Oleh: Ade Armando
(Sumber: Kolom Resonansi, Republika, 12 Maret 2005)
Shabina Begum menang, kita pantas bergembira. Shabina adalah seorang siswi yatim-piatu di Sekolah Menengah Denbigh di Luton, Inggris, yang pada 1 Maret lalu memenangkan perkara di pengadilan Inggris setelah bertarung selama dua tahun. Yang ia perjuangkan hanyalah hal sederhana: hak untuk mengenakan jilbab di sekolah.
Pimpinan sekolahnya menganggap Shabina bersalah karena ia melanggar ketentuan seragam sekolah yang harus dipatuhi oleh semua siswa, tanpa kecuali. Tapi, pengadilan Inggris menganggap keputusan kepala sekolah yang melarang Shabina berjilbab justru sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pengadilan merujuk pada ketentuan Departemen Pendidikan yang menyatakan bahwa seorang siswa bisa saja mengenakan pakaian yang tidak sepenuhnya mematuhi peraturan seragam sekolah, terutama bila sikap itu diambil dengan merujuk pada aturan pakaian berdasarkan budaya, ras, atau agama yang diyakininya.
Keputusan itu tentu pantas disambut gembira oleh bukan saja masyarakat Muslim dunia, tapi juga oleh setiap individu yang percaya akan arti penting perlindungan hak asasi manusia. Departemen Pendidikan Inggris bukannya menganggap sepi ketetapan berseragam sekolah, namun mereka mengakui bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan ketetapan tersebut dilanggar, terutama ketika itu menyangkut keyakinan tertentu. Kalau saja siswa memilih mengabaikan peraturan karena pilihan mode, misalnya, masalahnya tentu lain. Tapi, Shabina berkeras karena sesuatu yang sangat mendasar dalam hidupnya: agama -- dan karena itu keputusannya berjilbab harus dilindungi.
Para hakim yang memutuskan bukan beragama Islam, dan bukan pecinta Islam. Keputusan mereka sepenuhnya objektif dan didasarkan atas keyakinan mereka akan hak asasi manusia. Dan hal ini menjadi semakin penting ketika banyak negara di dunia kini dihuni oleh masyarakat yang semakin heterogen. Dalam sebuah masyarakat homogen, hidup lebih sederhana. Kita bisa membayangkan bahwa setiap warga disosialisasikan dengan nilai, cara berpikir, atau kebiasaan yang kurang lebih sama. Harapan serupa tak pantas lagi dikenakan ketika warna masyarakat menjadi semakin beragam.
Tak semua komunitas Muslim menikmati penghargaan serupa. Di Prancis, misalnya, saat ini jilbab dinyatakan terlarang digunakan di sekolah-sekolah publik. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa penggunaan simbol-simbol keagamaan -- tak terbatas pada jilbab -- akan mendorong tumbuhnya eksklusivisme masyarakat yang justru membahayakan kemajemukan Prancis. Namun, keputusan pengadilan itu bukannya tak memperoleh kecaman. Beragam kelompok, bukan saja kaum Muslim, menganggap pilihan tersebut sebagai bentuk nyata pengingkaran hak asasi manusia.
Kita tentu berharap bahwa di masa yang akan datang lebih banyak masyarakat yang memilih ''jalan Inggris'' daripada ''jalan Prancis''. Dan hal serupa relevan untuk dibincangkan di negara ini. Kita rasanya perlu menyadari bahwa penghargaan akan kemajemukan masih perlu dipupuk di negara ini. Sekitar dua tahun lalu, kita menyaksikan perdebatan serius tentang UU Pendidikan Nasional. Saat itu, banyak kelompok masyarakat yang menolak ketetapan dalam UU tersebut yang mengharuskan sekolah menghormati keberagaman keyakinan dengan memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama anak didik. Bulan lalu, kita mendengar Sekolah Tinggi Ilmu Statistik hanya membolehkan mahasiswinya untuk menggunakan jilbab berukuran kecil.
Dan sampai saat ini, kasus-kasus kesulitan mendirikan rumah ibadat masih terdengar di banyak daerah. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa menghormati kemajemukan bukanlah sikap yang dengan sendirinya ada. Di Inggris sendiri, keputusan pengadilan soal Sabhina menuai banyak protes. Editorial surat kabar The Daily Mail menggambarkan bagaimana keputusan pengadilan tersebut memenangkan kaum minoritas seraya mengabaikan kepentingan kaum mayoritas. Argumen itu tentu pantas dicampakkan ke keranjang sampah. Hak asasi manusia adalah hak yang dikaruniai Allah pada setiap individu, terlepas dari ia adalah bagian dari kelompok kecil atau kelompok besar. Kita di Indonesia perlu percaya itu dan perlu memperjuangkannya di sini. Shabina menang. Semoga Allah memberkahi para hakim yang memberinya kemenangan.
Friday, January 12, 2007
Shabina
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment