Saturday, February 2, 2008

Menutupi Rambut

Oleh : Miranda Risang Ayu
(Sumber: Republika online, 24 Juni 2002)

Suatu ketika, dalam sebuah undangan makan siang sebuah perguruan tinggi asing, saya terlibat dalam perbincangan kritis dengan seorang Cekoslovakia yang mempertanyakan kebiasaan saya yang selalu mengenakan penutup rambut di hadapan umum. Stigma irasionalitas Islam tampaknya membuat kawan yang satu ini sudah didera duluan oleh prasangka buruknya sendiri.

Syukurlah seorang Inggris yang duduk di sebelahnya menengahi bahwa kebiasaan menutup rambut yang dilakukan banyak perempuan itu sesungguhnya tidak terlalu asing hingga mesti demikian tajam dipertanyakan.
"Tidak hanya orang Islam yang menutup rambutnya," sergah rekan Inggris ini. "Orang-orang Yahudi modestinik juga melakukan itu ...."

Meskipun telah diselamatkan dari keterpojokan, semula saya tidak tahu siapa Yahudi modestinik itu hingga penerbit Mizan mengirimkan sebuah buku karya Wendy Shalit kepada saya. Konsep modestinik dalam buku adalah konsep yang membahas sebuah etika yang percaya bahwa perempuan adalah eksistensi feminin yang unik; subjektivitasnya justru semakin mengemuka, baik bagi dirinya maupun lingkungan sosialnya justru karena ia tersembunyi. Menyembunyikan diri, bagi perempuan, adalah proses meneguhkan eksistensinya yang khusus, dicari, dan tentu saja bagi perempuan itu sendir: yang berbeda dan terpisah dari semua hal yang jelas di hadapannya.

Tetapi, seperti Shalit juga menyatakan bahwa proses penemuan diri seperti ini mirip proses penemuan "balita yang sedang main sembunyi-sembunyian", penyembunyian bukan cara yang cukup "matang" untuk bereksistensi jika itu dilakukan secara antisosial dan berlebihan. Sebaliknya, penyembunyian diri adalah bahasa sosial untuk menyatakan bahwa, "Saya adalah perempuan; saya adalah eksistensi yang unik karena memiliki sesuatu yang amat pribadi, rahasia, dan bermakna. Ketertutupan membuat saya berharga tinggi, aman untuk dimiliki, dan dapat mengamankan diri saya sendiri."

Etika ini, ketika diterjemahkan dalam hubungan dengan lawan jenis, menjadi etika yang santun dan paralel dengan nilai-nilai Islam. Sekalipun sudah bertunangan, misalnya, etika modestinik tidak memperkenankan sepasang lelaki dan perempuan saling menyentuh. Ketika pasangan ini telah menikah, terjadinya persentuhan di antara mereka ditandai dengan turunnya penutup rambut pihak perempuan. Penutup rambut ini adalah tanda "kerendahatian" seorang perempuan, yang sesungguhnya berharga tinggi dan cukup dengan dirinya sendiri, untuk secara fisik, menyerahkan dirinya untuk menjadi milik khusus dari satu orang yang paling berhak.

Menariknya, dalam konteks Islam, turunnya penutup aurat ke sekujur tubuh seorang perempuan sesungguhnya bukan saja tanda dari sebuah komitmen sosial; seorang Muslimah saya kira tidak berjilbab karena disentuh secara fisik oleh pasangannya, tetapi karena disentuh secara spiritual oleh Yang Maha Cahaya. Tetapi, persentuhan ini kemudian diterjemahkan secara indah dalam bahasa sosial hingga aman pula diri, pasangan, dan lingkungan pergaulannya.

Muslimah yang telah berjilbab, karenanya, sering kemudian dipercaya sebagai figur penyimpan dan penebar kehangatan dan rasa aman. Kepercayaan ini kemudian menjadi tuntutan. Logis dan mulia memang. Tetapi, saya hanya sering bertanya sendiri; jika pun seorang perempuan memang tercipta untuk memberi kehangatan dan rasa aman, siapa yang harus menjadi transfigurasi Ilahiah baginya untuk menyalakan bara di dalam hatinya ketika rawan?

--

1 comment:

Dini said...

Ass wr wb. Duh, tulisan2 MRA memang favorit saya. Inget banget saya pernah baca artikel ini di kolom Resonansi Republika. Sedihnya sekarang MRA gak kontribusi lagi di kolom itu. Sorry comment-nya gak pada isinya namun pada penulisnya. Tapi gak sedikit tulisan MRA yang mengena pada saya, gak terkecuali yang satu ini. Penutupnya itu lho... :)