Oleh: Akmal Sjafril, ST.
Sumber: warnaislam.com, Rabu, 08 April 2009
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Belakangan, nama Solidaritas Perempuan mencuat. Diantara seruan-seruan untuk golput dan tidak golput menjelang Pemilu 2009, organisasi yang satu ini mengeluarkan seruan yang cukup unik : jangan pilih partai yang pro-poligami!
Masalah menyikapi poligami memang selalu erat kaitannya dengan aliran sekularisme-liberalisme. Bagaikan sebuah aturan tak tertulis, siapa pun yang mau bergabung dalam barisan sekuler-liberal mestilah anti-poligami. Tapi dalam beberapa kasus, terjadi juga pertentangan di kalangan mereka. Masdar F. Mas’udi, misalnya, namanya tenggelam diantara rekan-rekan liberalisnya karena melakukan poligami. Demikian pula Ade Armando, yang melakukan dua ‘dosa’ sekaligus dalam pandangan kaum liberalis, yaitu melakukan poligami dan mendukung UU Pornografi.
Posisi kaum feminis dalam isu pornografi memang unik. Mereka tidak terima jika kaum perempuan dituduh sebagai oknum yang dengan sengaja memancing hawa nafsu kaum lelaki. Kalau ada yang mengatakan bahwa pornografi harus dilarang demi melindungi perempuan, maka mereka akan menuduh bahwa kita telah bertindak tidak adil karena justru menyalahkan korban, bukan pelaku kejahatannya. Seolah-olah, kalau ada perempuan yang diperkosa, maka kubu anti-pornografi akan menyahut: “Rasain! Siapa suruh ngumbar aurat sendiri!”
Tentang Perlindungan
Teman saya pernah bertanya: mengapa seorang lelaki bisa menikah dengan keputusan sendiri, sedangkan perempuan harus dinikahkan oleh walinya? Apakah ini berarti perempuan tak mampu membuat keputusan sendiri?
Saya ingat, dalam pelajaran Biologi SMA dulu, ada makhluk bersel satu yang jenis kelaminnya baru diketahui ketika ia kawin. Pihak yang aktif itulah yang jantan, sedangkan yang pasif dianggap betina. Sistem klasifikasi yang sekilas nampak konyol ini sebenarnya tidak terlalu naif, mengingat dalam kenyataannya memang demikianlah adanya. Jenis kelamin jantan / laki-laki memang lebih aktif mencari pasangan. Jenis kelamin betina / perempuan cenderung pasif, dan kalaupun dibilang aktif, maka hanya terbatas pada usaha menarik perhatian lawan jenisnya (misalnya pada berbagai spesies burung yang memamerkan bulu-bulu indahnya). Meskipun kaum feminis selalu menolak tuduhan bahwa kaum perempuan gemar memancing syahwat lelaki, namun sebagian iklan produk-produk kecantikan di televisi menunjukkan fakta sebaliknya.
Keaktifan laki-laki ini membawa kita pada konsekuensi berikutnya. Laki-laki bukan hanya memiliki fitrah untuk berpasang-pasangan, tapi juga untuk secara aktif dan sistematis mencari pasangan. Kalau sudah pasang target, tentunya setelah itu ada perencanaan dan strategi. Saking ambisiusnya, kadang segala cara pun dihalalkan, mulai dari rayuan gombal sampai pada penggunaan jasa paranormal dan dukun pelet. Ini kenyataan!
Repotnya, karena kecenderungannya adalah bersikap pasif (dan aktif sebatas usaha-usaha menarik perhatian lawan jenis), kaum perempuan jauh lebih tidak siap daripada lelaki dalam hal mencari pasangan. Dengan trend masa kini yang membuat perempuan semakin terobsesi dengan kecantikan fisiknya sendiri, maka kaum lelaki pun makin mudah menyusun strateginya. Yang lelaki nggombal, yang digombali pun ternyata senang.
Lingkaran setan akan terjadi ketika perempuan semakin dimabuk oleh gombalisasi sang lelaki. Senang fisiknya dipuja-puji, maka makin banyaklah yang diperlihatkan. Win-win solution! Ketika syetan mampir dan membisikkan godaan di dalam dada, maka perzinaan adalah opsi berikutnya.
Tentunya kita tidak perlu berpihak pada para lelaki gombal, namun, kalau menggunakan akal sehat, kita juga tak boleh mengabaikan fakta bahwa perempuan memang cenderung lebih vulnerable dalam urusan mencari pasangan. Kita sering mendengar kisah tentang lelaki yang selalu manis ketika pacaran, tapi tiba-tiba ringan tangan ketika sudah menikah. Inilah contoh perempuan yang tertipu mentah-mentah oleh sikap lelaki yang tengah mendekatinya secara sistematis (tentunya kita berempati terhadap mereka yang tertipu). Ini adalah fakta yang dapat kita jumpai sehari-hari, bukan khayalan semata.
Tentang Harga Diri
Dalam aksi penolakan terhadap poligami, isu sentral yang dikemukakan adalah seputar harga diri. Konon, poligami itu merendahkan perempuan. Padahal poligami yang benar itu tidaklah ditutup-tutupi; artinya, seorang istri adalah seorang istri, tidak peduli istri keberapa. Memperlakukan istri pertama dan istri kedua, ketiga, dan keempat, haruslah adil. Islam tidak membenarkan diskriminasi perlakuan dalam praktek poligami.
Ironisnya, kaum feminis justru tak pernah mengoreksi kelakuan perempuan yang merendahkan kaumnya sendiri. Jika isu utama adalah harga diri, maka seharusnya mereka pun mendemo Maria Eva, atau perempuan-perempuan simpanan para pejabat, atau para pelacur yang menjajakan kehormatannya dengan harga yang murah. Oknum-oknum semacam inilah yang merongrong kaum perempuan sehingga harga dirinya jatuh.
Sikap kaum feminis terhadap tindakan pamer aurat memang sangat mengherankan. Mereka seolah tidak mau tahu pada kenyataan bahwa lelaki tak pernah menghormati perempuan yang mengumbar auratnya sendiri. Bagi para lelaki hidung belang (yaitu yang senang dengan sajian aurat seperti itu), perempuan hanya barang. Mendapatkan kesuciannya adalah sebuah kompetisi yang akan dibangga-banggakan bersama teman-temannya. Ini rahasia umum, dustalah siapa pun yang menyangkalnya! Siapakah yang merendahkan harga diri perempuan: yang semacam Dewi Persik dan Sarah Azhari, atau yang seperti Neno Warisman dan Yoyoh Yusroh? Manakah yang lebih dihormati lelaki: perempuan yang mencari uang dari goyang erotis dan pose seksi, atau yang hidup terhormat sebagai pemimpin di rumah tangganya? Jika ukurannya adalah kehormatan, dan bukan sekedar jumlah bayaran yang diterima, maka kedua kubu ini memang sangat tidak sebanding.
Dalam kasus Playboy di Indonesia, suara kaum feminis justru tidak terdengar. Padahal, bos jaringan internasional majalah Playboy adalah lelaki yang telah menginjak-injak martabat perempuan hingga ke derajat yang paling rendah. Hugh Martson Hefner, kelahiran tahun 1926, dikenal memiliki banyak kekasih di luar istrinya sendiri. Ini dilakukannya secara terbuka, dan seluruh dunia mengetahuinya. Para lelaki hidung belang menganggapnya sebagai idola, karena bisa mengencani banyak perempuan tanpa ada yang protes. Pada tahun 1999 saja, menurut catatan Wikipedia, Hefner mengencani tujuh perempuan sekaligus. Jangan tanya permainan seks macam apa yang sudah terjadi di rumahnya. Baginya, mendapatkan perempuan adalah perkara mudah saja, asal ada kesepakatan harga. Apakah ada tokoh lain di masa kini yang lebih merendahkan derajat perempuan?
Nampaknya gerakan feminisme di masa kini justru lebih banyak salah alamatnya, karena mendompleng gerakan sekularisme-liberalisme, yang sebenarnya justru sangat merendahkan perempuan. Selama kaum feminis belum memahami kodrat perempuan yang sesungguhnya, dan mengakui fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di dunia ini, maka feminisme takkan pernah benar-benar memiliki andil dalam mengangkat derajat kaum perempuan.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Monday, July 27, 2009
Solidaritas Perempuan (?)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment