(Sumber: KotaSantri.com)
Nama saya Nakata Khaula. Saya seorang pelajar dari Jepang yang menimba ilmu di Perancis. Sebelum saya berkunjung ke sebuah masjid di Paris, sebetulnya saya tidak tertarik sama sekali dengan Islam, termasuk tentang shalat dan penggunaan jilbab. Namun setelah mendengarkan khutbah di sebuah Masjid di Paris, tentang makna pemakaian jilbab pada wanita, saya mulai tertarik dengan Islam dan jilbab.
Ketika saya kembali ke pangkuan Islam, agama asli semua manusia, perdebatan sengit tengah terjadi di sekolah-sekolah Perancis tentang jilbab di kalangan pelajar perempuan terutama keturunan imigran Timur Tengah hingga beberapa waktu lamanya. Saya melihat bahwa sebagian orang menganggap jilbab adalah bagian dari budaya yang dapat dilepas jika kita berada di dunia Barat dan dipakai ketika kita berada di negara Muslim. Ini salah besar! Seorang muslim bukanlah bunglon yang harus menyesuaikan dirinya dimana ia berada; menanggalkan jilbabnya dan mengganti prinsipnya dalam berpakaian. Jilbab adalah pakaian, sama halnya dengan orang Barat menggunakan jaket dimana terserah mereka akan menanggalkannya atau tidak.
Tahap pertama, saya hanya mengenakan jilbab kecil yang saya gunakan setiap saya memasuki masjid. Kemudian saya merasakan kenyamanan dan menggunakannya tiap hari, kapan saja dan dimana saja. Di Paris, saya menggunakan jilbab modis yang ala kadarnya, sekedar penutup kepala.
Dua pekan sesudah saya masuk Islam, saya pulang ke Jepang untuk menghadiri pernikahan keluarga. Setelah itu saya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan sastra Perancis, dan sebagai gantinya saya memilih kajian Arab dan Islam. Ternyata, Jepang masih awam perihal Islam dan Muslim. Kembalinya saya ke Jepang membuat saya nampak dikucilkan. Herannya, ini justru membuat keislaman saya semakin meningkat dan saya semakin bersemangat untuk mendalami Islam.
Langkah pertama yang saya lakukan begitu tiba di Jepang adalah membuang pakaian lama saya yang ketat dan buka-bukaan. Kemudian, bersama teman saya, kami membuat rancangan pakaian sederhana yang mirip dengan pakaian Pakistan. Mulailah saya mengenakan pakaian Muslim Pakistan, kemana saya pergi. Saya juga tidak merasa terganggu dengan pandangan orang yang tertuju kepada saya.
Sesudah enam bulan di Jepang, hasrat untuk mempelajari Islam dan Arab semakin meningkat dan akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Kairo. Disana, pakaian saya yang tergolong sangat sopan di Jepang menjadi biasa-biasa saja atau malah sedikit ketat di Mesir. Seorang saudari Muslim di tempat dimana saya tinggal, mengajarkanku untuk berpakaian yang lebih pantas. Tadinya saya menganggap wanita itu berlebihan karena memakai penutup wajah (cadar). Akan tetapi setelah saya bercermin, saya sadar bahwa saya yang kelihatan aneh, karena memakai jilbab dengan pakaian yang tidak pantas untuk dipakai diluar rumah.
Saya pun membeli beberapa bahan baju dan membuat pakaian wanita dalam ukuran yang lebih panjang, yang menutup sempurna bagian pinggul ke bawah dan tangan. Saya bahkan siap untuk menutup wajah saya, meski saya tahu bahwa menutup wajah bukan kewajiban dalam ajaran Islam, melainkan sebagai tradisi etnis semata. Dulu sebelum mengenal Islam, saya begitu akrab dengan pakaian model celana yang memungkinkan saya bergerak aktif. Namun, tak disangka, long-dress yang saya pakai di Kairo ini begitu nyaman dipakai dan saya masih tetap bisa aktif, bahkan lebih anggun dan santai.
Dalam budaya Barat, warna hitam adalah warna favorit untuk acara makan malam, karena menguatkan kecantikan pemakainya. Saya melihatnya juga demikian ketika sekumpulan saudari-saudari baruku di Kairo, berpakaian hitam. Saya pun juga demikian. Namun, ketika saya kembali ke Jepang, saya sedikit demi sedikit menyamarkan pakaian hitam dan tidak terlalu sering memakainya. Saya menganggap bahwa setiap budaya memiliki cirinya sendiri. Di Jepang, memakai pakaian hitam akan sedikit mengejutkan. Kemudian, saya membuat beberapa pakaian putih dan beberapa warna yang cerah. Ternyata, orang Jepang lebih mudah menerima warna-warna ini dan mengira saya seorang suster Buddha.
Seringkali saya ditanya mengenai alasan saya mengenakan baju yang tidak biasa dipakai banyak orang. Saya lalu menjelaskan bahwa saya memakai pakaian seperti ini untuk kenyamanan diri saya. Tubuh yang tersembunyi dalam balutan baju yang longgar dan tertutup akan membuat saya jauh dari godaan pria yang tidak tahan godaan. Dan sering pula, orang yang menanyakan hal itu menjadi tertarik dengan Islam dan ingin bercakap-cakap lagi tentang Islam. Dengan sekejap jilbab ternyata mampu membuat orang secuek orang Jepang terpancing keingintahuannya tentang Islam.
Awalnya, ayah saya sempat cemas dengan keislaman diri saya. Pakaian longgar dan kepala tertutup rapat itu sempat membuatnya khawatir. Namun setelah saya jelaskan bahwa saya melakukan hal ini dengan senang hati, ia mulai mengerti dan menghargai pilihan saya. Saya sendiri justru merasa tidak nyaman ketika melihat adik perempuan saya hanya memakai celana pendek.
Di Jepang, perempuan hanya memakai make up saat keluar rumah dan sedikit sekali memperhatikan penampilan mereka ketika di rumah sendiri. Padahal, Islam mengajarkan agar perempuan selalu cantik di depan suaminya dan tidak berdandan terlalu mewah ketika keluar dari rumah. Ini sebuah tatanan yang indah dan anggun, sehingga melanggengkan hubungan suami istri di dalam kehidupan rumah tangga. (diedit dari fosmil.org) (wida)
Sunday, September 7, 2008
Nyaman Dengan Berjilbab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment