Oleh: Prembayun Miji Lestari, S.S
(Sumber: www.eramuslim.com)
Wanita dalam tinta sejarah tidak akan pernah kering disebut dalam pembentukan sebuah peradapan dunia. Dari jaman dahulu kala hingga detik sekarang wanita menjadi buah pembicaraan yang laris manis, dari jaman Hawa sampai jaman Mega, wanita menjadi soroton utama yang melegendaris.
Flash back, kembali membuka memori kita pada sejarah lama. Wanita dulu terkenal dengan kelemah-lembutan dan keibuannya, bersifat pemalu, terkungkung adat tidak memiliki sebuah ‘kebebasan’ karena terpasung oleh sebuah tradisi ‘pingitan’ yang menyebabkan wanita terbelakang dalam pemikiran. Wanita terperosok dalam ‘penjara’ yang dibuat oleh para pendahulunya, kekolotan dan keluguan menjadi ikoniknya. Ya begitulah kurang lebih gambaran wanita jaman lama.
Coba kita komparasikan dengan wanita sekarang. Atas nama emansipasi, banyak wanita yang rela meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu peradapan demi sebuah karier. Memang tak ada yang melarang wanita berkarier, tapi perlu diperhatikan konsep norma yang ada. Wanita sekarang banyak yang menanggalkan atribut ‘malunya’. Sudah bukan barang langka lagi, kian hari emansipasi kian mirip dengan liberalisasi dan feminisasi. Banyak wanita yang terjebak pada pemikiran modern dan liberal, wanita sejajar dengan pria dalam apapun. Pemikiran barat (westernisasi) menjadi parameter keberhasilan wanita sekarang. Fenomena itu dapat kita temukan setiap saat dimanapun dan kapanpun. Di televisi banyak sekali kita temukan wanita sebagai obyek komersil yang menguntungkan para ‘pecundang materi’, bisa kita lihat salah satunya adalah Inul Daratista dengan goyangan erotisnya memberikan sebuah ‘hiburan baru’ bagi masyarakat.
Dampak yang terjadi, banyak anak kecil yang menirukan aksi ngebornya tanpa mempedulikan adanya rasa ewuh dan kesopansantunan. Rasa malu sudah tercerabut dari nurani. Eksploitasi menjadi kepentingan disana, tanpa disadari secara tidak langsung oleh pelakunya. Modernisasi, apologinya. Itu baru sebagian kecil sebuah deskripsi wanita sekarang. Wanita kini telah maju ke belakang. Artinya secara outlook maju, tetapi pemikiran mengalami sebuah penurunan kemajuan. ‘Kemajuan’ yang terjadi dianggap sebagai bentuk emansipasi atau modernisasi.
Ya begitulah kondisi Indonesia. Kembali pada sejarah lama, kita tengok perjalanan Kartini. Kartini dalam kumpulan suratnya: Door Duisternis Tot Licht, yang diartikan Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armin Pane, dapat dijadikan salah satu tumpuan dalam mencermati sebuah pertarungan ideology yang terjadi saat ini. Setiap manusia memiliki derajat yang sama dan berhak mendapat perlakuan sama, Kartini mengenal prinsip tersebut melalui semboyan Revolusi Perancis Liberty, Egalite dan Fraternite (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan), yang pada dasarnya itu adalah prinsip Islam. Waktu itu terjadi adanya diskriminasi perlakuan karena adanya diskriminasi keningratan, semakin tinggi keningratan seseorang maka semakin tinggi pula rasa hormat manusia lain kepadanya. Hal yang terjadi saat sekarangpun tidak jauh beda, status sosial masih menjadi pertimbangan yang sulit dihapuskan dalam memperlakukan orang lain. Kartini dalam sebuah suratnya (18 Agustus 1899) kepada Stella mengatakan bahwa “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlaq). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah orang yang beramal sholeh, orang yang bergelar Graaf atau Baron?”
Pesan moral yang terkandung sangat dalam dari petikan surat tersebut. Ada beberapa hal yang bisa diambil dari petikan surat tersebut.
Pertama, Kartini secara tidak langsung meletakkan dasar agama dalam petikan surat tersebut, artinya agama hendaknya menjadi perhatian utama dalam kehidupan wanita khususnya dan manusia umumnya. Faktor fikroh dan akhlaq yang pada dasarnya bermuara pada agama menjadi penentu utama dalam kehidupan manusia (terkhusus bagi wanita). Dengan pegangan agama yang kuat, wanita akan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai pergolakan hidup, godaan dan fitnah.
Kedua, maju dan tidaknya sebuah peradaban tidak hanya ditentukan oleh banyaknya aplikasi westernisasi/budaya barat, tetapi substansi maju yang sesungguhnya adalah dari sisi ideologi atau pemikiran. Hal tersebut diperkuat dengan surat Kartini yang ditujukan kepada Ny. Abendanon 27 Oktober, 1902, yang berbunyi: “…. Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?. Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradapan?” Artinya bahwa budaya barat bukanlah menjadi parameter keberhasilan dalam membentuk sebuah peradapan baru yang bermutu.
Ketiga, wanita dalam kehidupannya dituntut untuk lebih jeli dan peka dalam menentukan sebuah pilihan, moral dan religi hendaknya menjadi tumpuannya.
Keempat, wanita harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita ‘yang sesungguhnya’. Hendaknya wanita berorientasi dan berpikir jauh ke masa depan, sehingga generasi-generasi yang terlahir dari rahimnya menjadi manusia unggulan yang mampu membentuk sebuah peradapan baru yang berkualitas.
Kelima, untuk memiliki pemikiran yang berperadapan tinggi dibutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang sebagaimana proses yang telah dialami oleh wanita pejuang kita ; Kartini. Kita ingat kembali pesan moral yang disampaikan dalam surat Kartini tentang perjuangan. “Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu?” Perjuangan tidak akan pernah berhenti untuk mewujudkan sebuah mimpi , cita-cita dan kepentingan yang sejati dan hakiki. Penderitaan akan senantiasa mengiringi sebuah perjuangan, kepada wanita: ‘SELAMAT, MARI KITA TETAP BERJUANG!’
Keenam, wanita memiliki bargaining position yang tinggi dalam membentuk sebuah peradaban baru. Untuk membentuk manusia beradab, harus dimulai dari seorang ibu selaku pendidik manusia pertama.
Ketujuh, Kartini yang merupakan salah satu representasi dari wanita memiliki keberanian untuk mendobrak adat yang pada dasarnya bertentangan dengan HAM dan Islam. Sebuah pemikiran maju yang diungkapkan oleh wanita produk jaman dulu. Luar biasa. Bagaimana dengan pemikiran wanita sekarang yang mengaku ‘berperadapan maju’ dalam memaknai sebuah modernisasi?
Sebagai penutup dalam tulisan ini, terkhusus bagi saudariku para kaum wanita, pertarungan ideologi dalam kehidupan kita akan senantiasa bergolak. Perlu kita pikirkan dan perhitungkan ketika pilihan sebuah ideologi itu telah menjadi pilihan bagi kita. Wanita yang cerdas tidak belajar sejarah an-sich, tetapi dari sejarah dia belajar. Kembali ke fitroh menjadi wanita sepenuhnya, sebuah bargaining yang perlu kita perhatikan agar menjadi ‘manusia sepenuhnya’. Pilihan adalah sebuah konsekuensi, gimana para ibu dan calon ibu? Siap meretas sebuah perdapan baru?
*) Penulis adalah Mahasiswi S2 Progdi Linguistik UNS dan aktivis KAMMI Daerah Solo
Thursday, November 20, 2008
Kado Bagi Wanita, Bertolak dari Pertarungan Ideologi Kartini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment