apa nanti kata orang, berjilbab kok, pacaran? Suatu pertanyaan retoris yang sering kulontarkan juga.

Aku selalu protes tiap kali melihat cewek berjilbab, tapi berjalan mesra dengan cowok.

Dulu, setiap mendengar protesku itu, Sari selalu bilang, “Ci, jilbab kan nggak cuma sepotong kain yang menempel di kepala. jilbab juga sebagai langkah awal untuk lebih taat pada Allah, termasuk... nggak pacaran. Moga-moga nanti kita kalau udah berjilbab nggak gitu, ya?”

Dadaku terasa sesak, mengapa Allah mendatangkan Dani di saat-saat seperti ini? Tiba-tiba, mataku tertuju pada sehelai kertas yang jatuh dari lipatan jilbab yang diberikan Sari.

Ya, Allah! Aku terhentak, kertas itu ku tulis ketika masih kelas satu. Isinya bait-bait lagu yang pernah diajarkan Mbak Rara saat mengikuti Studi Dasar Islam Terpadu. Tak terasa air mataku mengalir ketika membacanya dan melantunkannya kembali.

Sayup-sayup, aku seperti mendengar suara Sari bernyanyi.

Tak hanya pakaian, ataupun hiasan,
Tapi lebih lagi
Jilbab putih ini akan mengantarkan
Diri kita pada ridha ilahi
Bersihkan hatimu
Luruskan akhlakmu
Jadilah Muslimah
Penuh dengan kharisma
Semoga Allah, bersama kita

Ya Allah, kapan lagi akan Kau tunjukkan jalan pada Uci kalau tidak sekarang ini, jerit batinku.

“Kapan lagi, Ci. Dani udah terus terang ke elo. Gue nggak bisa ngebayangin, berapa cewek yang bakalan patah hati melihat kalian berdua. “

“Iya, kapan lagi, Ci. Kita nggak tahu, kapan hidayah Allah akan datang lagi. Dan hidayah itu hanya diberikan kepada orang yang Dia cintai dan orang itu juga mencintai Allah. Sari yakin, Uci pasti mau menerima hidayah itu. Kita harus mulai berbenah diri dari sekarang karena maut nggak pernah bilang, kapan akan datang.”

Bayangan Clara dan Sari hilang dan muncul bergantian. Juga wajah manis Dani. Dani yang selalu tersenyum ramah padaku, Sari dengan jilbab putihnya serta Clara dengan kalung salibnya. Ya Allah, tiba-tiba saja aku teringat dengan kalung perak yang selalu menghiasi leher Clara!

Kami berpelukan. Air mata Sari jatuh ke jilbab putihku. Aku pun begitu, jilbab Sari basah oleh butiran air mata yang tak bisa dibendung. Aku begitu rindu pada Sari. Belakangan ini, sejak ia berjilbab, persahabatan kami merenggang. Apalagi setelah hadirnya Clara dan Dani. Tapi sekarang, kami akan bersama-sama lagi. Semoga Allah memudahkan jalan yang kupilih.

“Uci!” panggil Alex. Aku terkejut. Kulihat Alex berjalan di samping Dani, mendekati kami. “Ci, kata die nih, elo makin manis, lho...” canda Alex sambil menyikut Dani. Dani tersenyurm ke arahku. Duh, ya Allah, beratnya. Aku berdebar-debar lagi.

“Tenang aja, Ci. Tadi pagi anak-anak udah ngebilangin dia. Lantaran elo udah berjilbab, dia kudu pake peci biar serasi. Eh, Dani-nya mau tuh. lya, nggak, Dan?” cerocos Alex cuek.

Dani cuma tersenyum sambil menatapku.

Ada setitik bimbang dalam hati ini. Ya Allah, kuatkan Uci.

“Gimana, Ci. Diterima nggak? Dani udah nggak sabar, tuh,” desak Alex sambil senyum-senyum. Sebagai comblang, mungkin ia merasa telah bekerja dengan sukses.

“Wah, telat ..., Uci udah nerima yang lain,” cetus Sari tiba-tiba.

Alex melongo, “Ya Alex yang Nashara itu tentu bingung. Seperti ada jarum menusuk-nusuk hatiku saat itu, tapi buru-buru kuenyahkan.

“Terima kasih bunganya ya, Dan,” kataku sambil menundukkan wajah. Aku tak ingin wajah manis Dani terusterusan menari-nari di benakku.

Dani mengangguk, “Hanya itu?” mungkin begitu pikirnya.

Tapi, biarlah Sari atau Bambang yang ikhwan akan menjelaskan pada Dani.

Sepintas kulihat wajah Dani agak serius, “Eh, Ci, kita masih bisa temenan kan?”

Aku melirik ke arah Sari.

“Ya jelas dong, masa mau musuhan?” jawab Sari sedikit bercanda.

Aku menarik napas lega. Sari selalu saja bisa mencairkan suasana. Diamdiam, jauh di dalam lubuk hati, aku bertekad untuk menjaga jarak dengan Dani selagi masih ada penyakit di dada ini. ***