Wednesday, April 25, 2007

Jilbabku...

(Sumber: http://coretanimot.blogspot.com)


"Kenapa kamu pake jilbab?"

Berbagai variasi aku menjawab pertanyaan itu, tapi intinya aku mengatakan bahwa itu sebagai rasa terimakasih pada Allah SWT yang telah mengkaruniakan aku segala macam nikmat yang begitu banyak. Alasan itu sebagai perumpamaan atas alasan yang belum aku dapatkan jawabannya secara pasti kenapa aku tergerak memakai pakaian yang selalu menginspirasikan setiap aku memilih pakaian. Hal itu sudah sejak lama berlangsung, sejak dari SMA, hingga kemudian Allah memberi kekuatan untuk mendobrak keraguanku memakainya.

Berbagai persepsi orang menilai keberadaan aturan berpakaian yang membatasi pandangan mata itu. Semua orang bebas berpendapat dan menilai berdasarkan pandangan masing-masing. Itu hak asazi. Hak setiap orang, sebagaimana aku berhak menentukan bagaimana caraku berpakaian. Perbedaan sudut pandang tidak seharusnya memisahkan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan Allah dengan berbagai macam perbedaan, dan itulah yang membuat hidup jadi lebih bergairah dan dinamis. Perbedaan dari sisi mana manusia melihat tidak sepatutnya kemudian bersitegang saling memaksakan kehendak bahwa pandangan merekalah yang benar. Apakah memandang satu sisi mata uang membuat anda bisa memandang sisi lain dari mata uang itu? Kita tidak bisa memandang dua sisi secara bersamaan, kita hanya bisa melihat apa yang ada didepan kita. Hanya Allah SWT yang mampu melakukan itu.

Setelah mengalami berbagai konfrontasi baik secara langsung maupun tidak langsung, tersamar dan yang nyata, aku menyadari bahwa pakaian kebesaran itu adalah bentuk nyata dari perlindungan Allah terhadap wanita Islam. Perlindungan dari pandangan yang sia-sia yang secara sadar atau tidak dapat memberikan dampak buruk bagi wanita itu sendiri maupun bagi orang-orang disekitarnya. Dampak itu bisa secara langsung berupa fitnah dan mengundang orang untuk membicarakan tentangnya maupun dampak yang secara terus menerus berakumulasi menjadikan karakter manusia-manusia dengan degradasi moral yang kian menurun, titik kritisnya terjadi pelecehan seksual dan beragam penganiayaan yang berobjek wanita.Jilbab mampu meredam keliaran seperti itu. Jilbab meneduhkan dan mendamaikan gejolak hati dan imajinasi manusia yang tak terbatas ruang dan waktu. Jilbab mengagungkan derajat wanita sedemikian tinggi, sampai-sampai hanya suamilah yang berhak melihat kecantikan dan keelokan seorang wanita.

Allah melindungi wanita serapat mungkin dari celah-celah yang menyusupkan kerusakan moral bagi wanita itu sendiri dan orang-orang disekitarnya. Semua wanita diciptakan indah dan cantik di mata setiap laki-laki. Tanyalah pada setiap laki-laki, jika mereka mengatakan ya, maka ia seharusnya mengerti bahwa jilbab itu adalah pakaian paling indah untuk wanita. Jika ia laki-laki yang mencintai Allah sedemikian dalam, maka ia sungguh mengerti bahwa Allah sangat menyayangi wanita, lebih senang menciptakan wanita, menjadikan wanita sebagai perhiasan surga dan memberikan pakaian kebesaran untuk mereka. Subhanallah… (alderosa)

Tuesday, April 17, 2007

Melihat Calon Isteri Tanpa Jilbab

Tanya-Jawab
(Sumber: eramuslim.com)

Pertanyaan:

Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Pak Ustadz Apakah boleh Calon Suami melihat Calon Isterinya tanpa menggunakan Jilbab? Adakah dalil yang mendukung?Mohon segera dijelaskan. Syukron. Wassalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

NN

Jawaban:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Islam tidak mencela apalagi melarang seorang laki-laki yang menginginkan kriteria tertentu atas calon isterinya, bahkan kepada hal-hal yang bersifat fisik sekalipun. Katakanlah misalnya, seorang laki-laki ingincalon isterinya punya jenis rambut tertentu, atau warna kulit tertentu, atau tinggi tertentu, bahkan jenis suara tertentu.

Semua keinginan itu adalah hal yang wajar dan tidak bisa divonis sebagai sikap mendahulukan hal-hal fisik ketimbang non fisik.

Sebab di antara salah satu pertimbangan yang diterima syariat Islam tentang memilih calon isteri adalah masalah fisik, yaitu masalah kecantikan. Selain masalah keturunan, kekayaan dan agama tentunya.

Yang dilarang adalah mengalahkan pertimbangan sisi agama oleh sisi pertimbanan sisi kecantikan saja. Itulah makna fazhfar dizatid-diin yang sebenarnya. Bukan berarti seorang diharamkan bila secara fitrah menginginkan punya isteri yang cantik menurut kriteria subjektif darinya.

Karena itulahsyariat Islam memberikan kebolehan bagi seorang laki-laki untuk melihat secara fisik wanita yang akan menjadi calon isterinya. Maka demikianlah disebutkan dalam semua kitab fiqih, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan seorang laki-laki melihat seorang wanita adalah saat berniat untuk menikahinya. Sebagaimana yang pernah Rasulullah SAW anjurkan kepada seorang shahabatnya yang berniat hendak menikahi seorang wanita.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اَلنَّبِيَّ قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً: أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا? " قَالَ: لَا. قَالَ, " اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang menikahi seorang wanita, "Sudahkah kamu melihatnya?" Dia menjawab, "Belum!." Nabi SAW bersabda, "Pergilah dan lihatlah." (HR Muslim)

وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا, فَلْيَفْعَلْ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Jabir ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila seorang di antara kalian melamar wanita, bila mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim menshahihkannya)

Namun kebolehan untuk melihat calon isteri tidak menggugurkan kewajiban menutup aurat bagi pada wanita. Hukum kewajiban menutup aurat bagi seorang wanita dan keharaman terlihat auratnya itu oleh laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya, tetap eksis dan tidak bisa digugurkan begitu saja. Apalagi hanya karena kepentingan calon suami yang ingin melihat keadaan fisik calon isterinya.

Hukum menutup aurat bisa gugur hanya dengan hal-hal yang bersifat darurat secara syariah, misalnya untuk kepentingan pengobatan yang secara akal manusiawi tidak atau belum ditemukan cara lain. Dalam kasusseorang ibu yang terpaksa harus melahirkan dengan operasi sesar karena ada kelainan dalam proses persalinan, sedangkan dokter yang ada hanya laki-laki, maka saat itu demi menolong nyawa keduanya, sebagian aurat yang terkait dengan operasi itu boleh sementara terlihat.

Sebaliknya, kalau hanya untuk calon suami yang 'penasaran' ingin melihat secara langsung keadaan fisik calon isteri, hukumnya haram. Dan rasa 'penasaran'nya itu tidak termasuk ke dalam kategori darurat yang menggugurkan keharaman.

Sehingga titik temunya ada pada kebolehan melihat wajah dan kedua tapak tangannya. Di luar keduanya, tetap haram untuk dilihat secara langsung.

Lalu bagaimana dengan kepentingan calon suami? Apakah dia harus 'membeli kucing dalam karung'? Bagaimana kalau setelah akad nikah, suami kecewa dengan keadaan fisik isterinya? Bukankah hal itu tidak adil?

Untuk itu marilah kita dudukkan masalahnya dengan jelas. Sebenarnya yang dilarang hanyalah melihat secara langsung. Sedangkan bila keadaan fisik seorang calon isteri diceritakan oleh orang yang berhak dan tsiqah, hukumnya tidak dilarang.

Yang secara penglihatan langsung dibolehkan memang hanya wajah dan kedua tapak tangan, tetapi sebenarnya 'fasilitas' ini sudah sangat sarat memberi informasi.

Misalnya informasi tentang jenis kulit, kehalusannya serta warnanya, sudah pasti sangat jelas dan terpenuhi. Karena wajah dan kedua tapak tangan itu ada kulitnya dan boleh dilihat. Demikian juga dengan ukuran tinggi tubuh, boleh dilihat secara langsung. Juga suaranya yang memang bukan aurat, boleh didengar secara langsung. Raut wajah yang halal dilihat sudah sangat menggambarkan kecantikan seorang wanita, karena pusat kecantikan fisik wanitamemang ada di wajah.

Bahkan buat sebagian orang yang ahli, cukup dengan melihat telapak tangan bagian dalam, bisa didapat banyak informasi yang lumayan lengkap, misalnya tentang kerajinannya dalam bekerja, kemampuannya dalam memberi keturunan dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan bentuk fisik rambut? Bukankah buat sebagian laki-laki, jenis rambut, bentuk serta modelnya, cukup menjadi bahan pertimbangan?

Rambut adalah aurat wanita, haram dilihat oleh laki-laki asing (ajnabi), termasuk calon suami. Maka untuk kepentingan itu, informasinya boleh disampaikan dengan jalan diceritakan. Baik secara langsung oleh yang bersangkutan, atau oleh orang lain yang tsiqah. Misalnya oleh keluarganya, atau sesama wanita. Buat mereka yang ahli, cukup diceritakan ciri fisiknya, sudah lumayan lengkap dan bisa tergambar.

Pernahkah anda melihat ahli lukis wajah yang bekerja untuk kepolisian? Dia mampu melukis ulang wajah seorang penjahat tanpa pernah melihat langsung wajahnya, cukup dengan mendengarkan keterangan dari orang lain yang pernah melihatnya. Hasilnya, hmm not to bad!. Buktinya banyak penjahat tertangkap setelah polisi mengedarkan lukisan wajahnya.

Tapi semua informasi tadi tidak akan didapat bila sesorang hanya melihat pas poto yang berukuran 2x3 cm, seperti yang sering terjadi dalam urusan ta'aruf para aktifis dakwah. Padahal Rasulullah SAW telah membolehkan untuk melihat secara langsung, bahkan sampai menganjurkan. Maka berta'aruf hanya lewat pas photo justru tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Paling tidak, sekian banyak informasi yang merupakan hak seorang calon suami, tidak akan didapat dengan mudah. Apalah arti selembar bio data dan sebuah pas foto yang tidak berwarna?

Kesimpulan:

Maka melihat calon isteri secara fisik hukumnya sunnah, karena memang demikianlah anjuran dari nabi kita SAW. Namun hanya boleh terlihat wajah dan kedua tapak tangannya, karena selain dari keduanya, merupakan aurat yang haram dilihat. Tapi kalau diceritakan, hukumnya boleh, bila dilakukan dengan memenuhi aturan syariah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc

Thursday, April 5, 2007

Jilbab: Citra Intelektual dan Spiritual

Oleh: Retno W. Wulandari

Fenomena jilbab akhir-akhir ini semakin marak. Gelombang fenomena ini semakin terasa pada kampus-kampus yang berkonotasi pada kam-pus "sekuler" atau "tidak Islami". Dalam satu sisi pandang, jelas ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Karena, paling tidak ini menjadi suatu cermin korektif betapa kesadaran akan penghayatan keberagamaan secara lebih mendalam menjadi suatu kebutuhan yang esensial dalam menghadapi arus zaman sekarang ini.
Berjilbab, dalam tatapan ekologis dan kosmologis, merupakan suatu perlawanan dan penolakan terhadap perkembangan budaya asing yang mewabah di negeri ini. Dengan berjilbab, ada semacam proses identifikasi untuk menjadi Muslimah sejati.
Sementara itu dalam perspektif Islam Tradisional -yang pemikirannya dikembangkan secara jernih oleh Sayyid Hussain Nashr- wanita berjilbab seolah-olah memberontak terhadap modernisme yang memisahkan kaum Muslim dengan Yang Pusat Yang Ilahi. Lebih jauh Nashr menulis dalam Islam Tradisi (1994 : 15): "Islam tradisional menganjurkan wanita berpakaian yang sopan yang umumnya mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya. Hasilnya adalah sejajaran
pakaian wanita dari Maroko sampai Malaysia, seba-gian besar pakaian ini sangat indah dan memantulkan femininitas sesuai dengan etos Islam, yang mene-kankan keselarasan dengan sifat materi dan karena-nya maskulinitas kaum pria dan feminitas kaum wa-nita. Kemudian datang perubahan-perubahan moder-nis yang membuat para wanita menanggalkan jilbab mereka, menampakkan rambut mereka dan menge-nakan pakaian Barat, paling tidak di kawasan dunia Islam."
Penulis The Tao of Islam, Sachiko Murata, men-jelaskan dengan sangat menarik perihal kepentingan kaum wanita Muslimah menutupi aurat mereka. Tulisnya, "Keindahan dan kecantikan Tuhan termanisfestasi dalam diri wanita. Semakin wanita tersebut menjaga keindahan dan kecantikannya, maka dalam tatapan kosmologis, wanita tersebut seolah-olah menutupi Keindahan dan Kecantikan Tuhan."
Sayang, kesadaran wanita yang berjilbab itu belum sampai ke arah seperti itu. Pada dataran praktis, masih banyak terjadi percampuran budaya Barat de-ngan budaya Islam. Ataupun, ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan diri. Misalnya, sebagian wanita sudah menge-nakan kerudung atau jilbab, tapi bajunya terbuat dari kain yang tipis yang tentu saja mem-bentuk tubuhnya yang indah. Jelas, hal ini kurang memenuhi ke-sempurnaan perintah syariat.
Hatta, sekalipun ini dipandang dari perintah syariat maka itu pun belum memenuhi sya-rat sebagai busana muslimah. Syarat se-perti bahan tidak ter-buat dari kain yang tipis, tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh dan seterusnya telah ba-nyak dilanggar. Alasannya macam-macam. Salah satu alasan, misalnya, busana Muslimah pun harus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.
Alasan di atas tampak menarik. Karena, di sini ditampilkan bahwa perintah syariat tidaklah ber-tentangan dengan perkembangan zaman. Pada satu sisi, tentu saja alasan ini dapat diterima. Islam me-mang tidak menghalangi kemajuan dan perkembang-an zaman. Namun, apakah dengan alasan tersebut, lantas perintah syariat harus kehilangan ruhnya ? Ruh berjilbab pada hakikatnya untuk menutupi se-luruh keindahan Tuhan yang tidak sepantasnya dilihat oleh yang bukan mahramnya. Jadi, bukan semata-mata perintah syariat atau hukum fiqh. Akibat dari pengabaian ruh jilbab, dalam praktiknya acapkali terlihat wanita-wanita yang mengenakan kerudung atau jilbab pun mengikuti "budaya pacaran" yang tentu amat asing dalam relasi sosial wanita-pria Islam.
Pacaran, dengan seluruh kompleksitas maknanya, telah menjadi semacam "ideologi". Artinya, ia me-rupakan pandangan yang melekat dalam diri pe-lakunya. Sehingga, dengan alasan, teman prianya sudah dekat, pelaku pacaran tak jarang rela untuk membuka auratnya -minimal rambut- di hadapan kawan prianya. Dan, di sini kawan prianya kehi-langan ruh iman. Artinya, ia tidak mengingatkan per-buatan dari kawan wanitanya. Dan menganggapnya itu sebagai hal yang wajar mengingat wanita tersebut adalah calon istrinya.

Ruh Jilbab sebagai Citra Intelektual dan Spriritual
Merebaknya pemakaian busana Muslimah, diduga muncul karena adanya semangat keislaman yang begitu tinggi setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran (Lihat, misalnya, Gerbang Kebangkitan, ed. Hamid Algar, [Yogya: Shalahuddin Press]). Bila dugaan ini benar, tentu yang muncul adalah sikap meng-hormati keyakinan mazhab Syi’ah yang dianut oleh bangsa Iran oleh aktivis Muslim. Namun kenyataan-nya, tidak jarang terjadi celaan yang ditujukan kepada bangsa Iran sebagai penganut mazhab Syi’ah. Paling tidak, ketika sebuah jurnal kebudayaan meliput per-kembangan Syi’ah di Indonesia, muncul surat-surat pembaca yang menyatakan keberatan sekaligus kekecewaannya terhadap pemuatan liputan tersebut. Terakhir, keberatan terhadap perkembangan Syi’ah diwujudkan dalam seminar sehari di Masjid Istiqlal yang memfatwakan sesatnya faham Syi’ah !!!
Memberikan argumentasi seperti itu tentu belum memadai, karena boleh jadi alasan tersebut terlalu "ideologis". Sekalipun beberapa penelitian membukti-kan gelombang kesadaran berislam lebih meruah ber-kat kesuksesan Revolusi Islam di Iran. Salah satu hasil dari pengaruh besar revolusi tersebut adalah Sudan.
Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam Sunni itu barangkali salah satu representasi terbaik dalam hal penolakan mereka akan hegemoni Barat, dan seperti saudaranya di Iran, mereka pun membangkitkan revolusi Islam Sudan. Kaum wani-tanya mengenakan busana muslimah yang menutupi aurat mereka. Bahkan, sebagian di antara mereka menjadi pasukan pengawal revolusi Sudan.
Menurut penulis, fenomena berjlbab lebih didasarkan pada kesadaran kembali akan tradisi yang hilang akibat arus modernisme yang mencabut manu-sia kontemporer dari, dan memisahkannya dengan, Yang Mahakudus. Wanita Islam modern -dan prianya- merasa asing pada dirinya sendiri, pada Tuhan Yang Mahaindah, sehingga dalam setiap momen hidupnya menganggap Tuhan sebagai Zat Suci yang meman-dang dirinya dari kejauhan, seperti matahari menyinari bumi.
Sebaliknya, bagi Muslimah tradisional, Tuhan di-pandang bukan saja sebagai Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) namun juga Kehadiran Mutlak. Jadi, bagi mereka Tuhan bukan Zat Transenden yang hanya "mengawasinya dari kejauhan", namun juga yang se-nantiasa menyapa dirinya, yang "bertahta dan bersemayam dalam dirinya" (imanen). Sehingga saat mengenakan jilbab, muslimah tradisional menyem-bunyikan "Kecantikan Tuhan" dalam dirinya, yang hanya akan dibuka kepada mereka yang berhak yakni suaminya. Bukan yang masih samar atau spekulasi.
Dengan paparan tersebut, bagi Muslimah tradi-sional, jilbab bukan sekadar pemenuhan kewajiban hukum fiqh. Akan tetapi, menunjukkan aspek keda-laman esoteris, aspek yang ingin menyembunyikan Kecantikan Ilahi kepada lawan jenis dan meng-hadirkan Keindahan Tuhan kepada lelaki yang sah. Dalam wacana Muslimah tradisional, berpacaran -berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan mahram- berarti pelanggaran dirinya terhadap Kebe-naran dan Kehadiran Mutlak, suatu dosa yang bagi-nya tidak terampuni. Dan ia sudah memasuki ritus-ritus asing manusia modernis.
Pada saat yang sama, berjilbab berarti menam-pilkan citra intelektual dan spiritual dari suatu tradisi yang merentang sejak para nabi, wali, filsuf, sufi, dan pewaris-pewaris mereka yang memahami secara ekstensif dan menghayati secara intensif tradisionalitas Islam leluhur mereka. Citra intelektual dan spiritual akan hadir dengan menambah pengeta-huan secara kuantitatif dan meningkatkan ilmu berikut amalnya secara kualitatif dalam diri Muslimah.
Berjilbab, dengan demikian, menjadi suatu tanta-ngan untuk mendapatkan citra intelektual dan spiritual bagi Muslimah tradisional di tengah-tengah arus modernitas. Sebagai suatu tantangan, Muslimah tradisional memestikan dirinya untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Pada gilirannya, Muslimah tradisional memes-tikan dirinya untuk bisa senantiasa mencerap Ke-indahan Tuhan, kedekatannya dengan Yang Kudus (ma’rifatullah) sehingga dengan citra spiritual yang bisa diperolehnya akan mampu memanifestasikan akhlak Jamaliyyah Allah dalam dirinya dan menjadi barakah kepada orang tuanya, suaminya, anak-anak-nya, tetangga-tetangganya, dan komunitas manusia sepanjang sejarah.

(sumber: http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/jilbab.htm)

Tuesday, April 3, 2007

Kecantikan itu ada di sini

Oleh Daarul Muslimah
(Sumber: www.manajemenqolbu.com)

Ada 3 hal mendasar yang mempengaruhi “kecantikan” manusia. Pertama, body (tubuh); kedua, soul (jiwa); ketiga, spirit (semangat–kekuatan jiwa). Namun disini kita tidak akan membahas tentang body/tubuh manusia karena yakin, bahwa setiap kita pasti sudah lihai menilai setiap body/tubuh seseorang, tidak dapat disangkal setiap kita pasti bisa menilai mana yang cantik, ganteng atau bagus badannya, walaupun penilaian tidak identik dengan pilihan… Jiwa terbagi atas dua bagian, yaitu mind (pikiran) dan mood (suasana hati), pikiran dan suasana hati adalah dua hal yang sangat berpengaruh pengembangan kepribadian seorang Muslimah.

Dalam mengembangkan Kepribadian kita harus bisa memahami bahwa setiap orang memiliki sifat yang kita suka, dan sifat yang tidak kita suka, begitu pula kita, kita memiliki sifat yang orang suka dan tidak suka. Untuk mengidentifikasi itu semua, cobalah di rumah, lakukan sebelum tidur, tulis diatas secarik kertas di bagi dua, di sebelah kiri tulis sifat anda yang kurang baik, misalnya; kurang sabar, kurang disiplin, kurang ramah, kurang menolong orang, kurang senyum dst… di sebelah kanan sifat baik anda, misalnya disiplin (jika memang demikian), ramah, pemaaf, dan sifat baik lainnya yang anda miliki…setelah itu, sebelum beranjak tidur berjanjilah dan bertekadlah dalam hati… ucapkan …

Ya Allah, mudah-mudahan mulai besok pagi saya bisa mengurangi dan merubah sifat-sifat kurang baik saya… kurang baik kepada orang, kurang disiplin, kurang ramah kepada orang, dan berilah saya kemampuan untuk bisa meningkatkan sifat baik saya, untuk bisa lebih ramah lagi, bisa lebih mengerti orang, dst… saat bangun sebelum mengambil air wudlu, bercerminlah dan ucapkan dalam hati Ya Allah… saya bersyukur atas apa yang Engkau berikan kepada saya berupa “kecantikan” bukan kecantikan wajah saja tapi kecantikan hati, jangan katakan: sudah jelek, jerawatan, kurang ramah dan berbagai sifat kurang baik lainnya… karena dengan respon negatif pada diri sendiri di pagi hari berarti anda telah memulai hari ini dengan negatif dan tidak semangat… jika anda mengawali hari ini dengan penuh syukur dan respon positif… maka Insya Allah hari ini akan membawa kepada kebaikan, dan Allah akan memberi kita kekuatan untuk lebih bisa mempercantik diri kita dengan bersikap, bertutur lebih cantik dan melihat hal apapun disekeliling kita dengan cara pandang yang cantik (positif).

Coba lakukan hal ini selama 21 hari berturut-turut, setelah 21 hari anda akan merasakan perubahan dalam diri anda lewat tanggapan orang-orang yang ada di sekitar anda, anda akan merasakan pikiran anda lebih cantik, perasaan anda lebih cantik, tutur kata anda lebih cantik, terlebih bisa memandang orang lebih cantik berbeda dengan 21 hari yang lalu. Sehingga pribadi kita lambat laun akan menjadi cantik.

Melihat orang dengan kurang cantik… berarti anda melihat pertama kali orang tersebut dengan anggapan negatif, menyeramkan dan kata-kata negatif lainnya, berhati-hatilah karena itu pertanda hubungan anda dengan orang tersebut akan kurang baik. Tetapi jika kita memandang orang dengan cantik, walaupun stelannya memang begitu kurang mengenakkan, maka kita akan menganggap orang tersebut dengan positif dan hubungan anda dengan setiap orang akan selalu baik, karena kita percaya dibalik mimiknya yang kurang mengenakkan tersebut ada kelebihan yang dimilikinya yang boleh jadi bisa dikerjasamakan dengan diri kita. Jangan cepat berfikir negatif… Bersambung… (Sumber : Ibu Farida & sumber lainnya)

Cermin Positif

Mengkritik itu mudah, karena melihat kesalahan orang lain itu gampang. Namun kritik yang didasari oleh mencari-cari kesalahan orang lain tak mungkin dapat mempermudah keadaan. Anda tak perlu menghabiskan waktu dan tenaga anda untuk menilai apakah orang lain telah berbuat salah atau benar. Karena itu sangat mudah! Yang sulit adalah melihat kesalahan diri sendiri. Waspadailah bila anda begitu pandai mengkritik. Jangan-jangan anda tak mampu lagi melihat kebenaran. Dan sebuta-butanya orang ialah mereka yang tak bisa menangkap cahaya kebenaran. Sekali anda gembira bisa menemukan sebutir debu kesalahan orang lain, anda tergoda untuk mendapatkan yang sebesar kerikil. Begitu seterusnya, hingga tanpa sadar anda telah menciptakan gunung kesalahan orang. Orang tak pernah suka berkaca pada cermin yang memantulkan kekurangan wajahnya. Maka dari itu janganlah anda menjadi bayangan atas kesalahan orang lain. Bantulah mereka menemukan sisi positif diri mereka. Di saat itu pula orang lain akan memantulkan sisi baik anda sendiri.

Kie – Daarul Muslimah Daarut Tauhiid
(dari milis seorang kawan)