Oleh: Iswanti
(Sumber: Eramuslim)
Saya pernah membaca kisah seorang wanita pengusaha yang memulai usahanya dari nol. Uniknya si ibu muda ini dulunya pernah mengenyam bangku kuliah sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Semasa kuliah ia aktif dalam salah satu organisasi di kampusnya. Setelah menikah ia tinggalkan semua aktifitas di luar, karena sang suami yang seorang pengusaha menginginkan ia menjadi seorang ibu rumah tangga sejati yang hanya mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya.
Kisah usaha ibu muda ini berawal dari kegagalan usaha sang suami yang berujung pada kebangkrutan. Sang suami saat itu mengalami depresi karena kegagalannya tersebut. Melihat kondisi seperti itu, wanita tegar ini langsung berinisiatif untuk menghidupkan kembali salah satu usaha milik suaminya. Saat itu yang masih mereka punyai hanya beberapa unit mesin jahit bekas usaha konveksi suaminya.
Dengan semangat ia mulai mempelajari teknik membuat pola dan menjahit hingga akhirnya ia bisa membuat sebuah blazer yang kemudian ia jajakan contoh jahitannya itu dari satu toko ke toko lain di sebuah pasar di Jakarta.
Awal usahanya ini memang berat, toko-toko yang ia datangi menolak contoh jahitannya itu. Beberapa hari kemudian akhirnya sebuah toko bersedia menjual blazernya. Dan ternyata kegigihannya membuahkan hasil; blazernya laku keras, orderan pun mengalir deras, hingga akhirnya ia bisa mempekerjakan banyak karyawan, memperbesar usahanya dan tentu saja berhasil menyelamatkan biduk rumah tangganya yang hampir karam.
***
Baru-baru ini ada kisah menarik tentang seorang ibu muda berusia 34 tahun asal Wonocolo Surabaya. Ia adalah seorang pengusaha mikro lulusan sekolah menengah atas. Pada tanggal 18 November yang lalu ia menghadiri sekaligus berbicara di Ruang Konferensi II Markas Besar PBB setelah memenangi lomba Micro Credit Award 2005 yang diselenggarakan oleh Kantor Menko Perekonomian. Ia berada di forum internasional yang dihadiri 250 delegasi negara anggota PBB itu untuk menghadiri pencanangan Tahun Kredit Mikro Internasional 2005.
Penuturan ibu muda berputra tiga orang ini tentang usaha kecilnya mengundang decak kagum siapa pun yang hadir saat itu. Ia tidak hanya telah berhasil mengembangkan usaha membuat pakaian, tas, aksesori, dan barang kerajinan dari kain atau percanya yang diawalnya pada tahun 1998 dengan hanya bermodalkan uang 500 ribu rupiah itu dengan secara profesional tapi juga ia telah berhasil membina dan memberdayakan para pekerjanya yang 80 persen adalah tuna daksa.
Atas hadiah yang diterima, ia mengatakan uang itu akan digunakan membangun paviliun guna menampung para tuna daksa dan remaja putus sekolah yang dilatih di rumahnya, karena selama ini para pekerjanya tidur di setiap celah yang ada di rumahnya.
***
Seperti kata Ibu Dewi Sartika, salah satu Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia, bahwa wanita harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Perkataannya itu keluar sebagai kesadarannya yang timbul setelah bapaknya yang seorang patih di Bandung meninggal dunia, dan kekayaan keluarganya disita oleh pemerintah Belanda. Saat itu usianya masih belasan tahun, tapi Dewi sartika dan ibunya harus berjuang untuk hidup.
Ya, wanita memang harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Ada kalanya kehidupan datang tidak seperti yang kita inginkan. Seperti kejadian ibu muda di atas yang tiba-tiba harus berjuang menyelamatkan rumah tangganya. Beruntung si ibu ini pernah mengenyam pengalaman berorganisasi sehingga pada dirinya sudah tertanam keterampilan interpersonal yang baik juga semangat untuk berjuang dan belajar. Bagaimana halnya jika hal ini terjadi pada wanita yang selama hidupnya serba lancar-lancar saja, maksudnya belum pernah mengalami terpaan hidup? Bisa jadi ia pun bisa menjadi penyelamat biduk rumah tangganya, tapi bukankah sesuatu yang datangnya tiba-tiba akan memberikan goncangan jiwa yang tidak bisa dianggap enteng?
Banyak para suami, karena terlalu sayang pada istri, tidak mengizinkan para istri untuk bekerja. Hal ini memang bisa dipahami karena suamilah yang bertugas mencukupi kehidupan keluarga. Tapi alangkah baiknya jika para suami pun memberikan keterampilan hidup bagi para istrinya atau memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga istrinya bisa memiliki peranan tidak hanya dalam rumah tangganya saja tapi juga peranan dalam membina lingkungan masyarakatnya seperti halnya ibu muda pengusaha mikro yang saya ceritakan di atas.
Ada juga wanita yang setelah anak-anaknya tumbuh dewasa, baru bisa membantu finansial keluarga ataupun turut aktif dalam mewujudkan keshalehan sosial di lingkungannya. Selama masa-masa membesarkan anak-anaknya, dia tidak pernah berhenti belajar sehingga ketika saatnya tiba dia bisa berperan lebih.
Memang sulit bagi wanita zaman sekarang untuk berperan ganda. Di zaman yang penuh tantangan ini tidaklah mudah mendidik anak sementara dia juga harus aktif di luar rumah, seperti bekerja ataupun aktif dalam kegiatan masyarakat. Jangan-jangan sukses di luar tapi anak-anaknya mengalami degradasi moral akibat kurangnya perhatian orang tua yang sibuk bekerja. Hal ini dikembalikan kepada istri dan sang suami karena ternyata tidak sedikit keluarga yang istrinya bekerja tapi bisa mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi yang mandiri dan berakhlak baik.
Ada baiknya kita renungkan kembali perkataan Ibu Kita Dewi Sartika juga pengalaman sebagian wanita "petarung", seperti cerita wanita di atas, tentang pentingnya wanita memiliki keterampilan hidup sejak dini, agar di saat yang tepat mereka mampu berperan lebih dan tampil mandiri tanpa harus merepotkan orang-orang di sekitarnya di saat-saat biduk rumah tangganya berada pada kondisi gawat darurat.
***
Friday, April 28, 2006
Duhai Muslimah, Berbekallah!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment