Friday, February 20, 2009

Taman Perdamaian

oleh: Miranda Risang Ayu*

All the love we come to know in life springs from the love we knew as children - Pepatah Denmark -

Saat itu menjelang akhir tahun 1988. Anak-anak kampung tetangga bermajelis seperti biasa di rumah saya yang terletak di pinggiran cekungan kota Bandung. Televisi tidak menyala. Koran-koran masuk laci dan bagi mereka, biar pun lusuh, cuma boleh cerita-cerita pastel yang termuat dalam buku-buku dongeng. Syukurlah temaram sore hanya meneteskan gerimis biasa, bukan air mata, apalagi darah. Anak-anak itu berlari ke serambi samping dan tersenyum kepada lampu-lampu kota Bandung nun di bawah sana yang mulai menyala, seperti mereka tersenyum kepada kunang-kunang yang masih hidup satu-dua ekor tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Mungkin sebetulnya, lampu-lampu itu tidak bercerita tentang cahaya, tetapi tentang api kepanikan sebagian warga kota yang rumahnya mulai tergenang curahan hujan. Mungkin juga, cahaya-cahaya itu tengah mempersaksikan gelap pakaian puluhan demonstran yang mengarak keranda pernyataan duka cita dalam kegalauan reformasi. Dari televisi atau radio, mungkin juga anak-anak ini sudah tahu bahwa tengah terjadi perubahan besar di tanah air tempat mereka dilahirkan, yang meminta korban.

Dengan mata bulat bening, salah seorang di antara mereka pun pernah bertanya, "Ribut-ribut di televisi itu di mana? Di Jakarta? Jakarta itu di mana? Di alun-alun?"

Dan dengan kerusuhan yang sejenak menyesak di balik dada, saya hanya menjawab, "Bukan. Bukan di alun-alun. Jakarta itu jauh sekali dari sini. Di luar kota ini."

Boleh jadi, saya sedang memanipulasi sebuah informasi tentang reformasi di hadapan mereka. Tetapi, anak-anak ini berhak atas dunia bermain yang bebas dari segala kelemahan orang dewasa. Menjelang malam pun, cahaya yang bersahaja masih berbinar pada mata mereka. Maka, maafkan bila saya tidak ingin ada air mata luka di sana.

"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, ..." (QS Luqman: 12).

Saya tidak tahu, apakah saat sadar kegalauan adalah saat yang tepat untuk bersyukur. Tetapi bagi anak-anak, berkumpul, bermain dan belajar tidaklah berdasarkan alasan-alasan yang rumit selain untuk menikmati dan belajar dari dalamnya. Berkumpul, bermain dan belajar anak-anak tidak beralaskan apa-apa, kecuali berdasarkan nama-Nya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang sesungguhnya bergema dari mana saja; dari malam, lampu kota, kunang-kunang, buku-buku dongeng, keceriaan, hingga kesahajaan diri mereka sendiri.

Adzan berkumandang melenyapkan ruang dan waktu. Bangun semua untuk shalat magrib berjama'ah. Kemudian, anak-anak itu duduk melingkar di hadapan sebuah tampah berisi aneka buah. Beberapa bilah pisau dapur kecil tersedia untuk mengiris dan mengukir buah-buahan.

Saya kira mereka akan mulai membuat kegaduhan yang manis dengan spontan, seperti biasanya. Tetapi ternyata tidak. Seorang kawan penyayang anak mulai memancing ide anak-anak itu tentang suasana yang akan dibangun.

"Ceritanya, sedang di mana kita ?"

"Sedang di dalam taman," sahut anak-anak itu. Dan taman imajiner pun tercipta.

Tetapi mereka kemudian membeku lagi. Beberapa detik hati saya jadi terganggu oleh kekhawatiran efek buruk reformasi yang jangan-jangan sudah menjadi monster betulan dan menembus ruang bermain anak-anak ini.

"Saya sedang musuhan, Bu," tiba-tiba anak kandung saya berusia lima tahun angkat bicara. Sejenak belasan wajah kecil di sampingnya menegang. Dengan sedikit kata pancingan, unjuk rasa pun dimulai.

Dalam taman-tamanan itu, di hadapan tampah berisi buah warna-warni dan aneka pisau dapur, setiap anak menceritakan perasaan negatifnya masing-masing. Ada yang sedang bermusuhan dengan teman yang duduk di depannya. Itulah sebabnya mereka selalu saling memalingkan muka. Keceriaan bermain mereka, beberapa hari sebelumnya, terpeleset ke dalam saling goda dan saling ejek. Ada juga beberapa anak yang sampai enggan datang malam itu, karena yang satu tinggal di rumah tembok sedang yang lain tinggal di rumah bambu. Uniknya, ada seorang anak yang bermusuhan dengan anak lain tidak dengan alasan apa pun selain karena ibu musuhnya, eh maksud saya, ibu kawannya itu, telah lama bermusuhan dengan ibu kandungnya.

Luka di atas kepolosan tentu amat nyata merahnya. Hanya pada anak-anak, mereka sering tidak tahu, kenapa. Kata-kata penghiburan terkadang jadi tidak banyak artinya. Jabatan tangan pun dilakukan masih sambil saling memalingkan muka. Ternyata, ada sisi diri anak-anak yang sama dengan semua manusia dewasa, yakni, harga diri.

"Kita semua anak-anak yang baik, kan?" tanya saya akhirnya, terpaksa mulai berideologi. "Hanya, sedang ada yang sedih dan kecewa di antara kita. Mungkin karena kita tidak sengaja saling menyakiti. Tidak sengaja, kan?"

Anak-anak diam sejenak, lalu menggeleng-geleng.

"Kita di sini sebetulnya kepingin sakit atau main senang-senang? "

"Kepingin main senang-senang!" jawab anak-anak serentak.

Tampah berisi aneka buah dan benda tajam pun berkilat memancarkan makna kehadirannya.

"Buah-buahan ini sama atau beda-beda?"

"Beda-beda!"

"Buah-buahan dan garpu-pisau sama atau beda?"

"Beda!"

"Koq mereka bisa diam tenang sama-sama di dalam tampah ya? Indah lagi susunannya .... "

Dan anak-anak diam betulan. Saya pun jadi ikut terdiam. Tanpa kata manusia, di hadapan setampah buah-buahan. Semua benda mati itu memang telah bersenang-senang jauh sebelum seorang manusia dewasa yang angkuh seperti saya sadar, betapa kudus sesungguhnya kesenangan bertasbih dalam keseluruhan semesta alam. Dan senyum anak-anak pun mulai semburat seperti mata air mengalir.

Malam bergulir pada tangan anak-anak. Ada perahu, rumah sampai batu-batuan dari buah pepaya. Ada taman biji konyal. Ada bangku buah pisang. Ada maket buah-buahan yang indah dipandang, enak dimakan dan bersahaja untuk dikenang.

Seorang anak tiba-tiba bertanya,

"Bu, buah-buahannya kesakitan nggak kalau diiris pisau?"

Saya balik bertanya,

"Dia diiris dengan basmalah, dengan hati-hati dan rasa sayang, nggak?"

"Ya iya."

"Ya buah-buahan itu nggak sakit dong. Dia ikhlas. Dia tahu dia dibuat Tuhan untuk kita. Dan kita pun makan dia untuk bisa membuat perahu, rumah dan taman yang banyak dan bagus-bagus buat siapa saja. Supaya semua bisa berkata: alhamdulillah."

Akhirnya, sebuah pertanyaan lagi meluncur dari bibir semesta seorang anak,

"Bu, ikhlas itu apa sih? "

Terpaksa, jawaban seorang sufi harus saya sitir untuk memaafkan ketidaktahuan saya.

"Kata orang pintar, ikhlas itu seperti pisau dan buah-buahan ini: tidak berontak. "

Malam turun dan anak-anak pulang. Mereka akan datang lagi esok hari, untuk menanam biji-bijian sisa buah-buahan yang telah bermain bersama mereka malam itu. Mungkin di kebun rumah saya, di kebun mereka, atau di tepi jalan. Ditinggal oleh kepolosan anak-anak itu, saya jadi berpikir, adakah sebuah sistem politik yang bernama sistem politik untuk memberi, seperti setampah pisau dan buah-buahan dalam taman imajiner ini, dengan tangan-tangan yang membongkar dan membangun dengan kasih sayang? Rindu saya, kepada pepohonan buah-buahan dan anak-anak, yang tidak pernah menyimpan prasangka buruk dalam tasbihnya.·

* Ibu rumah tangga, tinggal di Bandung

(Sumber: http://www.hidayatullah.com/sahid/9812/kolom.htm)

No comments: