Saturday, July 19, 2008

Masalah Jilbab Yang Transparan

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalaamua'alaikum,

Semoga Allah SWT meridhai semua aktivitas kita dalam berdakwah. Amin. Semula ini bukan urusan ane, tapi ane melihat sesuatu yang mengarah pada "Penggampangan akan HIJAB (Jilbab)". Ane butuh jawaban apakah ane yang kurang paham atau memang terjadi pergeseran nilai pada pemahaman akhwat tentang HIJAB (Jilbab). Ane sering melihat akhwat memakai jilbab yang besar namun tipis, ada bagian dalamnya jelas kentara ada jilbab mungil didalam sebagai pelapis (atau apalah namanya).
Pertanyaan ana: 1. apakah ada fiqihnya tentang memakai jilbab tipis, karena selama ini ane tdk pernah membaca tentang fiqihnya jilbab yang tipis.
Syukran atas jawabanya, semoga Allah SWT memberikan pilihan yang terbaik untuk berhijab buat saudari-saudariku.

Muh. Arafah Tawil
Makassar

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d,

Memang akan terasa aneh bila selama ini kita melihat wanita tampil dengan jilbab lebar (sekali), lalu tiba-tiba dia tampil dengan jilbab yang mungil. Apalagi dengan jilbab yang besar tapi transparan sehingga kelihatan jilbab mungilnya di dalam.

Tapi kalau kita kembalikan kepada keaslian aturan dalam syariah Islam, sebenarnya masalah pakaian wanita itu sederhana saja. Intinya menutup aurat. Selama pakaian itu bisa menutup auratnya dengan benar, tanpa mencetak lekuk tubuh atau transparan sehingga auratnya tetap terlihat, maka pakaian itu sudah syar'i. Masalah apakah modelnya jilbab, bermotif atau tidak, pakai renda atau tidak, pakai asesoris atau tidak, pada dasarnya bisa dikembalikan kepada kebiasaan atau 'urf yang ada pada masing-masing komunitas.

Karena Rasulullah SAW tidak pernah melarang warna atau corak atau model tertentu sebagaimana beliau juga tidak pernah memerintahkan yang tertentu juga.

Maka selama jeins pakaian itu masih menutup aurat dengan benar, paling tidak minimal sudah memenuhi aturan dasar syar'i. Kalau terasa kurang sreg dalam pandangan subjektif masing-masing, maka sebaiknya para wanita menyesuaikan diri saja dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan.

Misalnya, di beberapa negara Arab para wanita memang memakai cadar. Lepas dari khilaf ulama tentang wajib tidaknya cadar, maka tidak pada tempatnya bila di negeri yang para wanitanya terbiasa pakai cadar ada seorang muslimah yang bersikeras untuk tidak pakai cadar. Karena hal itu bisa dianggap yukhaliful 'adah atau berbeda dengan yang terbiasa orang pahami. Meski baginya cadar itu tidak wajib, tetapi membuka wajah di negeri itu bagi muslimah adalah menjatuhkan muruah. Maka sebaiknya dia pakai cadar saja.

Dan kira-kira hal yang sama pun berlaku sebaliknya selama seorang wanita tidak bermazhab bahwa cadar itu wajib.

Dan kira-kira juga, memakai jilbab lebar yang transparan sampai kelihatan jilbab mungilnya itu hampir sama kasusnya. Meski secara syar'i tetap menutup aurat, tapi terasa agak mengganjal di mata, barangkali.

Tetapi ketimbang kita meributkan pakaian yang dikenakan saudari muslimah kita ini, apakah tidak lebih baik kita melihat hal-hal yang tidak menimbulkan fitnah? Yaitu dengan menundukkan pandangan yang maknanya bukan kalau ketemu wajahnya menunduk tapi hatinya berkecamuk. Tetapi bentuknya adalah tidak menjadikan wanita di sekitar kita ini sebagai objek pembahasan dan materi yang mengisi sepenuhnya otak kita sehari-hari. Mungkin ada baiknya otak kita ini kita isi saja dengan ilmu-ilmu keislaman yang lebih urgen dan luas, ketimbang tema tentang wanita.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Thursday, July 10, 2008

Janji untuk Ibu

(Sumber: Eramuslim, 18/02/2005)

Pautan dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sepertinya takan pernah putus. Tetapi kekokohannya bukan tidak mungkin usang dan kendur. Dan selalu anak yang mengendurkan tali kasih itu. Ibu, rasanya terlalu mulia untuk dituduh mengusangkan kekokohan pautan cinta suci yang berakar di hatinya.

Ibu tidak pernah mengumbar janji untuk menyayangi anaknya. Derai air mata dan cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengatakan "sayang" ketimbang janji manis atau bahkan omelannya ketika si anak berulah. Baginya cinta dan sayang selalu ada untuk anak-anaknya, hingga ia tak perlu lagi janji, karena janji hanya untuk sesuatu yang belum tersedia.

Tetapi janji adalah suara sehari-hari yang sampai ke telinga seorang ibu dari mulut anak-anaknya. Dan sering kali janji itu jauh lebih memekakan telinga daripada menjernihkan mata karena melihat bukti dari janji-janji itu.

Seorang anak yang merasa sudah cukup sukses suatu ketika berucap janji kepada ibu yang disayanginya. "Ibu, kalau sudah punya cukup uang saya ingin sekali mengongkosi ibu dan ayah naik haji." Ibunya tersenyum. Dari ujung matanya kristal-kristal bening meleleh. Didekapnya buah hati yang memiliki niat baik itu. Tanpa suara. Hanya dadanya yang bergemuruh memikul haru yang begitu besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya yang menyimpan banyak kenangan manis lalu pun hadir. Disusul bayangan kerinduan yang sangat untuk berziarah ke baitullah. Dalam hatinya ia berucap, "Semoga niat sucimu terkabul, sayang." Dan sebuah kecupan mendarat di dahi puterinya yang cantik itu.

Waktu pun berlari menyisakan hitungan hari, hingga pada suatu saat keberuntungan berpihak pada puteri cantik pemilik niat baik itu. Bersama suami dan anak-anaknya ia kembali ke tanah air dari tugas dinas suaminya. Tentu di kantong keluarga kecil itu telah terkumpul cukup uang. Hal ini dipahami oleh sang ibu. Seketika hatinya berbunga menyambut kepulangan anak, mantu, dan cucunya.

Namun meski demikian, pantang bagi si ibu untuk mengungkit janji yang pernah diucapkan puterinya tentang naik haji itu. Ia tak ingin selaksa amalnya terkotori oleh sedikit pun pamrih. Namun, puterinya yang cantik itu seperti lupa dengan janji yang diucapkannya. Seminggu, sebulan, dua bulan, dalam hati, seorang bunda menunggu-nunggu anaknya yang mungkin akan memberikan buku ONH (Ongkos Naik Haji) atas namanya dan suaminya. Waktu pun berlalu tanpa suara, seperti tak berani janji kapan peristiwa itu akan terjadi. Hingga tibalah suatu hari, hati seorang bunda pecah dalam diam ketika anaknya itu membeli sebidang tanah seharga tiga kali ongkos haji untuk dibuat kolam ikan dan tempat peristirahatan keluarga kecilnya bila pulang ke desa.

Tak tahu sebesar apa gemuruh yang bergelombang di dada ibu, hanya dia yang tau, karena ia tetap tersenyum di depan semua anaknya. Tak terkecuali di depan puterinya yang cantik itu. Ia tak pernah menagih janji anaknya, bahkan sekedar mengungkit pun tidak. Tapi, entah isyarat apa ketika ikan-ikan di kolam anaknya tak pernah menghasilkan keuntungan. Rumah peristirahatannya pun menjadi hanya sebatas rumah kosong yang tidak banyak memberi manfaat. Lalu, entah isyarat apa ketika anak-anak yang lain yang ikut menggunakan uang anak perempuan ibu itu untuk berbagai usaha, tak satu pun dari mereka yang sukses. Alih-alih, sebuah kesalah-pahaman keluarga terjadi meretakan keharmonisan keluarga ibu yang diingkari janji itu.

Entah isyarat apa. Apakah itu akibat sakit hati ibu karena anaknya sendiri telah mengingkari janji untuknya? Hanya "mungkin" jawabannya. Karena senyum ibu tidak pernah berubah untuk semua anaknya; do'a ibu tidak pernah berganti untuk semua buah hatinya, selalu untuk kebaikan; dan pangkuan serta pelukannya selalu terbuka untuk seluruh belahan jiwanya. Tapi apakah seorang ibu tidak bisa sakit hati? itu juga pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Karena ibu juga manusia biasa, tapi sangat luar biasa jasanya. Terlalu mahal semua jasanya untuk ditukar dengan janji-janji kosong. Mungkin kekebalan hati seorang ibu telah mampu menyembunyikan sepedih apapun sakit hatinya, namun Allah tetaplah Dzat yang Maha Adil yang telah mentakdirkan Rasul-Nya bersabda: "Keridhoan Allah ada dalam keridhoan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah ada dalam kemurkaan Allah."

Mungkin lautan kasih sayang ibu terlalu dalam untuk sekedar menenggelamkan sebesar apapun kesalahan anak-anaknya hingga tak muncul kepermukaan. Tetapi sebagai anaknya, kita harus memahami sifat manusiawi ibu kita, bahwa beliau juga punya hati yang sakit jika tergores. Dan yang pasti Allah adalah Dzat yang Maha Adil, dan tidak pernah lupa dengan janji-janji yang tertuang dalam ajaran-ajaran Rasul-Nya. Jadi, berhati-hatilah memelihara janji yang pernah diucapkan di hadapan bunda.

Wallahu a'lam.

***

Zamzam M. Ma'mun

Seketika setelah mendengar teteh menjanjikan ongkos naik haji untuk Umi dan Apa. "Teh, Semoga Allah memberi taufiq untuk menepati janjimu pada Umi dan Apa."

Saturday, July 5, 2008

Kenapa Mesti Malu?

Oleh Seriyawati
(Sumber: eramuslim.com)

Hari itu seperti biasanya saya mengantar dan menjemput Kiki, anak perempuan saya latihan Shorinji kempo. Dan ketika menjemputnya, saya melihat dia berbicara dengan temannya, seorang anak laki-laki yang sama-sama belajar kempo.

Saya tidak begitu menaruh perhatian pada mereka dan tetap menunggu anak saya selesai berbicara.
"Ada apa, Ki?" tanya saya setelah Kiki mendatangi saya.
"Teman Kiki bilang, 'Kenapa Mama memakai pakaian seperti itu di Jepang? Apa ngga malu?" jawab Kiki.
"Terus Kiki, jawab apa?" tanya saya lagi.
"Mama nggak malu, kok. Mama pakai baju orang Indonesia.., " jawab Kiki.
"Ini pakaian orang Islam, Kiki, bukan pakaian orang Indonesia. Memang Mama ngga malu, kok. Nggak usah malu. Ya, jangan malu... " jelas saya.

Sambil mengayuh sepeda menuju pulang, saya bertanya lagi.
"Terus... Teman Kiki bilang apa lagi?" tanya saya tertarik.
"Dia cuma bilang, 'Oohhh'...."
"Hebat ya Kiki, bisa ngomong gitu sama temannya..., " puji saya.
"Lagipula kenapa harus malu, ya... " kata saya lagi.
"Oh ya, Kiki malu ngga dengan Mama?" tanya saya ingin tahu.
"Ngga... " sahutnya kalem.
Syukurlah. Saya menarik napas lega diam-diam.

***

Suatu hari saya mengajak anak-anak ke rumah teman.
Begitu memasukkan tiket, kereta listriknya datang dan segera pergi lagi meninggalkan kami yang tergopoh-gopoh menuruni tangga mengejarnya.
Tetapi akhirnya kereta listrik itu berangkat tanpa kami di dalamnya.
"Yaaahhh... Kita harus nunggu 10 menit lagi, " kata saya kecewa.
Anak-anak pun terlihat kecewa.

Sewaktu menunggu kereta bawah tanah datang, saya lihat anak-anak saya berbisik-bisik.
"Ada apa, sih?" Rasa keki membuat saya mengajukan pertanyaan.
"Itu ada teman Kiki. Miraretakunai...(ngga mau dilihat sama dia). "
"Kenapa? Kiki malu?" tanya saya seakan tahu apa yang dikhawatirkannya.
"Kalau ketemu nanti Kiki jadi harus ngomong begini begitu, " kata Kiki.
"Ngomong begini begitu, apa maksudnya, Ki?" tanya saya keheranan.
"Iya, Kiki kan jadi harus nerangin kenapa Kiki pake ini, " katanya sambil memegang jilbab warna biru mudanya.
"Tapi kan... Kalau dia teman Kiki yang baik, yah ngga apa-apa dong kalo lihat Kiki pakai jilbab?" tanyaku menyelidik.
"Hmmm..., " sahut Kiki pelan bernada ragu.
"Cuma malas aja kok ngejawab tanya-tanya, teman Kiki itu."

"Memangnya Kiki malu ya dilihat teman sekolah sedang pakai jilbab?"
tanya saya. Saya lihat Kiki diam sejenak dan menggeleng.
"Nggak, inilah Kiki yang sebenarnya. (Hontou no Kiki no shotai). Kenapa Kiki mesti malu!" jawabnya tiba-tiba.
"Begitu, dong!" kata saya membanggakannya.

***

"Bukan kita yang mesti malu dengan pakaian yang kita pakai. Lagipula kenapa kita mesti malu? Bukankah kita memakai pakaian yang memang disuruh Allah. Kalau kita pakai baju yang kelihatan pahanya, bahunya,
lehernya, nah orang yang pakai itu yang harusnya malu. Iya, ngga, Ki?"
tanya saya minta persetujuannya.
Tapi kenapa ada teman mama yang ngga pakai jilbab?" serbu Kiki.
Glek. Saya terdiam sejenak.
"Iya, mungkin mereka belum tahu, Ki. Mereka belum tahu bagaimana nyaman dan enaknya memakai ini. "
Tangan saya menunjuk pakaian panjangnya.
"Yang mama yakin, kalau mama memakai ini, perasaan mama tenang. Ngga ada perasaan bersalah, dan yang penting mama ngga mau dimarahi Allah. "
"Dimarahi Allah, Ma?" tanya Kiki bernada kaget.
"Iya. Kan, kalau ngga ikut kata Allah, nanti Allah marah, ngga sayang sama kita... "
"Mama pernah baca di buku, katanya orang yang ngga memakai jilbab akan dijauhkan dari surga, dan takkan mencium baunya surga. Wah, takkan mencium bau surga... Artinya jauh dari surga, malah ngga masuk surga dong ya... " jelas saya.
"He! Ngga mau ah... Kiki mau masuk surga, " kata Kiki antusias.

Jauh di dalam hati saya merenung. Masih banyak PR yang mesti saya siapkan yang harus saya ajarkan kepada anak-anak saya. Betapa Islam itu indah dan penuh keringanan-keringanan bagi penganutnya. Tidak ada keberatan-keberatan yang tak bisa dipikul hamba-hamba-NYA. Bukankah Allah takkan memberi cobaan di luar kesanggupan hamba-NYA?

Rasulullah salallahu 'alaihiwassalam bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih. Dan malu adalah salah satu cabang iman. "
Rasulullah juga bersabda, "Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan. "

" Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu" (al-Ahzab, 59).

Nagoya, Maret 2007