Thursday, December 27, 2007

Jilbab, Budaya Orang Arab?

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalamu Alaikum Wr.Wb Pak Ustadz Menurut cerita yang saya dengar bahwa memakai jilbab adalah merupakan budaya orang orang Arab. tolong jelaskan Alqur'an dan hadistnya.

Wassalamu alaikum wr.wb
Nur
Bontang Kaltim


Jawaban:

Jawaban : Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Wanita-wanita arab sebelum datangnya Islam tidak memakai jilbab. Mereka membuka aurat dan membiarkannya terlihat oleh orang lain. Dan mereka baru mengenakan jilbab saat di tengah mereka diutus seorang nabi yang membawa kitab suci yang memerintahkan pada wanita untuk memakai jilbab.

Bahkan perintah untuk memakai jilbab ini pun tidak diturunkan pada saat mula pertama Islam diturunkan, melainkan ketika dakwah Islam sudah memasuki periode Madinah, sekian tahun setelah Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi. Barulah para wanita menjadikan apa saja yang bisa dijadikan penutup aurat ketika ayat berikut ini turun.

'Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka?"' (QS. An-Nur : 31)

'Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.' (QS. Al-Ahzab : 59)

Juga ada hadits Rasulullah SAW kepada Asma binti Abi Bakar:
"Wahai Asma', seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini. Rasulullah SAW memberi isyarat kepada wajah dan tapak tangannya."

Orang yang beranggapan bahwa jilbab itu pakaian tradisional arab sesungguhnya tidak paham sejarah arab apalagi syariat Islam. Bahkan tidak bisa membedakan antara masyarakat arab dengan ajaran syariat Islam. Padahal keduanya merupakan hal yang berbeda.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Friday, December 21, 2007

Kedudukan Ibu

Oleh: Suprianto
(Sumber: republika.co.id)

Ahmad Syauqi, seorang pujangga Arab, mengatakan melalui syair yang ditulisnya, ''Ibu adalah sekolah, apabila dia mempersiapkannya, dia menyiapkan masyarakat yang baik keturunannya.''

Syair yang sangat singkat ini menunjukkan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat mulia dan berpengaruh sangat besar. Ibu adalah pendidik paling utama bagi setiap anak. Selain itu, ibu adalah sosok yang paling dicintai oleh semua orang dan menjadi anutan mereka, serta pribadi yang didapati di hadapan setiap anak pada saat pertama kali matanya terbuka untuk melihat dunia.

Islam telah memberikan pesan melalui Alquran tentang kedudukan orangtua. Terlebih khusus lagi, adanya penekanan untuk senantiasa berbuat baik kepada ibu. Firman Allah, ''Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.'' (QS Lukman: 14). Hal ini menunjukkan bahwa keutamaan orangtua menempati urutan kedua setelah keutamaan Allah.

Ayat di atas juga memberikan pengkhususan, agar setiap anak berbakti dan berbuat baik kepada ibunya. Perintah berbuat baik dan berbakti kepada ibu juga tercantum dalam beberapa hadis shahih, di antaranya adalah riwayat dari Abu Hurairah RA, bahwasanya ada seorang anak laki-laki datang kepada Rasulullah SAW.

Ia berkata, ''Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?'' Nabi menjawab, ''Ibumu.'' Ia bertanya lagi, ''Kemudian siapa lagi?'' Nabi menjawab, ''Ibumu.'' Kemudian ia bertanya lagi, ''Kemudian siapa lagi?'' Nabi menjawab, ''Ibumu.'' Ia masih bertanya lagi, ''Kemudian siapa lagi?'' Nabi menjawab, ''Bapakmu.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Perintah berbuat baik kepada ibu yang diulang hingga tiga kali berturut-turut dalam hadis di atas menunjukkan bahwa ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam pandangan Islam dan memiliki keutamaan yang sangat besar daripada yang lainnya. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya atas wanita?'' Nabi menjawab, ''Suaminya.'' Lantas Aisyah bertanya lagi, ''Siapakah yang lebih berhak atas seorang laki-laki?'' Nabi menjawab, ''Ibunya?'' (HR Ahmad).

Pesan Ilahiyah di atas sangat jelas sekali bahwa perintah berbuat baik kepada ibu merupakan bagian dari pesan umum yang disampaikan oleh Islam, yaitu, agar memperlakukan kaum wanita secara baik. Sosok seorang wanita yang telah menjadi ibu tak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan sosok laki-laki yang telah menjadi ayah. Sebab, ibu juga turut bertanggung jawab atas semuanya yang menjadi tanggung jawab ayah, terutama terhadap pendidikan anak-anak yang diasuhnya. Bahkan bobot pengaruh seorang ibu dalam mendidik anak, melebihi bobot pengaruh seorang ayah.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan kepada para ibu untuk senantiasa memelihara dan mendidik anak-anaknya selama mereka belum memasuki jenjang pernikahan. Wallahu a'lam bish shawab.

---

Thursday, December 20, 2007

Hidayat Nurwahid: Jilbab TNI Sangat Baik, Asal Profesional

Sumber: Eramuslim.com, Kamis, 13/12/2007 13:43 WIB

Wacana TNI wanita berjilbab ditanggapi positif oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Ia menilai asalkan tetap mengedepankan profesionalisme, tidak ada masalah tentara wanita menggunakan jilbab, apalagi saat ini baik TNI maupun polri tidak pernah melarangannya

"Kalau dirujuk ke dalam UUD dan Perundang-undangan yang ada, tidak ada sattu pun yang memposisikan polisi atau TNI wanita dilarang berjilbab, "ungkapnya kepada wartawan, di Gedung DPR, Jakarta, (13/12).

Selama ini menurutnya, penggunaan pakaian itu tidak perlu dipermasalahkan, selama penggunaan itu yang bersangkutan dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal.

"Sebab di Melbourne Australia saja memperbolehkan berjibab. Intinya profesionalitas seseorang tidak terganggu, karena dia menggunakan jilbab atau tidak, "katanya

Ia mencontohkan, prestasi atlet berjilbab Indonesia yang dikirim ke Sea Games dan meraih emas, tidak pernah dihalangi oleh jibab.

Sebelumnya sambutan positif itu datang dari Sekretaris FPKB DPR Anisah Mahfudz. Ia menilai TNI benar-benar telah membuktikan sebagai lembaga yang serius dan konsen dalam reformasi internal TNI. (novel)

Saturday, December 15, 2007

MUI Jambi Dukung TNI Izinkan Personelnya Berjilbab

Sumber: Eramuslim.com, Rabu, 12/12/2007 18:34 WIB

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi mendukung kebijakan pimpinan TNI mengizinkan personelnya berjilbab, karena dinilainya sebagai kemajuan bidang militer di Indonesia.

"Kita sangat mendukung kebijakan pimpinan TNI seperti disampaikan Kadispen Umum Mabes TNI, Kolonel Ahmad Yani Basuki, yang pada prinsipnya tidak ada larangan TNI wanita berjilbab yang aturannya sedang dikaji, " kata Ketua MUI Jambi Prof DR Sulaiman Abdullah, di Jambi, Rabu(12/12).

Menurutnya, jilbab bukan halangan bagi wanita di dalam menjalankan tugasnya, terutama yang berhubungan dengan kegiatan pertahanan dan keamanan.

Seperti diketahui, Busana Muslim dan jilbab sudah diterapkan dan dicontohkan oleh Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) di Aceh, dan terbukti tidak merusak provesionalisme serta mengganggu tugas mereka. Begitupula petugas keamanan gedung, dan anggota polisi pamong praja di Jakarta, memperbolehkan wanita menggunakan jilbab.

Sulaiman Abdullah menyakini, pakaian tersebut akan menambah simpatik masyarakat pada petugas, karena berjilbab adalah salah satu perintah agama yang harus dijalankan.

Karena itu Ia berpendapat, agar busana muslim kini juga sudah menjadi trend atau pakaian nasional yang harus disosilisasikan, bila perlu pimpinan Polri juga melakukan hal yang sama.

"Hampir di semua tempat dan kegiatan banyak wanita menggunakan jilbab, bahkan dalam olahraga sekali pun seperti main bulutangkis, bola voli dan renang, "ungkapnya.

Ia juga mengingatkan, hak wanita muslim yang paling mendasar dalam menjalankan perintah agama itu, dapat dihargai oleh seluruh pengambil kebijakan. (novel/ant)

Saturday, December 8, 2007

Juwairiyah Binti al-Harits

Juwairiyah Binti al-Harits -radhiallaahu 'anha-
(Sumber: www.alsofwah.or.id)


Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah.

Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi’.

Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya. Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat kondis seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: ”Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?”. Maka dia menjawab dengan sopan: ”Apakah itu Ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab: ”Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.

‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata:”Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:”Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.

Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.

Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum.

Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu 'anha. Beliau berkata: ”Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata: ”Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?”.

“Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab:”Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.

Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.

Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.

Wednesday, December 5, 2007

Cadar: Mana Yang Sesuai Ajaran Nabi, Wajib Atau Tidak?

(Sumber: www.syariahonline.com)

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum,

Apakah memakai cadar itu wajib? Saya bingung, sebagian ulama memfatwakan wajib sebaghian tidak. Tetapi mengacu pada sunnah Rasulullah, apakah memakai cadar bagi wanita diperintahkan atau tidak? Apabila diperintahkan maka tolong berikan secara jelas bunyi hadisnya dan apakah hadis ini Shohih. Seorang teman saya berpendapat wanita lebih baik memakai cadar dengan alasan agar tidak menarik perhatian pria. Saya sungguh tidak dapat menerima pendapat ini. Apakah wanita begitu superiornya sehingga fenomena yang terjadi hanya pria tertarik pada wanita? Apakah tidak mungkin wanita tertarik pada pria? Kalau begitu, kenapa hanya wanita yang harus ditutup auratnya? Kenapa pria lebih diberi kebebasan untuk menunjukkan bagian tubuhnya? Padahal ada juga wanita yang dapat tertarik pada pria hanya karena melihat postur tubuhnya. Saya mohon jawaban dengan sejelas-jelasnya.

Wassalmu'alaikum,
Hafidz

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.

Ketika ulama berfatwa bukan berarti tidak mengacu kepada Rasulullah SAW, sehingga terkesan sebagian orang ingin meninggalkan fatwa ulama dan hanya mengacu kepada Rasulullah SAW saja. Ini adalah pemahaman yang keliru tentang fatwa. Sebab fatwa lahir dari ijtihad dan ijtihad itu adalah upaya sungguh-sungguh dari seorang yang punya kapasitas terntentu dengan menggunakan metode yang teramat ilmiyah untuk menyimpulkan hukum syariat Islam berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan sunnah Rasulullah SAW.

Terkadang ada keterangan dari Rasulullah SAW yang sifatnya jelas, tegas dan to the point, maka kita tidak butuh lagi fatwa dan para ulama pun tidak perlu lagi berijtihad. Semua orang cukup dengan sekali baca sebuah hadits atau ayat, langsung saat itu juga tahu hukum suatu masalah. Dalam kasus-kasus yang telah jelas dan terang dalilnya, kita tidak perlu lagi mengutak-atik hukumnya.

Namun ada sekian banyak permasahalahan yang tidak ada dalilnya yang sharih, bahkan terkadang hukumnya tersamar atau tidak disebutkan secara langsung atau tidak to the point tentang suatu hal. Sehingga sangat besar kemungkinannya untuk menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda antara satu orang dengan lainnya.

Misalnya disebutkan bahwa dahulu Rasulullah SAW sering menggunakan tongkat bahkan diriwayatkan ketika khutbah pun beliau tetap berpegangan pada tongkat. Tapi apakah bisa disimpulkan bahwa memegang tongkat adalah bagian dari tata aturan dalam khutbah?

Beliau sendiri tidak secara ekspilisit menyebutkan kepada ummat bahwa bila kalian mau khutbah haruslah membawa tongkat. Nah, pada titik inilah biasanya orang berbeda pendapat dalam menyimpulkan sebuah hukum. Apalah tongkat itu bagian dari aturan berkhutbah ataukah secara kebetulan Rasulullah SAW membutuhkan tongkat untuk menopang tubuhnya, terutama di masa lanjut usianya.

Tidak jarang dalil-dalil itu bukannya tidak ada, melainkan seakan satu sama lain saling bertentangan. Dan kasus ini bukan hanya dalam satu dua kasus, melainkan ada banyak kasus yang demikian..

Yang menarik, kerepotan dalam mengambil kesimpulan hukum ini bukan hanya dialami oleh kita di masa sekarang ini saja. Bahkan dahulu para shahabat sendiri pun pernah mengalami hal yang sama. Meski bunyi petunjuk dari Rasulullah SAW sama, namun mereka memahaminya dengan cara yang berbeda. Seperti kasus shalat ashar di perkambungan Bani Quraidhah yang terkenal itu.

Maka untuk bisa memahami hukum yang terkadung dalam sebuah dalil, diperlukan metode analisa yang tajam, aktual dan terpercaya. Yang mempu melakukannya tentu orang-orang yang punya kapasitas terutama dari sisi kafaah syar`iyah. Dan kegiatan ini disebut dengan ijtihad dan hasilnya adalah fatwa para ulama. Kalau antara satu fatwa dengan yang lainnya tidak sesuai benar, tugas kita adalah meneliti kembali manakala diantara fatwa-fatwa itu yang ditunjang dengan dasar yang lebih kuat. Bukannya kembali kepada Rasulullah SAW, sebab semua pun sedang berusaha kembali kepada Rasulullah SAW. Tapi manakah yang paling bisa diterima hujjahnya dalam rangka kembali kepada Rasulullah SAW.

Dan anda tidak perlu bingung berhadapan dengan banyak fatwa yang berbeda itu, silahkan lihat dasar pijakannya dan bandingkan antara satu dan lainnya. Yang paling kuat menurut anda itulah yang bisa anda pilih. Dan salah satu indikator yang paling kuat adalah yang dipegang oleh jumhur ulama, meski bukan satu-satunya indikator.

Fatwa Tentang Cadar Dan Hujjahnya

Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.

Dalam kajian ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan dengan dalil dan hujjah yang mereka ajukan. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini secara bashirah dan wa'yu yang sepenuhnya. Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubunngan baik dengan kedua belah pihak.

1. Kalangan Yang Mewajibkan Cadar

Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.

Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain:

a. Surat Al-Ahzab : 59

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzah : 59)

Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan diantara mereka tentang makna 'jilbab' dan makna 'menjulurkan'.

Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.

Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.

b. Surat An-Nuur : 31

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya." (QS. An-Nur : 31).

Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.

Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan 'yang biasa nampak darinya' bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.

c. Surat Al-Ahzab : 53

"Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah."(QS. Al-Ahzab : 53)

Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti.

Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).

Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.

Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung.

Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan 'al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah'. Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik," (QS. Al-ahzab : 32)

d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim

Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.

"Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung tangan".

Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram.

Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib ?

Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.

e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat

Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,

"Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya".

Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.

f. Mendhaifkan Hadits Asma`

Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa, "Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini" Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.

2. Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar

Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.

a. Ijma' Shahabat

Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.

b. Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan Termasuk Aurat Wanita.

Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar). Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.

Al-Malikiyah dalam kitab 'Asy-Syarhu As-Shaghir' atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.

Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya 'al-Muhazzab', kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.

Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1: 1-6, "Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat

Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.

c. Pendapat Para Mufassirin

Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.

d. Dhai'ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya

Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau 'hijab wanita muslimah', 'Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

e. Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.

Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nuur : 30)

Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,

"Jangan lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman/dosa". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).

Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.