Oleh: Ibnoe Dzulhadi
(Sumber: www.eramuslim.com)
Tentang Luqman: siapakah yang masih mengingat cerita yang menarik dan menyejukan itu? Ketika Luqman diperintahkan oleh majikannya untuk mengambil 'bagian terbaik' dari hewan kurban, ia mengambilkan 'hati dan lisan' hewan tersebut untuk tuannya. Dan ketika ia disuruh untuk mengambil bagian terburuk, ia kembali membawa bagian yang sama. Tuannya heran dan bertanya: "Ketika aku menyuruhmu mengambilkan bagian terbaik dari orang hewan kurban, engkau membawakanku 'hati dan lidah'. Sekarang, engkau juga memberikan kepadaku organ yang sama. Kenapa?" Dengan sangat bijak Luqman menjelaskan bahwa tidak ada yang paling baik dari orang makhluk, kecuali hati dan lisannya. Dan sebaliknya: tidak ada yang paling jelek dan kotor dari hamba selain 'hati dan lisannya'.
Kanjeng Nabi secara detil menjelaskan kepada kita: "Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka jasad akan baik seluruhnya. Namun jika ia rusak, maka jasad (juga) rusak seluruhnya. Itulah 'hati'".
Hati adalah raja dalam tubuh. Ia penguasa. Perintah dan larangannya ditaati oleh seluruh prajuritnya: anggota badan. Namun, jika raja tidak pernah "dijamu" dan diberi "masukan", ia akan lemah dan tidak dapat memerintah dengan baik dan berwibawa. Kalau 'sang raja' sudah tidak berwibawa lagi, otomatis rakyatnya akan rusak.
Oleh karenanya, 'sang raja' harus selalu diajak berjalan-jalan. "Wisata Hati". Ia harus dibawa melintasi lautan hikmah. Agar ia tidak lelah dan lesu. Imam Ali ibn Abi Thalib menjelaskan: "Rehatkanlah hati itu dan carikan untuknya sentuhan hikmah. Karena ia merasa bosan, sebagaimana halnya tubuh."
Hikmah. Ya, hikmah. Ada apa dengan hikmah? Hikmah adalah "mutiara yang hilang" dari setiap Muslim. Barangsiapa yang menemukannya, ia lebih berhak untuk memungutnya kembali, demikian bunyi sebuah adagium hikmah. Saking berharganya 'hikmah' itu, Allah menyatakan: "Barangsiapa yang diberi hikmah, ia telah dikarunia kebaikan yang banyak..." (Qs. Al-Baqarah [2]: 269).
Wisata hati adalah wisata yang sangat menyenangkan. Jika kita tahu arah dan area wisata itu. Jika tidak, hasilnya juga tidak akan baik. Maka, ia harus pergi ke lautan hikmah, seperti yang disebutkan Imam Ali ra. Agar ia jangan cepat bosan, lelah dan lesu. Ibarat tubuh, hati juga harus "diberi makan" dan "minum". Dengan demikian, ia akan tetap eksis dan fit.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan: "Barangsiapa yang menginginkan hati yang bersih, hendaklah ia lebih mendahulukan Tuhannya ketimbang syahwatnya. Karena hati yang 'terpaut' oleh syahwat tertutup dari Allah sesuai dengan kadar 'keterpautannya' dengan syahwat itu. Hati adalah 'wadah' Allah di atas bumi-Nya. Maka hati yang paling dicintainya adalah yang lebih 'tinggi' (kadar kesuciannya), lebih keras (kuat) dan lebih bersih. Jika hati itu diberi makan dengan 'dzikir', disiram dengan tafakkur dan dibersihkan dari cela, ia akan (mampu) melihat berbagai keajaiban dan akan diilhami oleh hikmah."
Subhanallah! Itulah daerah dan kawasan 'wisata hati'. Tidak banyak ternyata. Cukup tiga saja: dzikir, tafakkur dan bersih dari cela. Adakah yang mengatakan bahwa ketiga hal tersebut berat? Atau, ada yang mengatakan bahwa tiga kawasan itu sulit ditempuh dan dilewati? Tentu, jawabannya lebih bijak jika disimpan di dalam 'hati' masing-masing.
Dzikir. Mengingat. Mengingat apa saja. Terutama mengingat Allah. Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana. Ia tidak pernah lalai dari apa yang dikerjakan oleh makhluk-Nya. Ia juga tidak pernah lupa untuk membalas amal hamba-Nya. Baik amalan itu saleh, maupun jelek. Dalam dzikrullah, Ia sendiri berjanji akan mengingat orang yang mengingat dan menyebut-Nya: "Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian..." (Qs. Al-Baqarah [2]: 152). Tentunya setiap yang melakukan 'perniagaan' dengan Allah tidak ada yang dirugikan sedikitpun.
Tafakkur. Tafakkur adalah bagian dari ibadah. Bukankah nabi Ibrahim, bapak monoteis, adalah contoh ideal dalam tafakkur? Dalam gelap gulita ia ber-tafakkur: ia mengira 'bintang' sebagai Tuhannya. Ketika bintang itu tenggelam, ia pun kecewa. Karena yang dapat tenggelam berarti bukan Tuhan. Ia benci kepada 'Tuhan yang tenggelam'. Ketika ia melihat 'bulan' muncul. Ia kembali mengira bahwa itu adalah 'Tuhannya'. Namun ketika bulan (juga) tenggelam, ia kembali kecewa. Terakhir, ia melihat 'matahari' terbit. Ia mengira (juga) bahwa itulah Tuhannya, karena dilihatnya lebih besar, lebih terang. Namun matahari juga mengecewakannya.
Hasil dari kekecewaannya itu ia kabarkan kepada kaumnya: ia berlepas dari apa yang mereka sembah dan persekutukan. Dan pada akhirnya, ia sampai kepada nilai tafakkur-nya: Tuhan bukan bintang, bulan atau matahari. Tuhannya adalah yang menciptakan langit dan bumi, termasuk isinya: bintang, bulan dan matahari. Akhirnya, tafakkur-nya membuahkan gumpalan keyakinan yang tak tergoyahkan (Qs. Al-An'am [6]: 75-79).
Baginda Nabi Muhammad saw juga demikian. Sebelum jadi Rasul, beliau adalah ahli tafakkur. Beliau suka ber-tahannuts di Gua Hira. Hal ini diceritakan oleh istrinya tercinta, Humaira Aisyah ra. "Beliau suka menyendiri kemudian bertahannuts di dalam Gua Hira beberapa malam lamanya" (HR Bukhari-Muslim). Kemudian beliau menyuruh umatnya agar ber-tafakkur: memikirkan ciptaan Allah, "Tafakkaru fi khalqillah..." (Bertafakkurlah tentang ciptaan Allah...) (Dikeluarkan oleh Dailamiy di dalam kitab al-Firdaus).
Ternyata kebiasaan ber-tafakkur sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Ummu Darda sendiri ketika ditanya tentang perbuatan Abu Darda yang paling afdhal, ia menjawab: tafakkur dan ber-iktibar. Hasan Al-Bashri menyatakan: "Tafakkur saa'atan afdhalu min qiyami lailatin" (Bertafakkur satu saat lebih baik dari shalat satu malam suntuk).
Umar ibn Abdul Aziz juga berkata: "Al-Ta'ammul fi ni'amillah min afdhal al-'ibadat" (Memikirkan (secara jeli) nikmat Allah salah satu bentuk ibadah yang paling baik). Maka ber-tafakkurlah!
Membersihkan hati dari 'cela'. Sebab hati itu seperti besi: bisa kotor dan berkarat. Kalau sudah berkarat tentunya agak sulit untuk membersihkannya. Meskipun bisa, biasanya tidak sebersih asalnya. Namun 'hati' bukanlah 'besi'. Ia dapat bersih seperti sediakala: bersinar dan bercahaya kembali.
Yang membuat hati kita berkarat adalah 'debu modernisasi', kabut kemajuan yang sudah tak terkontrol, belum lagi 'limbah pabrik kemaksiatan'. Semuanya menutup mata hati. Membuatnya tidak lagi tajam dan jeli. Cahayanya "redup": tidak bertenaga dan tidak memiliki pesona lagi. Hati harus dilatih (riyadhah) agar dapat mengalahkan hawa nafsu. Cinta dunia, harta, sombong, congkah, pongah, kikir (bakhil), ghibah, namimah, suka melirik kekayaan orang lain, dan sebagainya adalah bentuk 'cela' yang dapat mengotori hati.
Kesemuanya akan bermuara dan berkumpul. Kemudian akan melahirkan apa yang disebut dengan "hubb al-dunya" (cinta dunia). Dan pada gilirannya melahirkan "karahiyah al-maut": takut dan enggan untuk mati. Oleh karena itu, Kanjeng Nabi selalu mengingatkan agar hati selalu diarahkan untuk (selalu) mengingat maut. "Aktsiru min dzikr hadzim al-ladzat" (Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan).
Aisyah bertanya kepada Nabi saw: "Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang dibangkitkan (pada hari kiamat) bersama para syuhada?" "Ya, ada." kata Rasul. "Yaitu orang yang mengingat maut dalam sehari sebanyak dua puluh kali”.
Dengan mengingat mati, orang hanya akan ingat untuk berbuat kebaikan. Ia lupa untuk 'menggunjingkan' kejelekan dan aib orang lain. Karena ia sadar bahwa amalnya belum tentu lebih baik dari orang yang digunjingkannya. Bisa jadi orang yang menurutnya buruk dan banyak dosa, ternyata lebih mulia di sisi Allah.
Orang yang sadar bahwa kematian itu dekat, ia tidak akan berani "korupsi" dan memakan harta rakyat kecil. Ia sadar bahwa apa yang ia makan akan dipertanggungjawabkan di pengadilan Tuhan yang Maha Adil. Tentunya "catatan" dan "dokumen" Tuhan lebih rapi dan terjamin validitasnya.
Lahirnya kesadaran seperti itu akan menghilangkan 'cela' dan keburukan yang bersemayam di dalam hati. Sehingga, karat hatinya dapat pudar. Hati adalah cermin Allah. Ia tidak akan rela dan ikhlas jika cermin-Nya itu kotor: karena ia tidak dapat ditembus oleh cahaya hidayah-Nya. Mari kita mulai "Wisata Hati" ini.
Wallahu a'lamu bi al-shawab.
(Kairo, 4 April 2005)
Thursday, May 18, 2006
Wisata Hati
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment