Oleh: Sus Woyo
(Sumber: www.eramuslim.com)
Tangan saya agak gemetar, ketika seorang teman menyodorkan amplop warna kecokelatan. Agak tebal amplop itu. Dan sudah pasti ada isinya. Saya segera membaca siapa sang pengirim amplop itu. Oh, alhamdulillah. Sahabat saya di Hongkong. Seorang muslimah yang sedang mencoba berjuang di negeri orang, seperti saya.
Di atas amplop itu ada seuntai tulisan berhuruf arab yang berbunyi: laa taftahu wa laataqro'u illa bilhaq. Demi mengikuti amanah tulisan itu, saya membukanya dengan perlahan, hati-hati dan tentu juga dengan niat baik.
Wow! Luar biasa. Dua buah VCD. Yang satu, tentang milad sebuah kelompok pengajian. Dan yang satu lagi tentang milad sebuah organisasi kepenulisan. Melihat cover dua VCD itu, saya bisa menebak, bahwa kegiatan itu semua dimotori oleh kaum hawa.
Tanpa mandi terlebih dahulu, saya langsung memutar VCD yang satu. Begitu saya masukan ke disc player, saya langsung disuguhi lagu Lir Ilir. Lagu yang konon diciptakan oleh Sunan Ampel itu sempat membuat bulu kuduk saya berdiri. Dan pikiran ini langsung terbang ke suasana kampung saya beberapa tahun lalu. Ketika saya dan beberapa teman mempersiapkan anak-anak TPA untuk wisuda. Lagu yang dipopulerkan kembali oleh Cak Nun, suami Novia Kolopaking, dan aransemen musiknya digarap oleh kelompok musik Kyai Kanjeng inilah yang saya ajarkan kepada anak-anak kampung saya.
Saya terus mengikuti yang ditampilkan VCD itu. Dari alunan kalam Illahi, sampai doa penutup. Bagaikan lautan jilbab. Yang mengikuti kegiatan agamis itu ternyata perempuan semua. Mereka mengucap takbir, manakala sang qori' baru saja menyelesaikan satu ayat yang telah dibacanya. Gayanya mirip pengajian di kampung saya. Dan memang kebanyakan mereka berasal dari kampung.
Mereka bukan sedang berada di pedalaman Jombang. Mereka bukan komunitas Islam tradisional di Pekalongan atau Purwokerto. Dan mereka juga bukan ibu-ibu pengajian di kota-kota santri di Pulau Jawa. Tapi mereka adalah saudara-saudara kita yang saat ini sedang berjuang memperbaiki nasib untuk dirinya, keluarganya, di negeri orang. Tepatnya di Hongkong. Sebuah negeri kecil di daratan Cina sana.
Rupanya teman saya yang mengirimkan VCD itu ingin berbicara kepada saya, bahwa tak semua perempuan yang bekerja di negara sekuler, secara otomatis akan ikut bergaya sekuler. Rupanya sahabat saya itu ingin meyakinkan saya, bahwa tidak semua TKW yang bekerja di negara yang berkiblat kepada barat, dengan serta merta akan ikut gaya barat juga. Yang ber-T-shirt ala Britney Spears yang nampak pusarnya. Atau ber-'blue jeans' ketat ala Nicole Kidman.
Tidak. Tidak semua. Masih banyak di antara mereka yang memegang teguh tradisi ketimuran. Masih banyak sahabat-sahabat kita yang dengan gigi geraham menggigit kuat-kuat ajaran Allah dan Rasulnya. Walaupun negara tempat mereka kerja diwarnai oleh sesuatu yang sangat jauh dari nilai keislaman.
Ya, paling tidak itulah yang ingin disampaikan sahabat saya. Saya mengingat sejenak beberapa e-mail yang dikirimkan kepada saya akhir-akhir ini. Ia menceritakan bahwa, di Hongkong lah, ia latihan memakai jilbab. Di Hongkong lah, ia belajar beribadah secara istiqamah. Di Hongkong lah, gadis muda itu beraktivitas dalam kegiatan Islami. Sesuatu yang tidak pernah ia ikuti di kampung halamannya. Bahkan di e-mail yang terahir, ia menuturkan, bahwa di Hongkong lah ia bisa bertatap muka dengan para da'i kondang Indonesia. Mendengarkan tausyiah sejuk dari AA Gym. Menikmati nasehat pencerahan jiwa dari Emha Ainun Nadjib. Larut dalam dzikir khusyu bersama Arifin Ilham. Mendampingi Neno Warisman menebarkan nada dan dakwah. Serta tenggelam dalam tangis bersama Hadad Alwi ketika mereka digiring oleh ustadz muda itu dalam indahnya bershalawat kepada Nabi. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dan saya makin asyik saja setiap kali menerima kabar tentang aktifitas keislaman di sana. Yang rutin dikirimkan sahabat saya via e-mail. Yang akhirnya mau tidak mau mengingatkan saya kepada dakwah Rasulullah empat belas abad lalu. Setelah Mekkah ditaklukkan kembali oleh kaum muslimin, dan masuknya suku paling berpengaruh di Arab masa itu, yaitu suku Quraisy, memang tidak bisa dipungkiri lagi. Bahwa suku-suku lain pun ikut berbondong-bondong masuk Islam. Dan sejak itulah, duta-duta Islam menyebar ke barat, timur, utara, selatan bagaikan anak panah. Yang tujuannya tak lain adalah menebarkan kalimat Allah di muka bumi ini. Dan alhamdulillah, kebetulan saya yang lahir di Jawa, ikut menikmati cahaya Allah, Islam ini, tentu atas kegigihan para "agen Allah" di tanah Jawa.
Dan kini, menjelang abad ke 15 Hijriah, keturunan muslim Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya, yang sedang mengais rezeki di daratan Tiongkok itu, rupanya tak hanya sekedar "fastabikhul fulus", berlomba-lomnba mencari uang. Tapi lebih dari itu mereka justru mampu ber-fastabikhul khairat, berlomba dalam kebaikan. Terbukti, betapa padatnya aktifitas keislaman yang setiap minggu digelar di metropolitan itu. Padahal kebanyakan dari mereka adalah yang pekerjaan sehari-harinya sebagai pembantu rumah tangga.
Tak mustahil, jika suatu saat, satu persatu, majikan mereka juga akan tertarik pada Islam yang ditampilkan saudara-saudara kita. Tak mustahil jika suatu saat mereka akan bersyahadat, karena melihat kelembutan akhlak sahabat-sahabat kita. Tak mustahil juga, para majikan di sana akan terseret dengan alunan tadarus Al-Qur'an dari seorang TKW yang bekerja di rumah mereka, yang biasa dibaca secara sembunyi-sembunyi. Sebab kitapun tahu bahwa Umar bin Khattab meneguk segarnya Islam, bukan karena tajamnya pedang. Tapi lantaran alunan lembut ayat-ayat Allah yang dibaca saudara perempuannya. Tak mustahil jika suatu saat daratan Tiongkok yang maha luas itu akan tertancap panji-panji Islam yang dimulai dari Hongkong. Allah Maha Berkehendak.
Allah SWT menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan tertakluknya kembali Mekkah dan berbondong-bondongnya kabilah Arab masuk Islam. Peristiwa ini dilukiskan dengan indah dalam Al-Qur'an.
"Apabila pertolongan Allah dan kemenangan itu telah datang, dan telah kamu lihat manusia dengan berduyun-duyun memasuki agama Islam, maka bertasbihlah memuji Tuhanmu dan meminta ampunlah kepada-Nya, sesunguhnya Allah itu maha penerima taubat." (An-Nashar: 1-3)
Hongkong, sebuah negara kecil yang selama bertahun-tahun, atau bahkan berabad dicekoki, dijejali ideologi komunis, ternyata sekarang terdapat bacaan Al-Quran, ada alunan takbir, tahmid, tahlil, salawat, dan juga syahadat dalam prosesi pengislaman saudara kita.
Hongkong, sebuah metropolitan yang sejajar dengan Singapura, dan kota-kota besar dunia lainnya, yang mode pakaian perempuannya berkiblat ke barat, ternyata masih ada jilbab menghiasi bumi sana.
Hongkong, yang merupakan pusat bisnis dunia, yang banyak para konglomerat dunia mengendalikan bisnisnya dari sana, ternyata masih ada orang berdzikir mengingat Allah. Di tengah kebanyakan orang hanya berpikir tentang keuntungan dunia saja.
Rupanya Allah sedang menempatkan agen-agennya di sana. Dan agen itu bukan sosok-sosok berbadan tinggi, berhidung mancung dan berjenggot tebal ala Timur Tengah. Bukan juga para akademisi dan komunitas dari universitas Islam yang terkenal. Namun agen itu adalah saudara-saudara kita, yang sering kita sebut, pahlawan devisa, tenaga kerja wanita yang sedang berjuang memperbaiki nasib sendiri, keluarga, dan tentu bangsa dan negara. Tapi, itulah kehendak-Nya. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun. Baik itu sejarawan Islam dari Al-Azhar, Ummul Qura, Oxford, Leiden, Cambridge, Ohio State, UI, UGM, ataupun universitas-universitas mahsyur lainnya.
Dan bagi mereka yang punya waktu luang banyak, ekonomi mapan, ilmu agama ada, tentu perlu iri terhadap sahabat-sahabat kita itu. Iri untuk menjadi agen Allah. Kenapa mereka bisa, di tengah kesibukan mereka bekerja melayani majikan hampir di sepanjang waktu mereka?
Brunei, Mei 2005
(Bravo! Untuk seorang sahabat di Hongkong. Teruskan perjuanganmu!)
Tuesday, May 8, 2007
Agent of Allah in Hongkong
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment