(Sumber: eramuslim.com)
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, dalam Al-Quran dan hadist dikatakan bahwa wanita wajib menutup auratnya dengan kriteria tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh, tidak transparan, tidak menyerupai laki-laki dan lain-lain.
Yang ingin saya tanyakan ustadz, mengenai "pakaian yang tidak menyerupai laki-laki", sekarang ini banyak dijumpai busana muslimah yang dibuat oleh perancang busana di mana bawahannya berupa celana panjang, meskipun tidak terbuat dari bahan jeans. Apakah bawahan yang berupa celana panjang yang terbuat dari bahan selain jeans tersebut boleh digunakan oleh seorang wanita muslimah? Apakah hal ini termasuk pakaian yang menyerupai laki-laki atau tidak? Jujur saja, timbul sedikit keraguan pada diri saya mengenai hal ini.
Mohon penjelasan dari Ustadz mengenai hal ini, sehingga tiada lagi keraguan yang muncul di hati saya. Atas jawaban yang ustadz berikan saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Silvana
rasio
Jawaban
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Permasalahan yang utama dalam boleh tidaknya wanita memakai celana panjang memang pada masalah tasyabbuh, atau menyerupai pakaian laki-laki.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa celana panjang apapun bentuk dan modelnya adalah pakaian milik laki-laki, jadi sudah pasti terkena masalah tasyabbuh.
Namun sebagian lagi melihat kepentingannya dan sebisa mungkin tidak menyerupai celana panjang pria. Jadi meski celana panjang, namun model dan bentuknya tidak sama. Dan itu tidak bisa dikatakan menyerupai laki-laki. Apalagi bila dikenakan untuk pakaian dalam yang bisa memberikan perlindungan kepada wanita dari banyak resiko. Tentu ini malah memberikan manfaat yang lebih utama.
Dan hadits Rasulullah SAW banyak menyebutkan bahwa Allah SWT telah melaknat laki-laki yang berdandan menyerupai wanita dan juga sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda,
Allah SWT telah melaknat laki-laki yang berdandan menyerupai wanita dan wanita yang berdandan menyerupai laki-laki.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,
Allah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita.
Menurut sebagian ulama itu, celana panjang secara `urf yang dikenal di tengah masyarakat adalah pakaian khas laki-laki. Sedangkan bila banyak wanita yang mengenakannya, tidak berarti `urf-nya telah berubah.
Tapi apa yang dilakukan oleh para wanita untuk bercelana panjang sebagai pakaian sehari-hari merupakan bentuk penyimpangan dalam berpakaian. Karena sejak awal, celana panjang adalah pakaian khas laki-laki.
Namun para ulama banyak mengatakan bahwa bila di atas celana panjang yang dipakai itu dikenakan pakaian lainnya yang khas pakaian wanita seperti rok panjang, jilbab atau abaya, maka unsur penyerupaan penampilan yang menyamai laki-laki menjadi hilang, sehingga larangannya pun menjadi tidak ada lagi.
Dengan dasar itu, para ulama banyak memfatwakan bahwa wanita boleh memakai celana panjang asalkan menjadi semacam pakaian bagian dalam. Di atas celana itu harus dikenakan pakaian luar yang menampakkan ciri khas pakaian wanita.
Dan tentu saja harus besar, luas (tidak ketat) dan menutupi seluruh tubuh sebagaimana ketentuan umum pakaian wanita muslimah. Sedangkan bila hanya semata-mata bercelana panjang saja meski bentuknya lebar dan longgar, para ulama masih banyak yang berkeberatan dengan celana model itu (seperti kulot).
Karena pada hakikatnya tetap celana panjang dan hanya modelnya saja yang sedikit berbeda. Meski demikian memang bila celana panjang itu lebar seperti kulot masih ada sebagian ulama ada juga yang membolehkannya tapi dengan catatan.
Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Saturday, February 23, 2008
Celana Panjang Wanita, Tasyabbuh yang Bagaimana?
Posted by Muslimah Berjilbab at 1:25 PM 5 comments
Labels: tanya-jawab
Tuesday, February 19, 2008
Doa
(Chairil Anwar)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
*****
Posted by Muslimah Berjilbab at 5:12 PM 0 comments
Labels: puisi
Monday, February 18, 2008
Allah Menjawab Doa Dengan Cara-Nya
(sumber: friendster bulletinboard)
Pada suatu hari, seorang wanita sedang mengajar keponakannya. Dia biasanya menyimak apa yang diajarkan bibinya, tetapi kali ini dia tidak bisa berkonsentrasi. Karena salah satu kelerengnya hilang. Tiba-tiba anak itu berkata: "Bi, bolehkan aku berlutut dan meminta Allah untuk menemukan kelerengku?"
Ketika bibinya mengizinkan, anak itu berlutut di kursinya, menutup matanya dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Kemudian dia bangkit dan melanjutkan pelajaran.
Keesokan harinya, bibinya yang takut doa keponakannya tidak terjawab dan dengan demikian melemahkan imannya, dengan khawatir bertanya: "Sayang apakah engkau sudah menemukan kelerengmu?"
"Tidak Bi", jawab anak itu, "Tetapi Allah telah membuatku tidak menginginkan kelereng itu lagi."
Alangkah indahnya iman anak itu. Allah memang tidak selalu menjawab doa kita menurut kehendak kita, tetapi jika kita tulus berdoa, Dia akan mengambil keinginan kita yang bertentangan dengan kehendakNya. Masalah terbesar dari doa adalah bagaimana membiarkannya mengalir dan mengizinkan Allah menjawab dengan cara-NYA. (Gundolo Sosro)
Posted by Muslimah Berjilbab at 5:22 PM 0 comments
Saturday, February 2, 2008
Menutupi Rambut
Oleh : Miranda Risang Ayu
(Sumber: Republika online, 24 Juni 2002)
Suatu ketika, dalam sebuah undangan makan siang sebuah perguruan tinggi asing, saya terlibat dalam perbincangan kritis dengan seorang Cekoslovakia yang mempertanyakan kebiasaan saya yang selalu mengenakan penutup rambut di hadapan umum. Stigma irasionalitas Islam tampaknya membuat kawan yang satu ini sudah didera duluan oleh prasangka buruknya sendiri.
Syukurlah seorang Inggris yang duduk di sebelahnya menengahi bahwa kebiasaan menutup rambut yang dilakukan banyak perempuan itu sesungguhnya tidak terlalu asing hingga mesti demikian tajam dipertanyakan.
"Tidak hanya orang Islam yang menutup rambutnya," sergah rekan Inggris ini. "Orang-orang Yahudi modestinik juga melakukan itu ...."
Meskipun telah diselamatkan dari keterpojokan, semula saya tidak tahu siapa Yahudi modestinik itu hingga penerbit Mizan mengirimkan sebuah buku karya Wendy Shalit kepada saya. Konsep modestinik dalam buku adalah konsep yang membahas sebuah etika yang percaya bahwa perempuan adalah eksistensi feminin yang unik; subjektivitasnya justru semakin mengemuka, baik bagi dirinya maupun lingkungan sosialnya justru karena ia tersembunyi. Menyembunyikan diri, bagi perempuan, adalah proses meneguhkan eksistensinya yang khusus, dicari, dan tentu saja bagi perempuan itu sendir: yang berbeda dan terpisah dari semua hal yang jelas di hadapannya.
Tetapi, seperti Shalit juga menyatakan bahwa proses penemuan diri seperti ini mirip proses penemuan "balita yang sedang main sembunyi-sembunyian", penyembunyian bukan cara yang cukup "matang" untuk bereksistensi jika itu dilakukan secara antisosial dan berlebihan. Sebaliknya, penyembunyian diri adalah bahasa sosial untuk menyatakan bahwa, "Saya adalah perempuan; saya adalah eksistensi yang unik karena memiliki sesuatu yang amat pribadi, rahasia, dan bermakna. Ketertutupan membuat saya berharga tinggi, aman untuk dimiliki, dan dapat mengamankan diri saya sendiri."
Etika ini, ketika diterjemahkan dalam hubungan dengan lawan jenis, menjadi etika yang santun dan paralel dengan nilai-nilai Islam. Sekalipun sudah bertunangan, misalnya, etika modestinik tidak memperkenankan sepasang lelaki dan perempuan saling menyentuh. Ketika pasangan ini telah menikah, terjadinya persentuhan di antara mereka ditandai dengan turunnya penutup rambut pihak perempuan. Penutup rambut ini adalah tanda "kerendahatian" seorang perempuan, yang sesungguhnya berharga tinggi dan cukup dengan dirinya sendiri, untuk secara fisik, menyerahkan dirinya untuk menjadi milik khusus dari satu orang yang paling berhak.
Menariknya, dalam konteks Islam, turunnya penutup aurat ke sekujur tubuh seorang perempuan sesungguhnya bukan saja tanda dari sebuah komitmen sosial; seorang Muslimah saya kira tidak berjilbab karena disentuh secara fisik oleh pasangannya, tetapi karena disentuh secara spiritual oleh Yang Maha Cahaya. Tetapi, persentuhan ini kemudian diterjemahkan secara indah dalam bahasa sosial hingga aman pula diri, pasangan, dan lingkungan pergaulannya.
Muslimah yang telah berjilbab, karenanya, sering kemudian dipercaya sebagai figur penyimpan dan penebar kehangatan dan rasa aman. Kepercayaan ini kemudian menjadi tuntutan. Logis dan mulia memang. Tetapi, saya hanya sering bertanya sendiri; jika pun seorang perempuan memang tercipta untuk memberi kehangatan dan rasa aman, siapa yang harus menjadi transfigurasi Ilahiah baginya untuk menyalakan bara di dalam hatinya ketika rawan?
--
Posted by Muslimah Berjilbab at 8:04 AM 1 comments
Labels: artikel